Menyibak Praktik Perdagangan Daging Kucing di Pematang Siantar

Ilustrasi Kucing Liar yang Jadi Buruan untuk Dikonsumsi (Foto: PARBOABOA/ Putra Purba)

PARBOABOA - Obrolan kami tiba-tiba terhenti ketika Anita (59), sebut saja demikian, bertanya kepada seorang pemulung yang berjarak hanya beberapa meter di depan. 

"Kalau kucing ini punya orang? Apa emang kucing liar? Soalnya mau dibawa," ucapnya sembari menunjuk ke arah kucing hitam berukuran sedang di pinggir jalan. Orang yang ditanya sontak saja menjawab tanpa curiga, "Enggak ada yang punya, bawa aja."  

Tangan Anita sigap mengapit tengkuk kucing tadi, lalu memasukkannya ke dalam karung beras ukuran 5 kilogram yang sedari tadi ditentengnya.  

Siang itu, Senin (2/10/2023), bau menyengat tempat pembuangan akhir sampah yang tidak jauh dari lokasi kami berada tercium sangat tajam. Sejak tengah hari, Parboaboa ikut berkeliling bersama Anita, seorang penjual daging kucing. 

Kami berjalan kaki melintasi beberapa ruas jalan di Pematang Siantar, Sumatra Utara. Baru sebentar saja, karung Anita sudah terisi dua ekor kucing. 

Hari itu tidak banyak yang Anita tangkap. Sepanjang perjalanan pulang, saya bisa melihat jelas bagaimana kucing-kucing itu meronta-ronta di dalam karung. 

Sesekali terdengar suara mereka mengeong. Anita tampak tidak khawatir kalau-kalau ada orang yang berpapasan menaruh curiga. 

Keesokan harinya, Parboaboa kembali bertemu Anita. Kali ini di kediamannya. Dia membawa kucing yang kemarin ditangkap ke belakang rumah. 

Sayup-sayup saya masih mendengar suara kucing-kucing nahas itu dari ruangan lain. Kemudian suasana hening. Lalu Anita kembali ke dalam rumah tempat saya menunggu. 

"Enggak ada kriteria khusus ketika memilih," kata Anita dalam perbincangan kami soal bagaimana caranya menentukan kucing yang akan ditangkap. 

Tapi dia tidak akan mengambil kucing berukuran besar. Idealnya, kata Anita, kucing ukuran kecil atau sedang saja. 

"Kalau yang berukuran besar kadang alot dagingnya, jadi enggak banyak yang minat," Anita menerangkan alasannya. 

Yang jelas, dia akan memastikan dulu kucing-kucing yang akan diambil bukan peliharaan orang. Caranya, apalagi kalau bukan bertanya langsung ke orang di sekitar.   

Tak jarang pula ada orang yang memberi kucing secara cuma-cuma. Mereka biasanya, kata Anita, punya terlalu banyak kucing di rumah.

"Bahkan dari anggota polisi dekat sini terkadang menelepon kalau ada kucing liar," celetuk Anita yang membuat saya sampai terhenyak. 

Ilustrasi kucing liar yang jadi buruan untuk dikonsumsi (Foto: PARBOABOA/ Putra Purba)

Kepada Parboaboa, dia mengaku mulai menjual daging kucing di lapo (kedai) miliknya sejak awal tahun lalu. Bahan itu biasanya diolah menjadi tambul (makanan tambahan) berupa sop atau digoreng. 

Tak cuma dalam bentuk olahan, Anita juga menjual kucing untuk konsumsi. Distribusinya sampai jauh keluar Pematang Siantar. 

Ia punya pelanggan rutin, seorang bos di Balige, Kabupaten Toba. Jarak Pematang Siantar ke Balige sekitar 100 kilometer. Butuh dua jam lebih perjalanan darat untuk menuju ke sana. 

"Karena sempat singgah di lapoku saja dia tertarik mengajakku di tahun 2022 hingga sekarang," Anita menceritakan awal mula kerja samanya dengan orang itu.

Pengiriman ke Balige dilakukan satu atau dua minggu sekali tergantung pesanan saja. Order biasanya masuk H-1 sebelum barang dijemput pemesan. 

Anita biasanya butuh waktu setengah hari untuk mengumpulkan kucing liar. Jumlahnya tergantung kebutuhan, rata-rata 15 ekor. 

Kucing tangkapan akan dimasukan semua ke dalam karung berukuran besar. Khusus untuk pesanan ke Balige, kucing dikirim dalam keadaan hidup. 

Orang yang disebut Anita sebagai bos tadi menghargai seekor kucing Rp20 ribu. Setiap kali menangkap kucing, Anita menyisihkan tiga atau empat ekor untuk diolah sebagai tambul di laponya. 

Lalu dia akan mengabari pelanggan lapo bahwa keesokan harinya akan ada menu tambul kucing. "Promosinya dari mulut ke mulut saja," ujar Anita. 

Ilustrasi kucing liar yang jadi buruan untuk dikonsumsi (Foto: PARBOABOA/ Putra Purba)

Entah bagaimana informasi itu menyebar di antara pelanggan, yang jelas tambul kucing Anita selalu ludes. 

"Saya juga enggak terlalu tanya detail bagaimana mereka tahu. Yah, kalau ada yang minta dan pesan saya kasih aja," kata Anita menambahkan.

Satu porsi tambul kucing dibandrol Rp12 ribu. Lapo Anita hanya menjajakannya pada malam hari. 

Pelanggan yang ingin tambul kucing biasanya sudah paham. Pokoknya sudah tahu sama tahu saja.  

Pembeli pun sudah kenal lapo mana yang punya menu tambul kucing, mana yang tidak. Soalnya, tidak semua lapo menjualnya. 

Mitos Khasiat Daging Kucing 

Daging kucing dianggap punya khasiat untuk mengatasi asma. Begitulah alasan yang disampaikan Joni (34), bukan nama sebenarnya, seorang konsumen daging kucing, kepada saya.   

Dia sudah mengonsumsinya sejak duduk di sekolah menengah pertama. Meski mengakui memakan daging kucing bukanlah hal yang lazim, Joni bilang, "Kalau sudah jadi kebiasaan dan pernah konsumsi pasti ada ketagihan dan jadi terbiasa." 

Kepercayaan soal manfaat semacam itu pula yang bikin perdagangan daging kucing masih marak meski sembunyi-sembunyi. Di kalangan sebagian petani di Pematang Siantar, contohnya, daging kucing dipercaya bisa menambah stamina.

Permintaannya akan tinggi bila musim tanam atau musim panen tiba, seperti dituturkan Bangkit, nama samaran pemilik lapo lain yang menjual tambul kucing. 

Maklum saja, pada periode itu para petani butuh tenaga ekstra. Dan itu, mereka yakini bisa didapat dari tambul kucing. 

Kalau menurut Dicky Putra, dari Komunitas Pecinta Kucing Sehati (KPKS), banyak kesalahpahaman mengenai khasiat daging kucing. Bisa dibilang hampir semuanya kepercayaan masyarakat belaka. 

"Tidak ada dasar penelitian yang mendukung hal tersebut," ujarnya.

Konsumsi daging kucing justru punya risiko bagi kesehatan. Yang paling terlihat dari pengonsumsi daging kucing, kata Dicky, umumnya adalah penyakit yang bisa memicu peradangan pada kulit.

Ia mengingatkan, banyak parasit pada tubuh kucing. Bukan tak mungkin terjadi infeksi silang dari kucing ke manusia akibat konsumsi dagingnya. 

Dicky melihat, praktik konsumsi daging kucing yang masih terjadi lebih dilatari faktor tradisi. Dia sadar hal itu bukan perkara mudah untuk diubah. 

"Harus pelan-pelan memberikan edukasi kepada masyarakat luas bahwa memang hewan-hewan tersebut tidak layak dikonsumsi," paparnya.

Aspek penegakan hukum juga perlu diperkuat. Tanpa hal itu, menurut Dicky, akan selalu ada celah. 

Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Abdul Ficar Hadjar, menilai perdagangan daging kucing untuk dikonsumsi sebagai tindakan penyalahgunaan. (Foto: Dok Pribadi)

Kata Pakar Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar, perdagangan daging kucing bisa saja dikategorikan animal abuse atau penganiayaan hewan. 

Acuan utamanya adalah UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang diubah dengan UU 41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 18 Tahun 2009.

Regulasi tersebut mengatur produk hewan yang masuk kriteria dapat dikonsumsi manusia. Kucing, kata Fickar, tidak termasuk di dalamnya. 

"Jadi pengkonsumsiannya merupakan tindakan penyalahgunaan," ia menjelaskan. 

Karena memang bukan produk makanan, standar pemotongannya pun tidak ada. Fickar menilai praktiknya bisa melanggar perikehewanan.

Jerat hukum bagi pelaku perdagangan daging kucing bisa merujuk pada pasal 302 KUHP. Di sana tercantum sanksi pidana bagi pelaku penganiaya hewan. 

Sayangnya sosialisasi aturannya di masyarakat belum cukup memadai. Indikatornya sederhananya, sejumlah sumber yang kami wawancarai terkait perdagangan daging kucing tidak tahu adanya larangan konsumsi daging kucing.

Bagi Dicky Putra, memang perlu kolaborasi dan koordinasi semua lini untuk menghapus—atau setidaknya meminimalkan—praktik perdagangan daging kucing. 

Sosialisasi dan edukasi perlu makin gencar, penegakan hukum juga perlu konsisten. Di lapangan saat ini, masih banyak celah pelanggaran.

"Buktinya saja masih banyak orang yang mengkonsumsinya sebagai hidangan olahan," ujar Dicky.

Reporter: Putra Purba

Editor: Jenar
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS