Salak Condet: Maskot Jakarta yang Tergusur Zaman

Salak yang baru berusia sekitar 4 bulan, dan harus menunggu 2 bulan lagi untuk siap dipanen di Kebun Cagar Buah Condet (KCBC) di Jalan Kayu Manis, Balekembang, Kramat Jati, Jakarta Timur. (Foto: PARBOABOA/Muazam)

PARBOABOA, Jakarta – Salak merupakan varietas buah yang tumbuh di kawasan Condet, Balekambang, Jakarta Timur, DKI Jakarta.

Salak Condet, begitu warga Jakarta mengenalnya itu pernah memiliki masa kejayaan dan memiliki luas kebun yang pernah mencapai 300 hektare.

Penamaan salak 'Condet', diambil dari habitat pohonnya yang tumbuh subur di kawasan tersebut. 

Hanya saja saat ini, luas kebun salak di Balekambang hanya tersisa 3,4 hektare yang oleh Pemprov DKI dijadikan Kebun Cagar Buah Condet (KCBC). 

Di kebun tersebut juga didirikan tugu salak Condet yang dibangun pada tahun 2022, era Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan.

Hamparan pohon salak condet di Kebun Cagar Buah Condet (KCBC). (Foto: PARBOABOA/Muazam) 

Saat ini eksistensi salak Condet pun meredup, banyak warga tak mengenalnya, apalagi mencicipinya.

Koordinator KCBC, Syafrudin bercerita, di tahun 1970-an, hampir 90 persen warga Condet punya kebun salak. Ia mengaku orang tuanya sempat punya kebun salak seluas 1.000 meter persegi.

“Dulu kakek saya di sini dijuluki tuan tanah, punya anak 7. Baba (bapak) saya kebagian tanah 1.000 meteran, itu ditanami sekitar 200 pohon,” ujarnya kepada PARBOABOA.

Dulu, Mali, begitu Syafrudin akrab disapa menjual salak condet ke Pasar Minggu. Setiap pagi ia memikul keranjang berisi salak seberat 40 kilogram.

Tugu Salak Condet yang diresmikan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tahun 2022, di Jalan Dewi Sartika, Cililitan, Kramat Jati, Jakarta Timur. (Foto: PARBOABOA/Muazam) 

Ia berjalan kaki menyeberangi Sungai Ciliwung menuju Pasar Minggu.

“Dulu jual salaknya per biji, satu biji kurang lebih antara Rp50 perak sampai Rp100 perak,” kenangnya.

Di era 1970-an, produksi salak Condet mencapai rerata 285,7 ton per tahun. Panen itu didapat dari 1.656.600 pohon salak yang tumbuh di atas kebun warga seluas total 300 hektare.

Saking tenarnya, salak condet bersama Elang Bondol dijadikan maskot Kota Jakarta oleh Gubernur Ali Sadikin pada tahun 1989 hingga saat ini.

Saat PARBOABOA berkunjung ke Kebun Cagar Buah Condet, masih terlihat ribuan pohon salak berjejer membentang di lahan seluas 3,4 hektare.

Di sana, 2 ribu pohon salak yang belum panen tumbuh rimbun menutupi langit Jakarta yang belakangan ini panas dan penuh polusi udara.

Usia ribuan pohon salak itu baru sekitar 4 bulanan dan perlu butuh waktu 6 bulan untuk memanennya.

Meski belum matang sempurna, PARBOABOA mencoba mencicipi buah tersebut. Salak di kebun ini memiliki tekstur tebal, rasanya manis dan agak sepet.

Mali mengatakan, setiap pohon salak yang tumbuh di KCBC memiliki ciri khasnya masing-masing. KCBC sendiri memiliki 7 varietas salak dengan rasa dan tekstur yang berbeda-beda.

“Ada yang rasanya dominan manis, ada yang didominasi dengan sepet. Ada juga yang teksturnya itu cokelat kayak buah busuk, padahal enggak, emang begitu, rasanya manis,” ujarnya sambil memetik salak lalu mengupasnya.

Salak condet dengan varietas tekstur berwarna coklat menyerupai buah busuk. (Foto: PARBOABOA/Muazam) 

Syafrudin menjelaskan, salak Condet berbeda dengan salak jenis lain seperti salak Pondoh yang berasal dari Sleman, Yogyakarta.

