RUU PPRT di Persimpangan Jalan: Quo Vadis DPR?

Ratusan massa melakukan demonstrasi pengesahan RUU PPRT (Foto: Instagram/@jalaprt)

PARBOABOA, Jakarta – Perlindungan terhadap pekerja rumah tangga (PPRT) di Indonesia telah menjadi topik hangat selama beberapa tahun terakhir. 

Komisioner Komnas Perempuan, Satyawanti Mashudi dalam Siaran Pers pada Selasa (13/02/2024) lalu, menyebutkan situasi kekerasan terhadap PRT semakin memprihatinkan. 

Laporan JALA PRT menunjukkan antara 2018 dan 2023, tercatat 2.641 kasus kekerasan terhadap PRT. Kasus-kasus tersebut umumnya berupa kekerasan psikologis, fisik, dan ekonomi di tempat kerja. 

Banyak pekerja rumah tangga mengalami masalah seperti upah tidak dibayar selama 2 hingga 11 bulan, pemecatan tanpa alasan, atau pemotongan gaji saat sakit. 

Selain itu, mereka juga tidak memiliki akses ke jaminan kesehatan, tidak mendapat kenaikan upah, dan tidak mendapatkan pesangon saat menghadapi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Dalam hal penegakan hukum, "hanya 15 persen pelaku kekerasan terhadap PRT yang menerima hukuman sesuai Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT)," tulis laporan itu. 

Sebagian besar pelaku justru hanya mendapat hukuman ringan atau bahkan bebas dari tuntutan.

Kondisi memprihatinkan ini disebabkan oleh kurangnya pengakuan terhadap PRT sebagai subjek yang berhak mendapatkan perlindungan dan hak asasi dalam kebijakan ketenagakerjaan nasional. 

Perhatian yang lemah terhadap PRT juga dibuktikan dengan belum disahkannya Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PRT) yang telah diajukan sejak 2014 lalu.

Masalah ini semakin mendesak menjelang akhir masa jabatan DPR periode 2019-2024, yang hanya tersisa tiga bulan lagi. 

Berhadapan dengan masalah tersebut, sejumlah lembaga negara yang peduli pada hak asasi manusia (HAM) menuntut agar DPR segera mengambil tindakan nyata. 

Mereka, antara lain Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Komisi Nasional Disabilitas.

Menurut mereka, jika hingga akhir masa jabatan DPR, RUU PPRT belum memiliki Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang disepakati, maka pembahasan harus dimulai dari awal pada periode DPR berikutnya (non-carry over).

Quo Vadis DPR?

Wakil Ketua Komnas Perempuan, Olivia Chadijah Salampessy, menyatakan banyaknya kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga seharusnya mendorong DPR untuk segera membahas dan mengesahkan RUU PPRT. 

"Sebagian besar pekerja rumah tangga dan pemberi kerja adalah perempuan. Komnas Perempuan berkepentingan untuk mendukung perlindungan perempuan dari diskriminasi dan kekerasan," kata Olivia.

Terlebih lagi, sambung Olivia, pada Maret 2024 lalu, DPR telah menetapkannya sebagai RUU Inisiatif. 

Di pihak lain, Presiden Jokowi juga telah mengirimkan DIM RUU PPRT ke pimpinan DPR dan menunjuk kementerian yang akan mewakili pemerintah dalam pembahasan bersama DPR.

Dengan kondisi demikian, maka Komnas Perempuan mendesak DPR untuk merampungkan pembahasan RUU PRT dan mengesahkannya sesegera mungkin.

Fakta bahwa kekerasan terhadap pekerja rumah tangga masih tinggi, bahkan setelah RUU PPRT ditetapkan sebagai RUU Inisiatif DPR, menunjukkan kurangnya tindakan nyata dari legislatif.  

Hal ini serempak menggarisbawahi perlunya sinergi antara eksekutif dan legislatif dalam isu perlindungan HAM.

Serupa, Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah, menyatakan bahwa lembaganya memberikan perhatian khusus terhadap percepatan pembahasan dan pengesahan RUU PPRT. 

Ia beralasan, hal tersebut dibuat karena pekerja rumah tangga adalah kelompok yang rentan terhadap pelanggaran HAM. 

Selama ini, Komnas HAM telah menerima banyak pengaduan, seperti kekerasan fisik dan seksual, tidak digaji, tidak diizinkan berhubungan dengan keluarga selama bekerja, hingga perdagangan manusia yang dialami PRT.

"Kajian intensif yang dilakukan Komnas HAM pada tahun 2021 menyimpulkan bahwa pekerjaan ini layak dilindungi dengan undang-undang yang tegas," ujar Anis. 

Menurutnya, RUU PPRT akan mencegah diskriminasi, eksploitasi, dan pelecehan terhadap pekerja rumah tangga serta meningkatkan kesejahteraan mereka.

Sementara, Ketua KPAI, Ai Maryati Solihah, menyoroti sekitar 15 persen dari total pekerja rumah tangga di Indonesia masih berusia anak-anak, meskipun pemerintah telah menetapkan larangan pekerja anak sejak 2022. 

KPAI juga menemukan bahwa pekerja rumah tangga anak-anak sering mengalami kekerasan seksual dan penyiksaan, serta pertumbuhan yang tidak optimal. 

Meskipun berbagai upaya telah dilakukan para aktivis untuk mendorong pengesahan RUU PPRT, hingga kini belum ada tindakan konkret dari DPR.

Pengakuan Komnas HAM dan KPAI mengenai pelanggaran hak asasi PRT menunjukkan betapa mendesaknya kebutuhan akan legislasi khusus yang melindungi mereka. 

Di samping itu, tingginya angka kekerasan dan eksploitasi menekankan pentingnya pengesahan RUU PPRT untuk meningkatkan kesejahteraan dan melindungi kelompok rentan. 

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS