Parboaboa, Jakarta - Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) mempertanyakan jaminan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual di Tragedi Mei 1998.
Menurut Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani, hingga saat ini, korban kekerasan seksual Tragedi 1998 masih belum berani melaporkan kasusnya.
"Korban-korban kekerasan seksual di Tragedi Mei 98 itu masih menata keyakinan ya bahwa jika mereka menyatakan apa yang terjadi apakah diterima dengan baik? Apakah ada jaminan perlindungan, bukan hanya dirinya tapi juga keluarganya dan ada proses yang memungkinkan agar pengalamannya ini menjadi dasar untuk mencari keadilan dan memastikan kejadian serupa tak terulang," katanya kepada Parboaboa, pekan lalu.
Yentri menegaskan, korban kekerasan seksual memerlukan jaminan perlindungan, karena mereka takut mendapatkan kecaman dan intimidasi, termasuk pada keluarga.
"Tim penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu yang dibentuk Presiden Jokowi bisa lebih proaktif lagi," katanya.
Yentri mengungkapkan, tim penyelesaian pelanggaran HAM tidak perlu menunggu korban melaporkan kasusnya.
"Sebetulnya tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM masa lalu bisa berangkat dari dokumen-dokumen yang ada ya," ungkapnya.
Komisioner Komnas Perempuan lainnya, Theresia Sri Endras Iswarini menilai, korban kekerasan seksual Tragedi Mei 1998 belum mendapatkan perlindungan.
Korban, lanjut Theresia, memilih menyimpan kasus ini untuk diri mereka sendiri dan keluarga kecil mereka.
"Ruang untuk pemulihan itu menjadi terbatas, kenapa? Karena belum ada jaminan keamanan bagi mereka. Jadinya mereka lebih baik menyimpan di dalam diri sendiri dan keluarga kecil," jelas dia.
Berdasarkan laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), korban kekerasan seksual saat Tragedi Mei 1998 berjumlah 168 orang. Mereka tersebar di Jakarta, Solo, Medan, Palembang, dan Surabaya.
Tak ada pelaku yang diadili. Korban kekerasan seksual malah distigma masyarakat.
Pada Januari lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui Tragedi Mei 1998 sebagai satu dari 12 pelanggaran HAM berat yang belum selesai.
Kepala Negara bahkan telah membentuk Tim Penyelesaian non-Yudisial Pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk tragedi Mei 1998 pada 2022.
Tugas tim ini, yaitu mengungkap dan menganalisis pelanggaran HAM berat masa lalu berdasarkan data dan rekomendasi Komnas HAM; mengusulkan rekomendasi langkah pemulihan bagi para korban atau keluarganya; mengusulkan rekomendasi untuk mencegah pelanggaran HAM serupa tidak terulang.
Dalam tugasnya, tim telah mengeluarkan 11 rekomendasi penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Di antaranya pengakuan dan penyelesaian pelanggaran HAM hingga pemulihan hak-hak korban dan keluarga.
Selanjutnya, pada bulan Maret 2023 Jokowi membentuk Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian non-Yudisial Pelanggaran HAM.
Adapun tugasnya, memantau, mengevaluasi, dan mengendalikan pelaksanaan rekomendasi Tim Penyelesaian non-Yudisial Pelanggaran HAM berat masa lalu oleh menteri atau pimpinan lembaga.