Kala Keranjang Bambu jadi Berkah bagi Masyarakat Sirpang Sigodang, Menopang Ekonomi hingga Pernah Dijual ke Luar Negeri

Roma Purba saat sedang mambayu, membuat keranjang. (Foto: PARBOABOA/Janaek Simarmata)

PARBOABOA, Pematang Siantar - Di luar ekspektasi banyak orang, keranjang bambu ternyata menjadi berkah yang menopang perekonomian sebagian warga Sirpang Sigodang, Kecamatan Panei, Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara (Sumut).

Kemampuan dan kreativitas menganyam keranjang berbahan dasar bambu benar-benar ditekuni masyarakat, sehingga menjadi karya multifungsi yang diminati banyak orang.

Roma purba (55), warga Sirpang Sigodang mengisahkan kepada PARBOABOA bagaimana ia menekuni pembuatan keranjang bambu sejak 20 tahun silam. Demi membuat kerajang bambu, pada tahun 2002, ia bahkan rela pindah dari Kota Medan ke Sirpang Sigodang.

Di sana, pria yang telah memiliki 3 orang anak ini berhasil menaikan taraf ekonomi keluarga hingga mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi, hasil dari kreativitasnya tersebut.

Pembuatan keranjang bambu ini sendiri menggunakan jenis bambu rogon yang sudah tua, berusia pertumbuhan sekitar 2 tahun karena memiliki kelenturan yang baik untuk dibentuk menjadi keranjang.

"Kalau bambu lain, selain keras dia juga mudah patah," kata Roma kepada PARBOABOA, Selasa (2/1/2024).

Karena bergantung sepenuhnya pada bambu rogon, kelangkaan jenis tanaman ini cukup berpengaruh terhadap usaha Roma. Beruntungnya, saat ini Roma sudah memiliki tanaman bambu sendiri. 

Sebelumnya, sekitar 6 tahun lalu, ia harus membeli bambu pada orang lain seharga Rp5.000.000 pada tanah seluas 10 rante. 

"Itu karena dekat jadi biayanya cukup murah, kalau jauh dan posisi bambu susah diambil bisa lebih banyak keluar biaya untuk pekerjaanya," tegasnya.

Saat ini, apa yang ditekuni Roma telah menjadi usaha rumahan yang menampung siapa saja yang mau bekerja. Ia mengatakan, ada beberapa tahapan untuk menghasilkan sebuah keranjang bambu yang siap pakai, yatiu mavilbak, mamukah, mambayu dan mambingkai.

Mavilbak adalah membelah bambu dengan ketipisan yang kurang lebih sama, mamukah: membuat dasar keranjang dan tutup keranjang, mambayu: membentuk keranjang dan mambingkai: mengikat atau memperkuat  bagian atas keranjang menggunakan bambu yang lebih tebal.

Untuk mempermudah pekerjaan, Roma membagi tugas kepada setiap pekerja. Ada yang mengerjakan pada tahapan mavilbak, mamukah dan seterusnya dengan upah yang berbeda-beda.

Roma menuturkan, Eka Lidia, seorang yang telaten dalam mambayu mendapatkan upah Rp1.400 per-keranjang, mambingkai Rp4.000 per-sepuluh keranjang yang dibingkai dan mavilbak Rp800 per-helai. 

Sementara itu, Revi Sinaga (15) yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) mengaku senang dengan adanya usaha keranjang bambu di dekat Rumahnya. Revi mengisi waktu luangnya usai pulang sekolah dengan mengerjakan keranjang bambu.

“Timbang main main aku, lebih baik lah ngerjain ini. Dapat uang,” ungkapnya.

Pernah diekspor ke luar negeri

Dalam sehari, tempat usaha Roma mampu menghasilkan antara 80 hingga 100 keranjang bambu lengkap dengan tutupannya. Setiap keranjang dijual dengan harga Rp9.500. 

Pelanggan utamanya adalah para petani sayuran dan buah-buahan di daerah Saribudolok dan Tarutung. Keranjang tersebut digunakan petani sebagai wadah untuk menjual hasil panenanya ke pasar ataupun ke tempat lain.

Roma juga membagikan pengalamannya sepuluh tahun yang lalu ketika berhasil menjual keranjang bambu ke Taiwan sebanyak tiga kali. Namun, saat ini Roma memutuskan untuk tidak lagi mengirimkan produknya ke Taiwan. 

Alasan utamanya adalah permintaan dari pelanggan Taiwan yang lebih memilih model dengan tambahan siku di bagian sisi keranjang, yang mengakibatkan penggunaan lebih banyak bambu dan proses pengerjaan yang lebih rumit.

“Tapi kami gak ngirim kesana lagi, karena mereka minta model sesuai dengan di negara mereka dengan memperbanyak siku dibagian sisi sisinya, jadi ngabiskan banyak bambu dan lebih rumit pengerjaannya,” tegas Roma.

Roma juga menyampaikan kekhawatiran terkait pengiriman keranjang ke Taiwan, di mana dalam pengirimannya keranjang ditumpuk dengan rapat dalam satu kontainer. 

Hal ini dapat menyebabkan kerusakan pada keranjang, dan Roma mencatat bahwa tumpukan yang rapat juga dapat memengaruhi kualitas bambu karena tidak mendapatkan sirkulasi udara, yang dapat menyebabkan jamur dan merusak kualitas produk.

Di tengah perkembangan teknologi dan perubahan preferensi konsumen, Roma mengakui bahwa penghasilan dari usaha keranjang bambu mulai menurun. 

Petani sayuran dan buah-buahan kini beralih menggunakan wadah karung berjaring dan kotak kayu, sehingga permintaan terhadap keranjang bambu menurun. Hal ini juga memengaruhi harga jual keranjang bambu, yang sebelumnya mencapai Rp12.500 per keranjang.

“Naik turunnya penghasilan keranjang bambu kami ini ya tergantung petani lah,” tutup Roma.   

Editor: Rian
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS