PARBOABOA - Wahyu, 52, memoles wajahnya dengan cat berwarna emas dan mengenakan pakaian mirip Panglima Besar Jenderal Soedirman. Di bawah terik matahari, di salah satu sudut ikon wisata Kota Tua, Jakarta Barat, Rabu siang pekan lalu, pria paruh baya itu berdiri tak bergeming mirip patung. Selama setengah jam kemudian dia mendapatkan uang Rp25.000 dari tiga orang yang berfoto bersamanya.
Menjadi “manusia patung” merupakan pilihan terakhir Wahyu untuk menyambung hidup di Jakarta. Dulu, sekitar sembilan tahun lalu, ayah empat anak itu menjual kopi keliling di Kota Tua. Tahun 2014, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama alias Ahok, melarang keberadaan pedagang asongan di sekitar Kota Tua.
Tidak ada pekerjaan lain, dia pun menjadi manusia patung.
“Saya bilang ke teman yang udah jadi manusia patung, Bang, boleh ikut main? Terus langsung diajak, nah itu sampai sekarang,” ceritanya kepada Parboaboa.
Setiap hari dia beraktivitas mulai pukul 10.00 WIB hingga pukul 21.00 WIB. Bila pengunjung ramai, dia bisa mendapatkan uang lebih banyak. Tapi kalau sedang sepi, kadang kala dia pulang dengan tangan kosong.
“Kalau lagi rame sih kemarin, Alhamdulillah dapat Rp300 ribu. Tapi nggak bisa dipastikan begitu terus,” ujarnya. Kalau sedang sepi pengunjung, kadang dia hanya mendapatkan uang Rp5 ribu hingga Rp15 ribu dalam sehari.
Selain bergantung pada ramainya wisatawan, jumlah penghasilannya juga tergantung kondisi cuaca. Bila hujan, dia hanya dapat berteduh. Dia hanya akan mendapatkan uang ketika dia berlagak jadi patung dan pengunjung meminta foto bersamanya.
Dengan penghasilan tidak menentu, Wahyu mencoba bertahan untuk menghidupi keluarganya. “Ya, Alhamdulillah, tergantung rezekinya nggak menentu,” ujarnya.
Ketatnya Persaingan Kerja
Menjadi manusia patung, manusia silver, dan aktivitas serupa lainnya untuk menyambung hidup, merupakan realitas sosial yang kerap ditemui di kota-kota besar, seperti Jakarta.
Ketatnya persaingan untuk mendapatkan pekerjaanyang layak menjadi alasan mereka memilih jalan itu.
Kongko Wijarnako, 53, perantau asal Lampung yang juga mencari nafkah dari kawasan Kota Tua mengakuinya. Lelaki yang akrab disapa Eko itu memilih jadi manusia patung karena tidak punya kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak di ibu kota.
Merantau ke Jakarta pada tahun 1999, kala usianya menginjak 21 tahun, Eko yang hanya lulusan SMK pernah bekerja sebagai marketing di perusahaan swasta, kuli bangunan, dan penjual asongan di Kota Tua pada tahun 2012.
“Waktu itu PKL banyak banget, pokoknya Kota Tua itu berantakan deh. Banyak pengamen, banyak badut, banyak manusia silver dan emas,” tutur Eko.
Pada tahun 2014, Eko terimbas kebijakan Ahok. Dia bingung untuk mencari uang dan akhirnya memutuskan jadi manusia patung. Pada awalnya dia sering meniru patung Aladin, menjadi Pangeran Jayakarta, Sultan Agung, dan sekarang meniru patung Laksamana Maeda.
Eja, 27, manusia patung lainnya, tak jauh beda dengan nasib Wahyu dan Eko. Dia harus bergelut dengan kostum pahlawan dan make up sejak tahun 2014. Tak lama setelah lulus SMK, tahun 2011.
Sebelum jadi patung, dia bekerja di restoran China di kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK). Tak betah, pria asal Bandung itu memutuskan berhenti, dan menjalani berbagai pekerjaan.
“Sebelum jadi patung, kerja serabutan aja sih,” ucap Eja yang memoles penampilannya mirip patung Mohammad Hatta.
Di usianya yang terbilang muda, Eja belum berminat mencari pekerjaan lain. Ia merasa sulit mendapatkan kerja formal, apalagi dirinya cuma lulusan SMK.
“Susah sekarang mah cari kerja yang lain. Apalagi cuma lulusan SMK,” katanya.
Merantau Tanpa Keahlian
Jakarta sering kali menjadi tujuan para perantau, meskipun tingkat pengangguran masih menjadi masalahnya setiap tahun. BPS DKI Jakarta mencatat 410.585 jiwa menganggur dari total 5.134.126 angkatan kerja tahun 2022.
Di sisi lain tren perantau ke Jakarta terjadi setiap tahun. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) DKI Jakarta mencatat151.752 orang perantau dari luar ibu kota pada tahun 2022. Sebanyak 75 persen dari mereka berstatus lulusan SMA sederajat ke bawah.
Jumlah pendatang ke Jakarta bisa bertambah mencapai 36.000 hingga 40.000 jiwa tahun ini. Bila arus perantau ke Jakarta terus berjalan, kemungkinan angka pengangguran itu akan terus meningkat seiring urbanisasi Jakarta.
Wahyu adalah salah satu perantau yang mengadu nasib di Jakarta. Setelah lulus SMK dia merantau ke Jakarta meninggalkan daerah asalnya Pekalongan, 16 tahun lalu. Sayangnya, di ibu kota dia tidak mendapatkan pekerjaan yang seperti dia harapkan untuk membuat hidupnya lebih baik. Selain Wahyu, sebanyak 41 manusia patung di Kota Tua merupakan warga perantau.
Pengamat sosial dari Universitas Indraprasta PGRI, Riko Piliang, menilai urbanisasi bukanlah masalah baru bagi Jakarta. Bahkan, pada tahun ini saja PJ Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono telah mengimbau agar masyarakat desa yang pulang kampung tak membawa serta keluarganya ke Jakarta tanpa kemampuan kerja mumpuni.
Dia menjelaskan, urbanisasi di kota metropolitan tak bisa diatasi sendirian oleh pemerintah DKI Jakarta. Menurutnya, perlu ada kolaborasi antara Pemprov DKI dengan pemerintah daerah (Pemda) yang menyumbang warganya turut merantau.
“Pemprov DKI ya cuma bisa mengimbau. Pemda lain harus ikut serta menciptakan lapangan pekerjaan di daerahnya masing-masing, sehingga warganya tidak perlu merantau,” jelas dosen Ilmu Sosial Budaya tersebut.
Dia melihat sejauh ini Pemda di wilayah Indonesia belum maksimal mengelola sumber daya manusia. Sehingga, banyak warga desa yang tergiur merantau ke Jakarta.
Lebih lanjut, Riko mengatakan, masyarakat desa tidak bisa sepenuhnya disalahkan karena merantau ke Jakarta tanpa bekal keahlian. Menurut dia, naluri manusia akan selalu berusaha untuk berpenghidupan yang lebih baik.
“Warga desa nggak bisa disalahkan. Siapa sih yang enggak mau hidup enak?,” katanya.
Laporan ini merupakan bagian pertama dari liputan khusus ‘kerasnya kota’.
Reporter: Achmad Rizki Muazam
Editor: Tonggo Simangunsong