PARBOABOA, Jakarta - Generasi Z (Gen Z) sering digambarkan sebagai generasi yang tech-savvy, inovatif, dan penuh semangat. Tetapi dibalik semua itu, mereka menghadapi tantangan besar ketika masuk ke dunia kerja.
Meski tumbuh di era digital dan sangat akrab dengan teknologi, banyak dari mereka yang merasa terjebak dalam pusaran kebingungan di lingkungan kerja yang berbeda dari ekspektasi mereka.Kenapa bisa begitu?
Salah satu masalah utama yang dihadapi oleh Gen Z adalah adaptasi dengan budaya kerja yang ada di Indonesia.
Meski mereka sangat familiar dengan teknologi dan tumbuh bersama internet, banyak dari mereka dihadapkan pada budaya kerja yang masih konservatif dan hirarkis.
Di banyak perusahaan besar, keputusan masih sering kali didasarkan pada senioritas dan pengalaman, bukan pada inovasi atau ide-ide baru yang dibawa oleh generasi muda ini.
Akibatnya, ide-ide mereka sering kali diabaikan, menciptakan rasa frustasi yang mendalam.
Selain itu, ekspektasi gaji yang tinggi juga menjadi tantangan tersendiri.
Terbiasa melihat sosok-sosok sukses muda di media sosial, banyak dari Gen Z yang berharap bisa meraih kesuksesan finansial dengan cepat. Namun, realitas pasar kerja di Indonesia berbeda.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 menunjukkan bahwa rata-rata gaji fresh graduate hanya berkisar antara Rp4 juta hingga Rp6 juta, jauh di bawah ekspektasi mereka yang berharap lebih dari Rp10 juta.
Kesenjangan ini menambah beban mental mereka saat memulai karier.
Konsep Kerja
Gen Z sangat menjunjung tinggi keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Mereka menolak konsep "hidup untuk bekerja" yang mungkin masih dianut oleh generasi sebelumnya.
Namun, di Indonesia, budaya kerja yang mengharuskan lembur dan beban kerja yang tinggi masih sangat kental.
Hal ini menyebabkan banyak dari mereka merasa tertekan dan cepat mengalami burnout.
Sebuah studi oleh McKinsey pada tahun 2022 menemukan bahwa 70% pekerja Gen Z di Indonesia mengalami stres berlebihan dalam dua tahun pertama mereka bekerja.
Gangguan mental juga menjadi perhatian utama bagi Generasi Z.
Terkait hal ini, dalam liputan khusus PARBOABOA (Senin 26/08/2024) yang bertajuk, Agar Gen Z Tak Menyakiti Diri Sendiri digambarkan Raffi dan Alissa, dua anak muda yang energik pernah mengalaminya.
Rafi acap kali menyayat-nyayat lengan bawah bagian dalam menggunakan cutter sedangkan Alissa merobek pergelangan kedua tangannya dengan silet.
Keduanya memilih menyakiti diri sendiri karena perasaan tertekan, ditinggalkan dan kesepian.
Beruntung, di saat mereka terjebak dalam gejolak melukai diri sendiri, bantuan dari psikolog datang dan menyelamatkan mereka.
Selain itu, mereka lebih terbuka dalam membicarakan masalah stres, kecemasan, dan depresi dibandingkan generasi sebelumnya.
Namun, dukungan untuk kesehatan mental di tempat kerja masih sangat minim di Indonesia.
Menurut data Kementerian Kesehatan tahun 2023, hanya 25% perusahaan di Indonesia yang memiliki program dukungan kesehatan mental bagi karyawan.
Kondisi ini sangat memprihatinkan, mengingat tekanan kerja yang tinggi dan ekspektasi yang besar terhadap mereka.
Bagi Generasi Z, bekerja bukan hanya soal gaji, tetapi juga tentang pengembangan diri. Mereka ingin terus belajar dan berkembang secara profesional.
Namun, banyak perusahaan di Indonesia belum menyediakan program pengembangan karyawan yang memadai.
Hasil survei World Economic Forum tahun 2023 menunjukkan bahwa 60% Gen Z di Indonesia merasa perusahaan mereka tidak menyediakan pelatihan atau pengembangan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan masa depan.
Hal ini membuat mereka merasa stagnan dan kurang termotivasi dalam pekerjaan.
Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, perusahaan perlu melakukan perubahan mendasar dalam budaya kerja mereka.
Sistem penggajian yang lebih adil, dukungan kesehatan mental yang memadai, serta program pengembangan karyawan yang relevan dan berkelanjutan adalah langkah-langkah yang perlu diambil.
Dengan begitu, bukan hanya Gen Z yang akan berkembang, tetapi juga perusahaan-perusahaan yang siap beradaptasi dengan kebutuhan generasi baru ini.
Pandemi COVID-19 juga telah mengubah banyak aspek kehidupan Gen Z, termasuk karier mereka.
Banyak dari mereka yang baru memulai karier ketika pandemi melanda, menghadapi ketidakpastian besar.
Laporan dari LinkedIn tahun 2023 menunjukkan bahwa Gen Z adalah kelompok yang paling terdampak oleh PHK dan penundaan perekrutan selama pandemi.
Akibatnya, banyak dari mereka terjebak dalam pekerjaan sementara atau menganggur lebih lama dari yang diperkirakan, yang pada gilirannya berdampak pada kepercayaan diri mereka.
Akibatnya, banyak dari mereka merasa terjebak dalam pekerjaan sementara atau menganggur lebih lama dari yang diperkirakan, yang pada gilirannya berdampak pada kepercayaan diri mereka.
Umumnya, Generasi Z sangat membutuhkan mentor yang bisa membimbing mereka dalam menavigasi dunia kerja yang kompleks.
Namun, menemukan mentor yang relevan dan mengerti kebutuhan serta tantangan mereka sering kali sulit.
Sebuah survei oleh Gallup pada tahun 2023 menemukan bahwa hanya 30% dari Gen Z di Indonesia merasa memiliki mentor yang bisa diandalkan di tempat kerja mereka.
Ketiadaan mentor ini sering kali membuat mereka merasa tersesat dan kurang termotivasi, memperparah tantangan yang sudah mereka hadapi.
Namun, tantangan-tantangan ini juga bisa diubah menjadi peluang besar.
Dengan pendekatan yang tepat, Generasi Z dapat membawa inovasi dan perubahan yang signifikan dalam dunia kerja di Indonesia.
Perusahaan yang mampu beradaptasi dengan kebutuhan dan karakteristik mereka akan mendapatkan keuntungan besar, baik dari segi produktivitas maupun kepuasan karyawan.
Editor: Norben Syukur