Polemik Tapera, Buruh dan Pengusaha: Batalkan Jangan Hanya Ditunda!

ilustrasi soal tabungan perumahan rakyat yang akhir-akhir ini menuai polemik di masyarakat. (Ilustrasi: Parboaboa/Dian)

PARBOABOA, Jakarta - Penolakan terhadap rencana pemberlakuan iuran dalam bentuk Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) terus bergulir.

Meski akhirnya rencana yang sempat digaungkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu ditunda, penolakan dari berbagai kalangan masih lantang digaungkan.

Penolakan paling keras datang dari kalangan pekerja termasuk buruh, pengusaha dan aparatur sipil negara (ASN).

Salah satunya dari Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia yang mengaku geram akan kebijakan tiba-tiba tersebut.

Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera. Aturan itu diteken Presiden Jokowi akhir Mei lalu.

"Beban pekerja dan buruh saat ini sudah sangat berat. Jangan ditambah dengan kebijakan yang malah menyengsarakan mereka," kata Mirah Sumirat, Presiden Aspek Indonesia kepada PARBOABOA, Rabu (12/6/2024).

Ia mengatakan, masih banyak pekerja yang belum pulih perekonomiannya pascahantaman COVID-19 di 2020.

Kemudian kenaikan harga BBM dan naiknya kebutuhan pokok beberapa waktu turut mempengaruhi pendapatan pekerja.

Belum lagi dampak dari Undang-Undang Cipta Kerja yang membuat upah pekerja menjadi rendah.

"Ditambah lagi ada rencana iuran Tapera yang mewajibkan buruh menyisihkan lagi pendapatan mereka bisa membuat tabungan buruh terkuras, habis bahkan minus," kesalnya.

Mirah menduga, saat ini anggaran negara tengah mengalami defisit, sehingga pemerintah menarik uang dari rakyat dengan dalih Tapera.

Karena, jika dihitung, iuran ini tidak akan mampu mencukupi kebutuhan pekerja membeli rumah.

Tak hanya itu, Aspek Indonesia juga khawatir nantinya iuran Tapera ini disalahgunakan atau malah dikorupsi seperti kasus Asabri.

"Apalagi ada eksekutif seperti menteri keuangan dan menteri pekerjaan umum dan perumahan rakyat (PUPR) yang masuk dalam badan pengelola," jelas dia.

Oleh karenanya kami menuntut agar Tapera dibatalkan, bukan ditunda, tegas Mirah Sumirat.

Ia juga mengingatkan pemerintah untuk merangkul peserta atau asosiasi dalam setiap rencana kebijakan yang akan digulirkan.

Tak hanya buruh, penolakan senada juga datang dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).

Menurut pengusaha, Tapera akan menjadi beban tambahan bagi pengusaha dan pekerja.

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) tentang Penyelenggaraan Tapera, pekerja swasta dan ASN akan dipotong 2,5 persen. Sementara 0,5 persennya ditanggung perusahaan.

Apindo menilai, potongan tersebut akan meningkatkan beban wajib pengusaha dan pekerja hingga 20 persen ke atas.

Belum lagi iuran Tapera ini tidak memberikan manfaat langsung bagi pekerja, sebagaimana program BPJS Ketenagakerjaan.

"Kami menuntut pemerintah membatalkan implementasi Tapera sebagai kewajiban," tegas Solihin, Ketua DPP Apindo DKI Jakarta, Senin (10/6/2024).

Pengamat: Kebijakan Tapera Tak Baik Diterapkan 

Pengamat Ekonomi, Defiyan Cori menilai, kebijakan Tapera dari pemerintah ini tidak baik diterapkan untuk pekerja.

Pasalnya, gaji pekerja sudah banyak terpotong untuk iuran lain seperti BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, hingga kebutuhan hidup.

Selain itu, pemerintah seharusnya berperan memastikan kesejahteraan masyarakat. Termasuk menyediakan perumahan, bukan malah memaksa pekerja untuk ikut membantu penyediaannya.

Apalagi, lanjut Defiyan, penyediaan rumah menjadi salah satu mandat yang harus dipenuhi pemerintah.

"Mestinya pemerintah menyediakan dulu rumahnya, baru iuran," katanya dalam diskusi Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang dihadiri PARBOABOA, Selasa (11/6/2024).

Defiyan juga mengungkapkan kekhawatirannya akan penyelewengan pengelolaan, seperti yang terjadi di beberapa program pemerintah soal pengumpulan iuran.

Kekhawatiran tersebut ia ungkapkan karena tidak adanya perwakilan pekerja dan pemberi kerja saat pemerintah merumuskan kebijakan Tapera.

"Komite BP Tapera saat ini belum cukup mewakili para stakeholder karena tidak ada unsur pekerja dan pemberi kerja," pungkas dia.

Editor: Kurniati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS