PARBOABOA, Pematang Siantar – Pemilihan Presiden 2024 semakin mendekat, dan debat perdana antara para calon presiden (capres) telah menciptakan gelombang perbincangan di tengah masyarakat.
Sorotan utama tertuju pada visi-misi yang diusung oleh setiap kandidat. Salah satu capres yang mencuri perhatian adalah Ganjar Pranowo, dengan programnya yang ambisius, ‘1 Keluarga Miskin, 1 Sarjana.’
Selain menjanjikan kesejahteraan, program ini juga digadang-gadang mampu memberikan harapan baru bagi keluarga-keluarga kurang mampu.
Namun, tak kalah menarik adalah program dari capres nomor urut 2, Prabowo Subianto, yang mengusung gagasan memberikan ‘Makan Siang Gratis’ untuk siswa pra-sekolah, sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA), dan pesantren.
Rencana ini tidak hanya membahas isu kesejahteraan, tetapi juga menunjukkan perhatian terhadap pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat.
Retorika Politik atau Solusi Nyata bagi Masyarakat?
Rosi Saragih (54), warga Desa Lestari Indah, Kecamatan Siantar, Kabupaten Simalungun menyambut baik gagasan Ganjar Pranowo. Pendidikan dinilai sangat penting dalam mengubah taraf ekonomi menjadi lebih baik.
“Dulu saya hanya tamatan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Namun saya tidak dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi karena kendala biaya," kata Rosi kepada PARBOABOA, Kamis (14/12/2023).
Ia menambahkan, "orangtua saya sudah tiada saat itu. Seandainya saya dapat melanjutkan pendidikan, mungkin saya punya harapan untuk mengubah keadaan ekonomi saya saat ini."
Rosi yang saat ini bekerja sebagai pembersih salah satu Gereja di Pematang Siantar berharap, program 1 keluarga miskin satu sarjana, kelak dapat membantu pendidikan anak-anaknya.
Berbeda dengan Rosi, Lasmida Hutabarat (60) lebih sepakat dengan program Makan Siang Gratis yang diusung Prabowo. Baginya, program capres nomor urut 3 bukanlah buruk, tetapi berpotensi menimbulkan kecemburuan di antara anak-anak.
“Bayangkan saja jika saya punya 10 anak, kalau cuman 1 yang mendapatkan manfaatnya ? Nanti takutnya dapat menimbukan rasa iri kepada saudaranya yang lain,” katanya kepada PARBOABOA, Kamis (14/12/2023).
Sementara program makan siang gratis, kata Lasmida, selain manfaatnya merata untuk anak-anak, juga dapat membantu para orang tua mendukung pemenuhan gizi anak-anak.
Pengamat Pendidikan, Ari S. Widodo Poespodihardjo, menyoroti situasi ini dengan mengingatkan agar masyarakat berpikir kritis terhadap gagasan yang disampaikan oleh setiap calon.
Pasalnya, gagasan politisi seringkali bersandar pada asumsi yang tidak realistis, kecuali disertai data empiris dan argumen yang kuat.
“Bagi saya pribadi, ini adalah gagasan atau wacana yang ditawarkan oleh politisi yang berkeinginan mencapai tujuan politik,” kata Ari kepada PARBOABOA.
Ari mengakui bahwa gizi buruk memang menjadi masalah riil di Indonesia. Dengan pertumbuhan populasi yang pesat, masalah ini akan semakin mendalam.
Namun, Ia mengaku ragu terhadap keberhasilan implementasi program makan siang gratis, sebagaimana yang telah diterapkan di India.
“Apakah ini realistis di Indonesia? Kalau hanya mengandalkan dana pemerintah, rasanya mustahil karena akan pasti terbatas. India bisa melakukan hal tersebut karena dukungan penuh dari masyarakatnya," imbuhnya.
Pendidikan Bukan Jaminan Turunnya Tingkat Pengangguran
Ari S. Widodo Poespodihardjo juga menyoroti persepsi yang melibatkan keyakinan sebagian masyarakat bahwa peningkatan tingkat pendidikan secara otomatis akan mengurangi tingkat pengangguran.
Perbaikan dalam sistem pendidikan memang menjadi suatu keharusan, namun perlu dipahami bahwa peningkatan ini tidak boleh terbatas pada satu aspek saja.
"Pendidikan seperti apa yang akan diprioritaskan? Kalau yg diperlukan adalah peningkatan mutu tenaga terampil ya bangunlah kapasitas pendidikan dengan perhatian kesitu," ujarnya.
Ia membagikan pengalamannya dalam diskusi dengan pimpinan negara ASEAN, di mana negara tersebut sangat membutuhkan tenaga terampil, dengan meningkatkan jumlah SMK dan politeknik.
Menurutnya, hal itu berbeda dengan kebijakan di Indonesia yang masih mengutamakan gelar strata S1, sementara kebutuhan riil lebih mengacu kepada tenaga terampil dari SMK dan politeknik.
“Saya pernah mengikuti sebuah diskusi dengan salah satu pimpinan negara ASEAN. Bagi negara tersebut, mereka sangat membutuhkan tenaga terampil, jadi mereka menginginkan lebih banyak SMK yang dibangun dan dibuka selain politeknik."
Untuk itu, Ari mengajak masyarakat untuk berpikir kritis terhadap pernyataan politisi dan menilai kebijakan mereka secara obyektif.
Hal ini penting agar pemahaman yang utuh terbentuk terkait suatu isu, yang pada gilirannya akan mempengaruhi pilihan yang lebih rasional.
“Saya paham politisi apapun bentuknya akan berperilaku sama. Tugas masyarakat atau saya sebagai akademisi adalah berpikir kritis akan semua hal yang diutarakan. Kalau sekiranya jauh dari kenyataan atau jelas hanya akan berhenti di tingkat gagasan, ya harus dilihat seperti itu tanpa harus melibatkan emosi atau antipati," tutupnya.
Editor: Rian