PARBOABOA, Jakarta — Suasana Desa Pegundan di Kecamatan Petarukan, Kabupaten Pemalang, mendadak mencekam.
Acara ceramah yang diisi oleh Habib Rizieq Shihab pada Malam Rabu, 23 Juli 2025, berubah jadi arena bentrokan terbuka antara dua kelompok ormas Islam: Perjuangan Walisongo Indonesia Laskar Sabilillah (PWI-LS) dan Front Persaudaraan Islam (FPI).
Menurut keterangan Azis Yanuar, kuasa hukum Habib Rizieq, bentrokan ini diduga dipicu oleh penolakan terencana dari pihak PWI-LS terhadap kehadiran Habib Rizieq.
“Betul dan itu diduga diinisiasi dengan rencana oleh kelompok Neo PKI yang menolak ulama berceramah,” tegas Azis pada Kamis, (24/07/2025).
Saling serang pun tak terelakkan. PWI-LS yang berusaha membubarkan pengajian mendapat perlawanan sengit dari massa FPI yang ditugaskan mengamankan jalannya acara.
Bentrokan tersebut menyebabkan lima orang mengalami luka-luka di lokasi, dan hingga berita ini diturunkan, pihak kepolisian masih terus menyelidiki detail peristiwa tersebut.
Bentrok Tengah Malam
Ketegangan mulai terasa beberapa menit sebelum Habib Rizieq naik mimbar. Sekitar pukul 22.30 WIB, ratusan orang berpakaian hitam yang diketahui berasal dari PWI-LS berkumpul di salah satu masjid terdekat.
Mereka datang dengan maksud membubarkan pengajian yang mereka anggap memicu kontroversi di masyarakat.
Meski 675 personel gabungan TNI-Polri telah disiagakan untuk mengamankan lokasi, sebagian massa penolak berhasil menembus barikade aparat.
Situasi berubah genting ketika lemparan batu mulai diarahkan ke panggung pengajian. Ahmad (50), warga Desa Pegundan, menjadi saksi langsung suasana kacau tersebut.
“Banyak FPI, bajunya putih-putih, kejar-kejaran sama yang baju hitam dari PWI. Kejadiannya sekitar 15 menit, orang-orang panik,” ujar Ahmad.
Puncaknya, bentrokan fisik pecah disertai penggunaan senjata tajam. Meski suasana mencekam, Habib Rizieq tetap melanjutkan ceramahnya sambil mengonfirmasi adanya korban.
“Saya sampaikan ke Pak Kapolres, Pak Dandim, bahwa ada korban lima orang yang terluka akibat senjata tajam. Saya minta ini diproses secara hukum,” tegas Rizieq di tengah ceramahnya.
Korban dan Upaya Damai
Kepolisian lewat Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Pol Artanto, mencatat jumlah korban luka sebenarnya lebih banyak dari laporan awal.
“Total ada 15 korban luka, 9 orang dari PWI-LS, 2 orang dari FPI, dan 4 anggota Polri. Semua kini dirawat di RS Siaga Medika dan RS Islam Pemalang,” ungkap Artanto.
Ia menambahkan bahwa pihaknya terus mengimbau masyarakat Jawa Tengah, khususnya di Pemalang, agar menahan diri dan tidak mudah terprovokasi isu liar yang dapat memecah belah warga.
Padahal, jauh hari sebelumnya, tepatnya pada 16 Juli 2025, sudah dilakukan rapat koordinasi cipta kondisi antara Pemerintah Daerah Pemalang, Polres, Kodim, serta perwakilan FPI dan PWI-LS.
Hasilnya, acara pengajian diizinkan dengan syarat tidak menimbulkan keributan, tidak provokatif, menjaga ketertiban, dan tidak mengerahkan massa berlebihan. Namun, sayangnya, kesepakatan tersebut gagal diwujudkan di lapangan.
Bupati Pemalang, Anom Widiyantoro, langsung turun tangan memastikan situasi tidak semakin memburuk.
Ia memastikan tidak ada korban jiwa dalam bentrokan ini. “Korban luka-luka sudah ditangani di fasilitas kesehatan. Situasi pun dalam pengawasan penuh aparat,” ujar Anom.
Bersama Forkopimda, Dandim, dan Kapolres, Bupati Anom bergerak cepat untuk memastikan acara ceramah segera diakhiri demi mencegah konflik berkepanjangan.
Masyarakat setempat diimbau menahan diri dan menyerahkan proses hukum sepenuhnya pada aparat penegak hukum.
“Kami berharap Pemalang tetap damai, masyarakat tidak terprovokasi isu-isu yang tidak jelas asal usulnya,” tambah Anom.
Ironisnya, insiden ini terjadi menjelang peringatan Hari Kebaya Nasional yang jatuh pada 24 Juli—tanggal yang diusulkan untuk merayakan simbol identitas budaya perempuan Indonesia.
Tahun ini, data dari Kemendikbud mencatat lebih dari 25.000 perempuan di berbagai daerah turut memeriahkan peringatan Hari Kebaya dengan beragam agenda, dari parade budaya hingga pameran UMKM.
Di saat sebagian masyarakat merayakan warisan budaya sebagai perekat bangsa, sebagian lainnya justru terpecah oleh perbedaan pandangan politik dan agama.
Bentrokan di Pegundan menjadi pengingat bahwa semangat menjaga persatuan tidak boleh berhenti pada simbol semata.