PARBOABOA, Jakarta – Aktivitas alam yang membahayakan di Gunung Kelimutu, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT) masih berlangsung sampai saat ini.
Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan bahwa suplai magma ke permukaan masih berlangsung di Gunung tersebut terlihat dari aktivitas kegempaan.
Ketua Pos Pengamatan Gunung Api Kelimutu, Irwan Ka Uman, pada Rabu (31/07/2024) menyampaikan bahwa gempa-gempa vulkanik yang terjadi menunjukkan adanya suplai magma ke permukaan.
Ia menjelaskan bahwa hasil pengamatan instrumental kegempaan menunjukkan dominasi gempa vulkanik dalam.
Setiap harinya, Pos Pengamatan Gunung Kelimutu mencatat terjadinya gempa vulkanik dalam, dengan total mencapai 95 kali selama periode 16-27 Juli 2024.
Indikasi suplai magma ke permukaan tidak hanya terlihat dari aktivitas kegempaan, tetapi juga dari data pemantauan visual dan instrumental yang menunjukkan perubahan signifikan, termasuk perubahan warna air danau di Kawah I.
Selain itu, sebaran belerang di permukaan air danau Kawah II juga semakin intensif, dan terdapat peningkatan suhu air di Kawah I, Kawah II, dan Kawah III, yang menunjukkan peningkatan aktivitas magmatik.
"Perubahan warna air danau kawah, intensitas sebaran belerang, dan peningkatan kegempaan semuanya mengindikasikan terjadinya suplai magma ke permukaan," ujarnya.
Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, Badan Geologi merekomendasikan agar masyarakat dan pengunjung di sekitar Gunung Kelimutu tidak berada dalam radius 250 meter dari tepi kawah.
Hal ini disebabkan oleh potensi ancaman bahaya dari Gunung Kelimutu yang saat ini masih bersifat erupsi freatik dan magmatik.
Potensi bahaya ini jelasnya, dapat menghasilkan lontaran material dalam radius 250 meter, sehingga masyarakat diharapkan untuk menghindari area tersebut.
Gunung Kelimutu termasuk gunung api tipe strato yang terdiri dari tiga danau kawah, yaitu Kawah I, II, dan III.
Diketahui, saat ini, tingkat aktivitas gunung ini berada pada level II, yang berarti dalam status waspada.
Gunung Kelimutu merupakan bagian tak terpisahkan dari danau Kelimutu.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menyampaikan melalui beberapa media bahwa Gunung Kelimutu mengalami erupsi pada tahun 1867 dan memiliki interval erupsi antara 1 hingga 73 tahun.
Erupsi terakhir terjadi pada Juni 1968, ditandai dengan suara desisan dan semburan air coklat kehitaman di bagian barat danau.
Sejarah Danau Kelimutu
Sejarah Danau Kelimutu dimulai pada tahun 1915 ketika Van Such Telen menemukan danau ini.
Berdasarkan buku "Kompeten Berbahasa Indonesia," Danau Kelimutu terletak di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, sekitar 66 km dari Kabupaten Ende.
Danau ini sebenarnya merupakan kawah dari Gunung Berapi Kelimutu.
Penduduk setempat menganggap Danau Kelimutu sebagai gunung yang keramat, yang dianggap berasal dari Tuhan. Namun, apa sebenarnya sejarah di baliknya?
Danau Kelimutu ditemukan pertama kali oleh Van Such Telen, seorang warga Belanda keturunan Lio, pada tahun 1915.
Ketenaran Danau Kelimutu semakin meningkat setelah Y. Bouman mengabadikannya dalam lukisan pada tahun 1929.
Sejak lukisan tersebut menjadi terkenal, Danau Kelimutu tidak hanya menarik perhatian wisatawan, tetapi juga ilmuwan yang ingin melakukan penelitian.
Pada 26 Februari 1992, Danau Kelimutu resmi ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Alam Nasional.
Arti Nama Danau Kelimutu
Nama Kelimutu diyakini masyarakat berasal dari gabungan kata 'keli,' yang berarti gunung, dan 'mutu,' yang berarti mendidih.
Jadi, Kelimutu dapat diartikan sebagai gunung yang mendidih dengan variasi warna air yang unik.
Danau Kelimutu memiliki tiga danau kawah yang masing-masing memiliki nama berbeda, yaitu:
- Tiwu Nuwa Muri Koo Fai: tempat berkumpulnya jiwa muda yang telah meninggal.
- Tiwu Ata Polo: tempat berkumpulnya jiwa orang yang meninggal karena melakukan kejahatan semasa hidup.
- Tiwu Ata Mbupu: tempat berkumpulnya jiwa orang tua yang telah berpulang pada Yang Kuasa
Legenda Danau Kelimutu
Menurut legenda, puncak Gunung Kelimutu, yang dikenal sebagai Bhua Ria, merupakan tempat tinggal Konde Ratu beserta rakyatnya.
Di antara banyak rakyat tersebut, terdapat dua sosok yang menonjol, yaitu Ata Bupu dan Ata Polo.
Ata Polo digambarkan sebagai penyihir yang jahat dan suka memangsa manusia, sementara Ata Bupu adalah sosok yang penyayang dan mampu melawan sihir Ata Polo.
Awalnya, Bhua Ria hidup dalam keadaan damai dan tenang, hingga sepasang yatim piatu bernama Ana Kalo datang kepada Ata Bupu meminta perlindungan setelah kehilangan orang tua mereka.
Ata Bupu setuju untuk melindungi Ana Kalo dengan syarat mereka tidak boleh meninggalkan ladangnya agar tidak menjadi mangsa Ata Polo. Ketakutan Ata Bupu terbukti ketika Ata Polo mencium bau mangsa dari Ana Kalo.
Ata Bupu meminta Ata Polo untuk menunggu hingga Ana Kalo dewasa sebelum memangsa mereka. Namun, ketika mereka tumbuh dewasa, Ata Bupu berusaha keras untuk melindungi Ana Kalo dari serangan Ata Polo.
Menyadari bahwa ia tidak dapat mengalahkan Ata Polo, Ata Bupu melarikan diri ke dalam perut bumi.
Di sisi lain, Ata Polo yang sangat menggila mengejar Ana Kalo hingga akhirnya ia ditelan bumi. Sementara itu, kedua remaja tersebut tewas akibat gempa dan terkubur hidup-hidup.
Tempat di mana Ata Bupu melarikan diri ke perut bumi mengeluarkan air berwarna biru, yang kemudian dinamakan Tiwu Ata Bupu.
Di sisi lain, tempat di mana Ata Polo tewas mengeluarkan air berwarna merah darah, yang disebut Tiwu Ata Polo.
Sedangkan gua tempat persembunyian Ana Kalo mengeluarkan air berwarna hijau yang tenang, dinamakan Tiwu Nuwa Muri Koo Fai.
Editor: Norben Syukur