PARBOABOA, Medan - Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum (GAKKUM) Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sumatra, mencatat 9 kasus kejahatan perburuan dan perdagangan satwa liar sepanjang 2022.
Menurut Kepala Seksi Balai GAKKUM LHK Sumatra, Alfian Hardiman, jumlah itu meningkat dibandingkan 2021 yang hanya 6 kasus.
Ia mengatakan, kenaikan jumlah kasus perburuan dan perdagangan satwa liar dilindungi itu karena tuntutan ekonomi dan harga jual di pasar gelap yang tinggi.
“Berdasarkan keterangan pelaku tindak pidana perburuan dan perdagangan satwa liar dilindungi bahwa alasan mereka melakukan tindakan tersebut karena tuntutan ekonomi dan harga jual di pasar yang dijanjikan cukup tinggi,” katanya kepada Parboaboa.
Alfian menyebut, pelaku kejahatan perburuan dan perdagangan satwa liar dilindungi yang ditangkap tidak terafiliasi dengan jaringan manapun.
“Pelaku kebanyakan dari masyarakat yang langsung bersinggungan dengan kawasan hutan dilindungi. Mereka mendapat kan satwa tersebut dari hutan, dan kemudian berusaha menjualnya dengan tujuan untuk mendapat hasil ekonomi," jelasnya.
Alfian mengungkapkan, modus yang sering dilakukan pelaku saat dan perdagangan satwa liar yakni dengan pencampuran satwa yang ilegal dan legal, menggunakan kapal penumpang atau kapal kargo, penyalahgunaan dengan modus adat dan tradisi.
“Lalu pemeliharaan untuk kesenangan, pemasangan jerat pada lintasan satwa, penyembunyian bagian-bagian satwa liar di antara barang antik, dan satwa liar dijadikan sebagai bagian dari perhiasan atau produk-produk yang bernilai,” ujarnya.
Kota Medan bahkan menjadi wilayah yang paling rawan perdagangan satwa dilindungi.
“Wilayah yang rawan perburuan satwa dilindungi adalah kawasan hutan yang masih menjadi habitat satwa dilindungi seperti kawasan hutan taman nasional gunung leuser yang menjadi habitat harimau, gajah, trenggiling dan beberapa satwa dilindungi lainnya,” jelas Alfian.
Terkait pengawasan di lapangan, lanjut Alfian, GAKKUM bekerja sama dan berkoordinasi dengan pemangku kawasan hutan dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).
“Yang dalam hal ini berperan sebagai pembina dalam pengawas peredaran tumbuhan dan satwa. Selain itu Balai Gakkum juga berkolaborasi dengan para pemerhati satwa dan lingkungan untuk membantu pengawasan perdangan satwa dilindungi,” jelasnya.
Ia menambahkan, dalam usaha memutus rantai perburuan dan perdagangan satwa liar dilindungi, pihaknya telah melakukan usaha pencegahan berupa sosialisasi di berbagai platform sosial media.
“Dengan harapan masyarakat sadar akan resiko dan kerugian yang akan terjadi bila melakukan tindakan-tindakan pidana tersebut,” tambahnya.
Kemudian, salah satu faktor yang menyebabkan pelaku kejahatan satwa liar, karena masih banyaknya permintaan di pasar akan satwa dilindungi.
“Permintaan ini berlatar belakang kegemaran, koleksi, atau bahan obat-obatan yang kebanyakan digunakan di luar negara Indonesia,” katanya.
Alfian menjelaskan, penindakan hukum secara pidana adalah opsi terakhir dalam memberikan efek jera kepada para pelaku kejahatan perdagangan dan perburuan satwa dilindungi.
“Pencegahan dan pengawasan peredaran dan perburuan satwa adalah langkah yang diutamakan untuk mengurangi angka tindak pidana dibidang tumbuhan dan satwa yang dilindungi. Perlu kolaboratif dari berbagai seluruh pihak untuk menangani kejahatan di bidang tumbuhan dan satwa yang dilindungi. Karena apa bila ini terus terjadi maka populasi tumbuhan dan satwa akan mengalami penurunan dan bahkan terancam punah,” pungkasnya.
Editor: Kurnia Ismain