Antara Perlindungan dan Kontroversi: Ulasan Mendalam tentang UU ITE 2024

Ilustrasi Revisi UU ITE 2024 (Foto: PARBOABOA/Beby Nitani)

PARBOABOA, Jakarta - Hampir empat bulan telah berlalu sejak pengesahan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) 2024 di Indonesia, namun isu tersebut masih menimbulkan polemik di kalangan masyarakat.  

Pada 2 Januari 2024, Presiden Joko Widodo secara resmi menandatangani Undang-Undang No. 1 Tahun 2024 yang merupakan Perubahan Kedua atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). 

UU ITE merupakan revisi terbaru dari regulasi sebelumnya yang berfokus pada pemanfaatan dan pengelolaan teknologi informasi dalam berbagai aspek kehidupan. 

Revisi ini dilakukan untuk menyempurnakan ketentuan-ketentuan yang ada sebelumnya, dengan penekanan pada peningkatan perlindungan data pribadi, penguatan hukum terhadap kejahatan siber, dan peningkatan transparansi dalam transaksi digital. 

Tujuannya untuk menciptakan ekosistem digital yang lebih aman dan kondusif, sekaligus memastikan bahwa teknologi digital dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk pembangunan ekonomi dan sosial.

Salah satu perubahan signifikan dalam UU ITE 2024 adalah penambahan ketentuan yang lebih jelas dan tegas terhadap hak dan kewajiban para pengguna serta penyedia layanan digital. 

Hal ini mencakup ketentuan yang lebih ketat mengenai penyebaran informasi palsu dan penyalahgunaan platform digital untuk kegiatan ilegal. 

Selain itu, perubahan ini juga dilakukan karena pelaksanaan aturan yang sebelumnya masih menimbulkan multitafsir dan kontroversi di kalangan masyarakat. 

Sehingga diperlukan perubahan untuk menciptakan rasa keadilan dan kepastian hukum. 

Revisi signifikan dalam UU ITE terbaru termasuk penghapusan 'pasal karet'. Pasal yang dihapus adalah Pasal 27 Ayat (3), yang sebelumnya mengatur tentang penghinaan atau pencemaran nama baik melalui media elektronik. 

Namun, penghapusan ini diikuti dengan penambahan Pasal 27A, yang juga berisiko menjadi pasal karet baru.

Undang-undang ini juga memperkenalkan beberapa perubahan dan tambahan aturan untuk memperkuat kerangka hukum dalam menghadapi tantangan digital yang berkembang, termasuk isu privasi online, keamanan data, dan penyebaran informasi palsu

Perbandingan Pasal 27 (1) UU ITE dan Pengaruh Terhadap Masyarakat Sipil

Johanna, peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), memberikan pemaparan secara daring pada Peluncuran Catatan Masyarakat Sipil mengenai Revisi Kedua UU ITE yang berlangsung Kamis, 25 April 2024. 

Ia membandingkan pasal 27 (1) dari UU ITE tahun 2016 yang berbunyi: 

"Dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan."

Dengan versi yang direvisi pada tahun 2024 yang berbunyi: 

"Dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan, mempertunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang melanggar kesusilaan untuk diketahui umum."

Perbandingan tersebut menekankan pada perubahan penggunaan kata 'mendistribusikan' menjadi 'menyiarkan', sementara 'mentransmisikan' dan 'membuat dapat diakses' tetap dipertahankan. 

Revisi tersebut juga mencakup penambahan batasan dalam pemidanaan serta penggunaan istilah 'mentransmisikan' dan 'menyiarkan'.

Selanjutnya, perubahan ini membawa definisi kesusilaan yang sama dengan Pasal 406 KUHP 2023, tetapi berpotensi menimbulkan kekaburan dalam konteks 'tempat'. 

Perspektif hukum yang digunakan bergeser dari perlindungan korban ke perlindungan kepentingan publik. 

Alih-alih mengeliminasi pasal-pasal kontroversial, revisi undang-undang ini justru tetap mempertahankan masalah-masalah yang sudah ada sebelumnya. 

Di antaranya adalah Pasal 27 ayat (1) hingga (4), yang sering digunakan untuk mengkriminalisasi warga sipil. Serta Pasal 28 ayat (1) dan (2), yang biasa digunakan untuk menekan kebebasan berpendapat. 

Selain itu, ada juga ketentuan pemidanaan dalam Pasal 45, 45A, dan 45B yang masih dipertahankan. 

DPR dan pemerintah telah memasukkan beberapa ketentuan baru, termasuk Pasal 27A. 

Pasal ini mengatur tentang penyerangan terhadap kehormatan atau nama baik seseorang. Namun, ketentuan ini masih bersifat ambigu dan dikhawatirkan dapat digunakan untuk mengkriminalisasi individu yang mengkritik pemerintah.

Pasal lain yang baru ditambahkan adalah Pasal 27B yang berkaitan dengan ancaman pencemaran.

Sementara itu, Fathia, salah satu pembicara dalam acara tersebut, menanggapi bahwa kebijakan di UU ITE tidak sepenuhnya melibatkan masyarakat sipil dalam proses pembentukannya. 

Menurutnya, meskipun masyarakat sipil diundang dalam diskusi, mereka tidak diberikan ruang atau izin untuk memberikan rekomendasi. 

Hal ini menunjukkan kurangnya kebebasan sipil dalam proses pembuatan kebijakan, yang penting untuk mempertimbangkan kepentingan masyarakat secara menyeluruhi.

Editor: Beby Nitani
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS