PARBOABOA, Jakarta - Sebuah ketegangan terjadi ketika ratusan aparat mendatangi Kampung Bulak, Depok, Jawa Barat, yang terdampak proses pembangunan kampus Universitas Islam Indonesia Internasional (UIII).
Kedatangan ratusan aparat keamanan dari TNI, Polri, Satpol PP, dan aparatur pemerintahan setempat pada Kamis (21/12/2023), ialah untuk kegiatan penilaian (appraisal) oleh Tim Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) yang diklaim pihak UIII sebagai zona merah yang akan segera digusur.
Salah satu warga Bulak, Jeremias Ndiang, menyebut kedatangan aparat yang berjumlah ratusan tersebut membuat warga takut.
“Kondisi warga ketakutan. Padahal sebenarnya kalau mau mengamankan kan tidak butuh volume aparat sebanyak itu. Itu intimidasi,” jelasnya kepada PARBOABOA, Kamis (21/12/2023).
Ia lantas menyinggung tanggung jawab aparat yang seharusnya melindungi warga, malah memaksa untuk mendampingi tim penilai.
“Kalau sepengetahuan saya kan, aparat seharusnya mengawal dan mendampingi warga, bukan membuat takut,” jelasnya.
Jeremia mengungkap, warga saat ini hanya ingin mendapatkan harga ganti rugi yang sesuai dan layak.
“Warga saat ini ingin diberi harga yang layak dan sesuai menurut undang-undang,” paparnya
Sementara itu, Pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Fadhil Alfathan, mengecam tindakan aparat yang mengintimidasi warga dan menganggapnya sebagai pelanggaran terhadap prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM).
“Keterlibatan TNI-Polri dalam kasus ini sudah menjadi pola yang kerap dilakukan terhadap mayoritas kasus penggusuran bersamaan dengan intimidasi dan kekerasan,” jelas Fadhil kepada PARBOABOA, Kamis (21/12/2023).
Selain itu, LBH Jakarta menilai tindakan UIII bersama aparat keamanan sebagai bentuk tidak menghormati proses di Komnas HAM RI.
“Padahal, berdasarkan Pasal 76 dan 89 ayat (4) UU HAM, Komnas HAM dapat mengadakan mediasi guna mendorong penyelesaian sengketa yang menjunjung tinggi HAM,” ungkapnya.
Ia menekankan bahwa seharusnya Komnas HAM sebagai lembaga independen dihormati dalam pelaksanaan tugasnya, terutama dalam menangani sengketa HAM.
Pendekatan Represif Tidak Menyelesaikan Masalah
Pengerahan aparat keamanan secara berlebihan tanpa dialog yang terbuka dan solutif hanya memperburuk situasi.
Keterlibatan aparat keamanan dalam jumlah besar dianggap berlebihan dan menciptakan suasana ketakutan, mengganggu aktivitas sosio-ekonomi warga khususnya kelompok rentan seperti perempuan, anak-anak, dan lansia.
Fadhil juga menyoroti pola serupa dalam kasus penggusuran sebelumnya yang melibatkan intimidasi dan kekerasan, serta pelanggaran terhadap hak masyarakat.
Misalnya saja, dalam kasus serupa di Desa Wadas dan Pulau Rempang, dimana pendekatan represif tidak membawa solusi dan hanya menimbulkan korban.
Karena itu, LBH Jakarta mendesak penghentian kegiatan aparat keamanan gabungan tersebut dan menindak aparat yang terlibat sesuai dengan proses hukum.
Selain itu, mereka juga menuntut agar Menteri Agama menghentikan penggusuran paksa di Kampung Bulak.
Sekilas soal Sengketa Kampung Bulak dan UIII
Di tengah perkembangan kota yang pesat, Kampung Bulak, Depok, berada dalam pusaran konflik tanah dengan UIII yang akan membangun kampus di wilayah tersebut.
Awal mula konflik ini terletak pada klaim Kementerian Agama mengenai tanah seluas 142 hektare yang dulu merupakan Eigendom Verponding, atau hak milik tanah era Hindia Belanda, atas nama Samuel De Meyer Faber.
Pada 1960, pemerintahan Presiden Soekarno menetapkan batas waktu hingga September 1980 untuk mengubah status hukum tanah era Hindia Belanda menjadi hak kepemilikan sesuai hukum Indonesia.
Tanah yang tidak bisa dibuktikan kepemilikannya dalam periode ini otomatis beralih menjadi milik negara.
Lalu sejak 1980, tanah tersebut berada di bawah kendali negara dan dialokasikan ke Kementerian Penerangan untuk Radio Republik Indonesia (RRI), yang pada 2007 memperoleh Sertifikat Hak Pakai atas tanah tersebut.
Tanah tersebut kemudian dibagi untuk pembangunan UIII dan sertifikat Hak Pakai baru untuk UIII diterbitkan pada 2018, mencakup area yang sama.
Dari situ, timbul perpecahan antara warga dengan pemrintah. Warga mnyebut, RRI hanya menggunakan sebagian lahan untuk menara pemancar, sementara warga telah menguasai dan menggarap tanah secara fisik dan turun-temurun.
Meskipun warga tidak pernah mengurus hak kepemilikan formal, mereka merasa memiliki hak atas tanah tersebut.
Hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa selama ini RRI tidak pernah mengusir atau mempermasalahkan keberadaan warga.
Editor: Atikah Nurul Ummah