“Bahkan boleh dikatakan salak Condet di Pulau Jawa itu yang tertua pohon dan perkebunannya. Bahkan, salak Pondoh itu awalnya dari sini, kemudian dikembangkan di Jawa,” jelasnya.

Hanya saja, keunggulan salak Condet saat ini tidak diimbangi dengan produktivitasnya. Bahkan di KCBC saja, tidak semua pohon salak berbuah sempurna.

Mali menyebut banyak pohon salak Condet yang gagal berbuah tahun ini. Salah satu faktor penyebabnya yaitu musim kering yang berkepanjangan turut mempengaruhi kualitas salak Condet. Mulai dari buah yang kering, mudah gugur tertiup angin hingga membusuk dimakan tikus pohon.

“Kalo salak nominal target banyaknya panen enggak bisa kita pastikan. Karena kendala kita di sini banyak,” ucap Mali.

“Sekarang cuaca susah ditebak, kalo dulu kan setiap bulan berakhiran ber-ber-ber seperti macam September sudah pasti musim ujan. Kalo sekarang enggak bisa ditebak, sekarang September-Oktober panasnya belentet,” sambungnya.

Selain itu, salak Condet tidak dijual bebas di pasaran seperti salak Pondoh. Salak Condet biasanya dijual ke pejabat dan aparatur sipil negara (ASN) di Pemprov DKI Jakarta. Bisa juga menjadi sajian tamu Pemprov yang berkunjung.

Bila buahnya melimpah, Mali akan menjual salak Condet di pinggir jalan depan KCBC.

“Kalo lagi panen banyak, ya saya jual di depan tuh gelar pake meja. Kita jualnya di atas harga salak Pondoh, karena ini langka. Salak Pondoh di pasar Rp10 ribu sekilo, kita jual salak Condet Rp15 per kilo,” ucap Mali.

Salak Condet Tergerus Zaman

Mali melanjutkan, kebun salak condet mulai menyusut di tahun 1990-an. Saat itu, warga asli Condet banyak yang menjual kebun dan tanahnya ke warga pendatang.

Syafrudin membersihkan pohon salak di Kebun Cagar Buah Condet (KCBC). (Foto: PARBOABOA/Muazam) 

Sebagian besar warga yang memiliki kebun salak luas, dijual setengahnya untuk kebutuhan seperti hajatan nikahan anak atau membuat kontrakan.

“Tahu sendiri Betawi, tekor yang penting tersohor. Lha gua mau hajatan nih, nah orang Betawi kalo hajatan mana ada sih yang pake selamatan doang? Pasti pake ramein,” ucap Mali.

Memang tak ada data detail yang mencatat soal luas penyusutan kebun salak condet tersebut. Tapi yang pasti, penurunan luas lahan itu sangat kontras terlihat, dari sebesar 300 hektare di tahun 1970 menjadi sisa 3,4 hektare di tahun 2023.

Selain penyusutan lahan, menurut Mali, eksistensi salak condet juga tergerus oleh kemunculan salak pondoh yang muncul pada tahun 1990-an.

Salak pondoh itu, lanjut Mali, bermula dari bibit pohon salak condet kemudian dikembangkan di Sleman, Yogyakarta hingga mampu menguasai pasar buah-buahan di Jakarta dan nasional.

“Apalagi saat masuk salak pondoh ke pasar Jakarta. Harga lebih murah, petani di sini agak kurang bisa bersaing,” katanya.

Pantauan PARBOABOA, salak pondoh memang mendominasi pangsa pasar di Jakarta. Sebut saja di Pasar Minggu, Pasar Induk, Pasar Kramat Jati dan di pedagang kaki lima sekitar Jakarta Timur.

Salak yang baru berusia sekitar 4 bulan, dan harus menunggu 2 bulan lagi untuk siap dipanen. (Foto: PARBOABOA/Muazam) 

Melihat ancaman serius itu, Pemprov DKI melalui Dinas Pertanian membeli kebun salak condet milik warga yang tersisa pada tahun 2007. Termasuk milik Mali, seluas 1.000 meter persegi.

Pemprov juga mempekerjakan 4 orang warga sekitar untuk mengurus kebun salak condet itu, termasuk Mali. Para pekerja itu dibayar untuk mengurus kebun hingga memanen salak, bahkan turut bertanggung jawab menjualnya.

Banyak Warga Tak Tahu Ada Salak Condet

Kendala dan penyusutan lahan turut mempengaruhi eksistensi salak Condet, terutama di kalangan masyarakat.

Bahkan tak lagi banyak warga Jakarta yang mengenal salak Condet.

Salah satunya Dio Satria, warga kelurahan Gedong, Pasar Rebo, Jakarta Timur ini mengaku tidak pernah mendengar salak Condet, apalagi mencicipinya.

Padahal rumah Dio hanya berjarak 2 kilometer dari kebun salak Condet di Balekambang.

Ia langsung bergegas mengecek info mengenai salak Condet di mesin pencarian Google setelah ditanya PARBOABOA.

“Gua juga baru tau salak Condet. Ternyata emang ada ciri khas salak Condet,” ujar Dio kepada PARBOABOA, Senin (30/10/2023).

Berbeda dengan Margiana, warga Pondok Labu Jakarta Selatan ini mengaku pernah mendengar keberadaan salak Condet dari neneknya.

Meski mengetahui Margiana tidak pernah melihat langsung bentuk, apalagi mencicipi Salak Condet.

“Denger mah pernah, nenek dulu bilang salak ada 2 (jenis) yang Pondoh sama Condet. Cuma gua enggak tahu bedanya apa,” katanya kepada Parboaboa.  

Kejayaan Salak Condet

Sementara itu, pemerhati budaya, Alwi Shahab dalam bukunya Betawi: Queen of the East, menyebut kawasan Condet dulunya merupakan lahan swasta atau tanah partikelir seluas 52.530 hektare.

Dalam bukunya Alwi menyebut, kawasan tersebut milik Frederik Willem Freijer yang berkebangsaan Belanda di tahun 1753.

Singkat cerita, tanah partikelir itu beralih kepemilikan kepada Willem Vincent Helvetius van Riemsdijk di tahun 1770.

Di tangan Helvetius itulah Condet dikembangkan menjadi kawasan pertanian dan peternakan.

Salak yang baru berusia sekitar 3 bulan, dan harus menunggu 3 bulan lagi untuk siap dipanen. (Foto: PARBOABOA/Muazam) 

Tanah partikelir Condet itu ditanami pohon salak, duku, durian, gandaria, nangka dan mangga. Termasuk memelihara hewan ternak seperti sapi dan kerbau.

Pasca kemerdekaan Indonesia, Condet terus menjadi kawasan penghasil buah terutama salak dan duku.

Perkebunan itu banyak dikelola warga asli Jakarta, Betawi.

Dalam bukunya, Alwi juga mencatat, buah-buahan asal Condet, termasuk salak kerap menjadi hidangan tamu Presiden Soekarno di Istana Negara.

Bahkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat bercerita, Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri pernah bilang bahwa ayahnya Soekarno suka sekali dengan salak condet.

“Bung Karno kerap membawa oleh-oleh salak condet yang tersohor itu ke Istana (Negara), di mana Bu Mega dengan riang menerima oleh-oleh ayahandanya. Buah salak khas Condet banyak tumbuh di bantaran Sungai Ciliwung,” ujar Jokowi pada tahun 2014 silam.

Sementara Pegiat sejarah Jakarta, Yazid Fahmi menilai Gubernur Ali Sadikin menjadikan salak Condet sebagai maskot kota bukanlah tanpa sebab.

“Salak condet jadi maskot Jakarta karena ciri khasnya yang tidak ditemui pada salak-salak lainnya. Daging buah yang tebal dan besar serta rasanya yang manis. Itu berbeda sama Salak Bali dan Salak Pondoh. Selain itu, Salak ini juga cuma ada di Condet,” ujarnya kepada PARBOABOA.

Yazid menjelaskan, salak condet dijadikan maskot seolah ingin menunjukkan identitas Jakarta sebenarnya.

“Jadi Jakarta itu sebenarnya adalah penghasil buah, itu sebabnya ada nama-nama kampung dengan nama buah. Kampung Dukuh, Kampung Rambutan, Jalan Nangka dan lainnya tuh,” imbuhnya.

Editor: Kurniati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS