Minta Jokowi Selesaikan Sengketa Tanah Warga dengan Pemkab Jembrana, Tiga Warga Gilimanuk Nekat Bersepeda ke Jakarta

Joko (kiri), Mulyono (tengah), dan Budi (kanan) berfoto di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (2/8/2023). (Foto: PARBOABOA/Muazam)

PARBOABOA, Jakarta - Tiga warga Gilimanuk, Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali nekat bersepeda ke Jakarta untuk bertemu Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Mereka adalah Budi Romansyah (53), Mulyono Gusandi (54) dan Joko Santoso (52) yang berangkat dari kampungnya di Gilimanuk dengan menggowes ontel tua. Ketiganya menempuh perjalanan sejauh 1.053 kilometer untuk sampai di Jakarta dan hanya berbekal tiga pasang pakaian, tikar, tenda dan uang Rp850.

“Uang ya sama-sama kita buat makan dan minum,” ujar Joko kepada PARBOABOA, Rabu (2/8/2023).

Budi, Joko dan Mulyono memulai perjalanan menyeberangi pulau Jawa pada 12 Juli 2023. Mereka menumpang kapal ferry dari Pelabuhan Gilimanuk menuju ke Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, Jawa Timur.

Dari Banyuwangi mereka menggowes sepeda ontel melewati jalur pantai utara (pantura). Mereka melewati Situbondo, Probolinggo, Pasuruan, Nganjuk, Ngawi, Salatiga, Semarang, Kendal, Pekalongan, Tegal, Brebes, Cirebon, Cikampek, Karawang, Bekasi, hingga sampai di Jakarta.

Ketiganya memulai perjalanan ke Jakarta sejak subuh hingga sekitar pukul 10 pagi. Kemudian mereka beristirahat dan melanjutkan lagi perjalanan hingga sebelum matahari tenggelam.

“Kita nginap di Koramil, kantor polisi, di jalan. Pernah nginap di hutan sekali, di Hutan Alas Roban karena kemalaman,” ucap Budi.

Selama perjalanan mereka mendatangi Koramil, Polsek, dan Polres setempat untuk meminta dukungan berupa tanda tangan.

Ingin Bertemu Jokowi untuk Mengadu

Joko dan Mulyono berada di Kementerian Sekretariat Negara untuk memberikan surat ke Presiden Jokowi. (Foto: Dok. Pribadi/Budi) 

Tiga warga Gilimanuk, Budi, Joko dan Mulyono tak langsung ke Jakarta. Sebelumnya mereka sempat mendatangi Istana Bogor pada 26 Juli 2023 untuk bertemu Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang saat itu baru pulang dari kunjungan kerjanya di China.

Ketiganya ingin mengadukan persoalan sengketa tanah antara warga di Kelurahan Gilimanuk dengan Pemerintah Kabupaten Jembrana.

Alih-alih diterima Presiden Jokowi untuk berdialog, mereka malah dibawa ke Polresta Bogor Kota.

Meski ditolak, ketiga warga Gilimanuk ini tak putus asa. Mereka tetap berada di sekitar Istana Bogor, menunggu kesempatan bertemu Jokowi.

“Kita tidur di trotoar demi bertemu Presiden Jokowi. Sampai pedagang di sana udah akrab sama kita,” ujar Budi.

Mereka bertiga beristirahat bermalam di pinggir jalan. (Foto: Dok Pribadi/Budi) 

Hanya saja, usaha mereka bertemu Presiden Jokowi di Bogor tidak membuahkan hasil. 

Pada 30 Juli, mereka memutuskan kembali mengayuh sepeda ke Jakarta.

Sesampainya di Jakarta, mereka menyambangi kantor Sekretariat Negara di Jalan Veteran, Gambir, Jakarta Pusat dan memberikan surat pengaduan ihwal permasalahan sengketa tanah yang membawa mereka sampai ke Jakarta.

Saat itu, ketiga warga Gilimanuk ini tidak bertemu Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Pratikno. Mereka hanya disambut oleh bagian Tata Usaha di kementerian itu.

Selain ke Istana Negara, tiga warga Gilimanuk tak putus asa. Mereka menyambangi Gedung DPR RI, karena mereka mendengar Presiden Jokowi di hari itu akan datang ke DPR RI. Sayangnya, di gedung wakil rakyat itu, mereka hanya bisa melihat Jokowi yang melintas dengan kawalan Paspampres di depan mereka.

Budi, Joko, dan Mulyono mengaku tak tahu sampai kapan bertahan di Jakarta tanpa kepastian untuk memperjuangkan tanah mereka di Gilimanuk. 

Ketiganya mengaku baru akan pulang jika sudah bertemu Presiden Jokowi.

“Ya inginnya segera pulang, keluarga dan teman-teman sudah menunggu di kampung,” ucap Budi.

Ihwal Sengketa Lahan di Gilimanuk

Joko, Budi, dan Mulyono melintas di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Rabu (2/8/2023). (Foto: PARBOABOA/Muazam) 

Budi, Mulyono, dan Joko bersama sekira 2.500 kepala keluarga (KK) di kelurahan Gilimanuk berjuang menuntut tanah yang ditempati mereka sejak 1951 untuk menjadi hak milik mereka.

Semula, tanah seluas 884.925 meter persegi itu merupakan lahan milik kerajaan, namun sejak Indonesia merdeka lahan itu menjadi tanah negara dan tak terurus.

Di tahun 1951, warga mulai memanfaatkannya untuk pemukiman dan pada tahun 1992 pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jembrana mendapatkan hak pengelolaan lahan (HPL).

Dari situ, warga dipaksa menyewa tanah itu seharga Rp120 ribu per tahun ke Pemkab. Mereka juga harus membayar pajak bumi bangunan (PBB) sekitar Rp60 ribu hingga Rp80 ribu.

Di tahun 2022, warga kembali menuntut agar tanah di 6 dusun kelurahan Gilimanuk yang mereka tempati dibuatkan Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama warga.

Joko menjelaskan, tuntutan warga bukan tanpa alasan hukum. Dalam Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960, warga yang menempati tanah negara selama 20 tahun lebih berhak mengurus status tanah itu menjadi hak milik. Undang-Undang itu juga diperkuat dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

“Sekarang kami menuntut itu tanah di-SHM-kan. Tahun 2022 kami mulai bergerak, kami menuntut untuk segera dibuatkan SHM,” ujar Joko.

Warga, lanjut Joko, telah mengajukan permohonan dialog kepada Bupati Jembrana untuk membahas persoalan sengketa tanah tersebut. Saat itu Bupati Jembrana enggan menemui warga.

"Bupati hanya mengutus sekretaris daerah (Sekda) untuk bicara dengan warga," katanya.

Joko menilai, Bupati Jembrana bersikukuh tak mau mengalihkan status tanah itu menjadi hak milik warga.

“Tanggapan dari bupati negatif. Enggak mau beraudiensi dengan kami. Yang dikirim hanya sekretaris daerah. Nah, enggak ketemu titik temu. Bupati tidak beritikad baik,” kesalnya.

Ketiganya berteduh di depan Gedung DPR RI saat menunggu Presiden Jokowi, Rabu (2/8/2023). (Foto: PARBOABOA/Muazam) 

Tak hanya itu, warga pun sempat mengadukan persoalan ini ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jembrana. DPRD kemudian membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelesaikan sengketa lahan warga itu.

Hasil kerja Pansus menyebutkan bahwa, secara prinsip pelepasan Hak Pengelolaan menjadi Hak Milik warga dimungkinkan oleh peraturan perundang-undangan. Adapun dasar hukumnya, yakni Pasal 12 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah. Kemudian Pasal 42 ayat (2) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Hak Pengelolaan dan Hak Atas Tanah.

Berdasarkan alasan hukum itu, DPRD Jembrana berpandangan bahwa pelepasan HPL untuk pemukiman warga seluas 88 hektar menjadi hak milik dapat dimungkinkan dilaksanakan. DPRD, kata Joko, menilai pemberian SHM sebagaimana permintaan warga merupakan bentuk kepedulian negara dalam menjalankan Pancasila dan tugas pemerintah dalam mengadministrasikan keadilan sosial kepada masyarakat.

DPRD bahkan telah mengirimkan surat rekomendasi hasil kerja Pansus kepada Bupati Jembrana. Surat itu dikirim pada 5 April 2023 dan ditandatangani oleh Ketua DPRD, Ni Made Sri Sutharmi. Namun, hingga kini Bupati Jembrana tak kunjung mengabulkan tuntutan warga.

“Karena Bupati di sana tetap bersikukuh dengan sikapnya, kami ingin mengadu ke Bapak Jokowi,” tegas Joko.

Bila tanah itu tidak dibuatkan SHM, kata Joko, warga Gilimanuk khawatir akan digusur kapan pun.

Apalagi, katanya, ada isu bahwa lokasi tersebut akan dijadikan pertokoan, mall dan peningkatan infrastruktur akses ke Pelabuhan Gilimanuk.

"Kami sebelum investor itu masuk, kami bergerak supaya ada proses SHM. Apalagi nanti ada jalan tol Jawa nyambung sampai Banyuwangi, kalau kalau yang di Bali nyambung sampai Gilimanuk,” ujarnya.

“Kan yang ada luas lahan cuma di Gilimanuk sebelum masuk tol. Nah itu yang akan dijadikan akses karena peningkatan infrastruktur dan Pelabuhan,” sambungnya.

Joko berharap dengan bertemu Presiden Jokowi akan mendapatkan solusi terbaik.

“Kalau dari warga ingin tanah itu menjadi hak milik. Demi kenyamanan anak-cucu,” pungkasnya.

Editor: Kurniati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS