PARBOABOA, Kyiv - Demi memperlambat laju pasukan Rusia di wilayah Donbas, Ukraina mendesak negara-negara Barat untuk mengirim lebih banyak senjata.
Dilansir Reuters, Sabtu (9/7/2022), para pejabat Ukraina mengatakan bahwa mereka membutuhkan lebih banyak senjata berkualitas tinggi guna mendukung pertahanan dari serangan Rusia.
Sekretaris Dewan Keamanan dan Pertahanan Nasional Ukraina Oleksiy Danilov mengatakan bahwa negaranya masih belum memiliki cukup senjata dari Barat. Ia juga menambahkan jika pasukannya butuh waktu untuk beradaptasi menggunakan persenjataan tersebut.
Danilov mengaitkan kesuksesan di medan perang dengan tibanya Sistem Roket Artileri Mobilitas Tinggi (HIMARS) buatan Amerika Serikat Juni lalu.
"Ketika itu (HIMARS) masuk, mesin perang Rusia bisa langsung merasakan efeknya," kata Danilov kepada Reuters. "Tetapi lebih banyak bantuan militer Barat sangat penting," ujar Danilov.
Kepala staf Presiden Presiden Volodymyr Zelenskyy, Andriy Yermak, juga turut mendesak negara-negara Barat untuk mengirim lebih banyak senjata berat guna melawan "taktik bumi hangus Rusia".
"Dengan jumlah howitzer, SPG, dan HIMARS yang cukup, tentara kami dapat menghentikan dan mengusir penjajah dari tanah kami," kata Yermak melalui akun Twitter-nya.
Sementara itu, pemerintah Amerika Serikat pada Jumat mengumumkan pihaknya bakal mengirim lebih banyak sistem roket canggih HIMARS dan peluru artileri presisi baru ke Ukraina.
Bantuan ini akan meningkatkan kemampuan Ukraina untuk menargetkan depot persenjataan dan rantai pasokan Rusia.
Menurut kantor berita AFP, Sabtu (9/7/2022), seorang pejabat senior pertahanan AS mengatakan, paket senjata baru senilai US$400 juta akan mencakup empat peluncur HIMARS dengan amunisi.
HIMARS merupakan sebuah sistem yang telah membantu pasukan Ukraina menyerang target presisi, seperti depot amunisi dengan peluru kendali dari jarak yang lebih jauh, di luar jangkauan artileri Rusia.
Dengan sistem roket HIMARS, "Ukraina sekarang telah berhasil menyerang lokasi Rusia di Ukraina, lebih dalam di belakang garis depan, dan mengganggu kemampuan Rusia untuk melakukan operasi artileri," kata pejabat itu.