Ancam Kemerdekaan Berpendapat Berekspresi, YLBHI Desak Pemerintah dan DPR Revisi Terbuka UU ITE

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mendesak pemerintah melakukan revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) secara terbuka. (Foto: Tangkapan Layar Youtube YLBHI)

PARBOABOA, Pematang Siantar -  Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mendesak pemerintah melakukan revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) secara terbuka. YLBHI dan kantor LBH se-Indonesia juga meminta pemerintah memberikan akses dan kesempatan partisipasi luas masyarakat.

Apalagi menurut Wakil Ketua bidang Advokasi dan Jaringan YLBHI, Arif Maulana, masyarakat memiliki hak mendapatkan informasi, didengarkan pendapatnya, dipertimbangkan, diberikan penjelasan, dan berkomplain dalam proses penyusunan Undang-Undang, sesuai dengan ketentuan Pasal 96 Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

“Kita mendorong, revisi UU ITE yang dilakukan pemerintah nantinya tidak lagi dijadikan alat pukul untuk warga yang kemudian kritis kepada pemerintah dan elite untuk menyampaikan pendapatnya secara terbuka baik itu secara daring maupun luring," katanya dalam Konferensi Pers UU ITE, Rabu (12/07/2023).

Arif mencontohkan, tahap pertama revisi UU ITE yang dimandatkan DPR kepada Komisi I, padahal revisi UU ITE bukan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Komisi I. Mestinya UU ITE, lanjut dia, harus dibahas lintas komisi termasuk Komisi III yang membidangi masalah Hukum dan HAM, karena banyak terkait dengan masalah tersebut.

"Tidak hanya itu, revisi UU ITE merupakan agenda yang mendesak bagi rakyat. YLBHI berharap pasal-pasal yang bersifat karet dalam UU ITE dan  sering digunakan sebagai alat kriminalisasi dan pembungkaman terhadap hak kebebasan berpendapat dan berekspresi, dihapus atau direvisi," kata Arif Maulana.

Sementara itu, Pengacara Publik LBH Makassar, Abdul Azis Dumpa mengungkapkan, masyarakat seharusnya mengawal dan memastikan agenda revisi UU ITE sesuai dengan tujuannya untuk memastikan keadilan, terutama dalam hal kebebasan berpendapat dan berekspresi.

“LBH Makassar sudah menangani berbagai kasus terkait kriminalisasi UU ITE. Di 2015 misalnya, LBH Makassar menangani kasus yang terjadi di kabupaten Gowa dimana salah seorang ASN memberikan komentar di media sosial Line terkait pembangunan di Kabupaten Gowa yang buruk padahal sudah mengeluarkan anggaran yang besar. Komentar ini kemudian dilaporkan oleh asisten Bupati Gowa dan akhirnya bergulir dengan UU ITE pasal 27 ayat 3 tentang penghinaan dan pencemaran nama baik. Terlapor kemudian divonis 8 bulan penjara dan dimutasi ke pelosok karena terlapor adalah seorang ASN," jelasnya.

Kemudian, ada kasus di 2019 yang menjerat seorang jurnalis yang bernama Asrul di Kota Palopo, Sulawesi Selatan karena menulis berita kasus korupsi yang menyeret nama anak wali kota. Lucunya, kata Abdul, jurnalis tersebut kemudian dilaporkan dengan pasal 28 ayat 2 atau pasal ujaran kebencian. Pasal ini, sengaja digunakan agar jurnalis bisa ditahan.

"Padahal kan tafsir Pasal 28 ayat 2 itu juga memiliki masalah. Pasal 28 ayat 2 kan ditujukan untuk masyarakat yang terkena ujaran kebencian yang berbasis SARA seperti tindakan-tindakan diskriminasi kepada kelompok masyarakat minoritas. Bukan kebencian seperti suka atau tidak suka. Memang sangat kelihatan bahwa pasal ini dipakai untuk membungkam pendapat dan kebebasan berekspresi yang sebetulnya sah kepada jurnalis ataupun masyarakat yang lantang memberikan kritik seperti kasus asrul ini," katanya.

Tidak hanya itu, YLBHI juga menyoroti masih terdapat pasal-pasal yang bersifat karet dalam UU ITE yang mengancam demokrasi, terutama kebebasan berpendapat dan berekspresi. Beberapa pasal tersebut antara lain Pasal 26, Pasal 27 ayat (1) dan (3), Pasal 28 ayat (2), Pasal 29, Pasal 36, Pasal 40 ayat (1) dan (2), serta Pasal 45 tentang pemidanaan.

Kemudian beberapa pasal yang bermasalah seperti Pasal 27 ayat 1 tentang dengan sengaja atau tanpa hak mentransmisikan atau mendistribusikan dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Lalu pasal 27 ayat 3 ini pasal tentang yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik.

Pasal 28 ayat 2 ini terkait tentang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA, dan Pasal 29 terkait informasi elektronik yang berisi ancaman ataupun menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.

"Menurut kami, ini terkait dengan data pribadi seseorang yang seharusnya dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan dikecualikan. Lalu kemudian Pasal 36  ini terkait dengan orang yang dengan sengaja atau tanpa hak melawan hukum melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Lalu di Pasal 40 pemerintah memfasilitasi pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Nah di pasal 45 terkait pemidanaan dari pasal-pasal sebelumnya," jelas Abdul.

Direktur YLBHI, Citra Referendum menambahkan, penggunaan pasal-pasal bermasalah tadi lebih banyak melanggar hak-hak asasi terkait kebebasan berpendapat dan berekspresi dan juga terkait kebebasan berkumpul dan berserikat, termasuk kebebasan berkeyakinan dan beragama.

"Bahkan sepanjang 2020-2022 YLBHI dan 18 LBH Kantor telah menangani 199 kasus berkaitan dengan pelanggaran hak kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat. Dari seluruh kasus tersebut kami menilai UU ITE seringkali dijadikan dasar pelaporan untuk membungkam suara kritis warga negara," imbuh dia.

Editor: Kurnia
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS