UU TPKS Justru Meningkatkan Kasus Pengaduan Kekerasan Seksual

UU TPKS sebenarnya dimaksudkan untuk melindungi korban kekerasan seksual khususnya terhadap perempuan dan anak. (Foto: Pexels/Sora Shimazaki)

PARBOABOA, Jakarta - Berlakunya Undang-Undang No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) pada 9 Mei 2022 lalu, justru telah menimbulkan terjadinya peningkatan kasus pengaduan kekerasan seksual. 

Hal itu dibahas dalam sebuah diskusi Catatan Akhir Tahun 2023 “Hukum Pidana dan Akses Keadilan”, di Banten, Rabu (27/12/2023). 

Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Krimonologi (ASPERHUPIKI) Ahmad Sofian menyampaikan, UU tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk melindungi korban kekerasan seksual khususnya terhadap perempuan dan anak. 

Diketahui, jumlah kasus kekerasan seksual kurun waktu 2023 hingga akhir September lalu, dilaporkan sebanyak lebih dari 5.858 kasus. Adapun  hingga akhir Desember ini  jumlah kasus yang dilaporkan lebih dari 6.500 kasus. 

Atas kondisi itu, Ahmad menilai bahwa Kepolisian RI memiliki keterbatasan, bahkan kewalahan dalam menangani kasus kasus kekerasan seksual. 

Kondisi itu disebabkan, yang pertama ada beberapa jenis kekerasan seksual baru yang sebelumnya tidak diatur dalam KUHP, sehingga kebingungan di kalangan penegak hukum dalam memaknai unsur-unsur tindak pidana kekerasan seksual dalam UU TPKS.

Selain itu, ada persepsi keliru di kalangan sebagian penegak hukum bahwa UU TPKS belum ada Peraturan Pemerintahnya, alhasil belum bisa diimplementasikan. 

Kemudian, hal itu juga disebabkan UU TPKS memiliki terobosan baru dalam proses pembuktian, salah satu nya yakni satu saksi ditambah dengan alat bukti sah lainnya dapat menetapkan seseorang sebagai tersangka. 

"Namun dalam praktek, ketentuan ini pun tidak mudah diterapkan, sehingga sering terjadi konflik antara pelapor, dan penegak hukum,” tuturnya.

Menurutnya, tidak mudah menerapkan terobosan satu sakti ditambah dengan alat bukti lainnya. Apalagi dalam kasus kekerasan seksual terutama non-fisik, sulit ditemukan alat bukti lain yang sah. 

Apalagi untuk kekerasan seksual non fisik atau fisik yang tidak ada lecet pada tubuh korban, ternyata UU tersebut mandul, dalam arti tidak bisa diterapkan untuk kasus-kasus yang hanya memiliki satu saksi atau dua saksi tetapi tidak ada alat bukti sah lainnya. Hal itu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 dan 25 UU TPKS.

Permasalahan UU TPKS

Adapun disebabkan adanya indikasi kasus-kasus kekerasan seksual yang dilaporkan digunakan untuk pemerasan bagi terlapor. Kondisi ini menimbulkan konflik horizontal antara pelapor dan terlapor. 

Ahmad menyampaikan, persepsi yang keliru dari penegakan hukum adalah menganggap bahwa UU ini belum bisa dilaksanakan karena belum ada peraturan pelaksanaannya. Kemudian masalah kedua adalah adanya pemerasan seksual. 

Pemerasan seksual juga melibatkan aparatur penegak hukum ketika ada laporan kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelapor sebagai oknum. 

“Jadi pelapor melakukan perlaporan tindak pidana kekerasan seksual terhadap terlapor, ternyata laporan tersebut digunakan untuk memeras terlapor, dan memanfaatkan tenaga hukum untuk membantuk pemerasan itu, jadi ada kolaborasi untuk melakukan kekerasan seksual, dan ada pemerasan seksual,” tuturnya.

Selanjutnya yang ketiga yaitu ternyata ada temuan fakta gratifikasi seksual. Jadi meski UU ini ada, dan gratifikasi seksual dilarang namun nyatanya dalam praktek, gratifikasi seksual itu sangat sulit dibuktikan.

Sambung dia, sebetulnya kemampuan penegak hukum dalam menangani kasus-kasus Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini masih belum memadai.

“Sehingga dalam UU ini sudah berusia satu tahun enam bulan, tetapi kasus kasus kekerasan seksual yang masuk dalam pengadilan itu sudah diputus itu sedikit sekali,” tandasnya.

Editor: Aprilia Rahapit
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS