PARBOABOA, Jakarta - Jelang evaluasi global dalam World Education Forum 2030, muncul sebuah pertanyaan tentang ke mana sebenarnya arah pendidikan Indonesia.
Berbagai kebijakan silih berganti diterapkan, namun efektivitasnya masih menjadi tanda tanya besar. Rumusan peta jalan pendidikan Indonesia 2025-2045 dinilai belum menemui titik terang.
"Fenomena ini menunjukkan reformasi belum berhasil menciptakan sistem pembelajaran yang adaptif dan berkelanjutan," Pungkas Mohammad Aliman Shahmi, Dosen Ilmu Ekonomi, FEB Islam UIN Mahmud Yunus Batusangkar awal Maret lalu.
Ironisnya, lanjut Shahmi, di tengah kebutuhan mendesak akan perbaikan pendidikan, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tampaknya belum menempatkan sektor ini sebagai prioritas utama.
"Fokus kebijakan lebih diarahkan pada pembangunan infrastruktur dan percepatan ekonomi, sementara investasi pada penguatan sumber daya manusia masih belum terlihat signifikan," terang Shahmi.
Pendapat tersebut dibenarkan, misalnya dengan melihat penilaian Programme for International Student Assessment (PISA) yang menunjukkan kualitas pendidikan Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara.
Pada tahun 2022, misalnya Indonesia hanya berada pada peringkat enam dengan poin 1108 atau lebih rendah dari Thailand (1182), Malaysia (1213), Brunei (1317), Vietnam (1403), dan Singapura (1679).
PISA sendiri merupakan alat ukur internasional yang menilai kemampuan siswa dalam matematika, sains, dan literasi, sekaligus mencerminkan sejauh mana sistem pendidikan membekali generasi mudanya dengan keterampilan dasar yang relevan.
Bagi Shahmi, tanpa fondasi pendidikan yang kokoh, target ambisius seperti pertumbuhan ekonomi 8 persen dan visi Indonesia Emas 2045 berisiko besar menjadi mimpi yang sulit diwujudkan.
"Ketidakjelasan dalam arah kebijakan pengembangan sumber daya manusia semakin menambah kekhawatiran publik," ujarnya.
Kritik pun bermunculan guna mempertanyakan kemampuan kebijakan pendidikan saat ini dalam menjawab tantangan global, meningkatkan daya saing generasi muda, dan membangun masyarakat berbasis pengetahuan.
Shahmi menegaskan bahwa tanpa perencanaan yang matang dan strategi yang jelas, Indonesia dapat kehilangan peluang untuk menjadi negara maju. Persoalan utamanya terletak pada ketidakkonsistenan pemerintah dalam pembuatan dan penerapan kebijakan.
"Sejak era reformasi, berbagai kurikulum telah diluncurkan, mulai dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kurikulum 2013, hingga Kurikulum Merdeka. Namun, setiap pergantian menteri sering kali diiringi perubahan kebijakan yang tidak saling terintegrasi sehingga menyebabkan instabilitas dalam ekosistem pendidikan," jelasnya.
Akibatnya tak bisa dianggap sepele. Para pendidik terbebani, siswa dan orangtua pun merasa kebingungan. Penerapan kebijakan yang demikian disebabkan oleh ketidaksiapan infrastruktur dan sumber daya manusia yang memadai.
Shahmi juga menyinggung adanya perubahan evaluasi pendidikan yang terlalu sering, tanpa fondasi yang kuat. Peralihan sistem ujian nasional dan asesmen siswa tak jarang menciptakan kegamangan di kalangan pendidik dan peserta didik.
"Jika pola kebijakan yang tidak terstruktur ini terus berlangsung, pendidikan Indonesia akan terjebak dalam siklus perubahan tanpa kemajuan yang nyata."
Paradoks lain yang mencolok, demikian Shahmi, adalah tidak sinkronnya visi pembangunan ekonomi dan arah pendidikan.
Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 8 persen dan mencanangkan Indonesia Emas 2045, namun pendidikan tidak dijadikan fondasi utama.
"Padahal, berbagai studi menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi jangka panjang tidak hanya ditentukan oleh pembangunan fisik, melainkan juga oleh investasi berkelanjutan pada sumber daya manusia," ungkap Shahmi.
Ia mencontohkan beberapa negara seperti Korea Selatan dan Finlandia yang berhasil mencapai investasi pendidikan jangka panjang.
"Sebaliknya, kurikulum pendidikan di Indonesia masih terlalu berorientasi pada hafalan, alih-alih menekankan pengembangan keterampilan berpikir kritis, pemecahan masalah, dan inovasi—kemampuan yang sangat dibutuhkan di era digital dan industri 4.0," jelasnya.
Situasi yang demikian diperparah oleh sistem evaluasi yang terus berubah tanpa kejelasan arah, menghambat terbentuknya sistem pendidikan yang solid dan relevan.
"Dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya, alokasi anggaran pendidikan Indonesia sebenarnya telah mencapai 20 persen dari APBN. Namun, efektivitas penggunaan dana tersebut masih menjadi sorotan."
Sebagian besar anggaran terserap untuk biaya operasional dan birokrasi, sementara alokasi untuk peningkatan kualitas pengajaran dan riset masih terbatas.
"Persoalan lain yang krusial adalah kualitas tenaga pengajar. Program sertifikasi guru yang selama ini dijalankan belum sepenuhnya berhasil meningkatkan kompetensi."
Di sisi lain, minimnya insentif bagi guru di daerah tertinggal memperlebar kesenjangan kualitas pendidikan antarwilayah.
"Tanpa langkah konkret untuk memperkuat kapasitas guru dan memperbaiki sistem secara menyeluruh, sulit bagi Indonesia untuk mengejar ketertinggalan dalam persaingan global.".
Jalan Keluar
Menanggapi persoalan tersebut di atas, Waliyadin, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menganjurkan beberapa langkah strategis yang perlu dipikirkan pemerintah.
Pertama, efektivitas dalam penggunaan anggaran pendidikan. Usulan ini bertolak dari persoalan belum terserapnya sebagian besar dana untuk program sertifikasi guru dan bantuan operasional sekolah.
"Maka, penting bagi pemerintah untuk mengarahkan alokasi dana ke aspek yang benar-benar mampu meningkatkan mutu pengajaran," ujarnya dalam sebuah keterangan yang diterima awal Januari lalu.
Kedua, perlunya transformasi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Hal ini, singgung Waliyadin selaras dengan upaya untuk meningkatkan standar pendidikan calon guru harus lebih tinggi.
"Tak hanya itu, program pengembangan profesional guru harus dilaksanakan secara berkesinambungan, dilengkapi dengan evaluasi rutin terhadap penguasaan materi ajar dan kemampuan pedagogis," pungkasnya.
Ketiga, pelatihan dan lokakarya yang disediakan oleh pemerintah harus dirancang secara spesifik sesuai kebutuhan guru.
Menurut Waliyadin, materi pelatihan sebaiknya disusun berdasarkan hasil observasi langsung di kelas agar benar-benar relevan.
"Guru juga perlu dibekali keterampilan untuk memiliki agensi dan kreativitas dalam merancang pembelajaran yang peka terhadap konteks lokal, baik dari sisi kondisi peserta didik maupun ketersediaan fasilitas belajar," tegasnya
Keempat, perbanyak proses pendidikan calon guru dengan metode praktik langsung mengajar di sekolah. Program praktik mengajar dinilai harus lebih terstruktur dan menuntut keterlibatan aktif dalam menganalisis kebutuhan belajar siswa.
Kelima, program sertifikasi guru harus berorientasi pada praktik nyata serta implementasi pengetahuan dan metode pengajaran di lapangan.
Terakhir, menyinggung usulan Irdiyanti dan Fadhilah (2023), Waliyadin menyebut perlu adanya peningkatan kualitas guru yang diarahkan pada enam domain perilaku mengajar.
Caranya adalah dengan "menciptakan iklim belajar yang aman dan merangsang, manajemen kelas yang efisien, instruksi yang jelas dan sistematis, pembelajaran yang aktif dan intensif, strategi pengajaran yang variatif, serta adaptasi atau diferensiasi dalam mengajar sesuai kebutuhan siswa," tutupnya.