Dalam Sepekan Rp5,36 Trilun Modal Asing Keluar dari Pasar Keuangan Domestik

BI catat modal asing Rp5,36 Trilun kembali keluar dari Indonesia dalam sepekan. (Foto: Pixabay)

PARBOABOA, Jakarta - Bank Indonesia (BI) kembali mencatat aliran modal asing yang keluar atau capital outflow dari pasar keuangan domestik selama sepakan.

Berdasarkan data transaksi yang dihimpun BI pada 16 Oktober hingga 19 Oktober 2023, dana asing yang keluar dari Indonesia sebesar Rp5,36 triliun.

Kepala Departemen Komunikasi BI, Erwin Haryono mengungkapkan, sebagian besar modal asing ini keluar melalui penjualan surat berharga negara (SBN) sebesar Rp3,45 triliun dan penjualan di pasar saham sebesar Rp3,01 triliun

Namun, kata dia, ada pula modal asing yang masuk melalui Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sebesar Rp1,10 triliun.

Selain itu, berdasarkan data penyelesaian transaksi hingga tanggal 19 Oktober 2023, BI mencatat bahwa nonresiden melakukan pembelian bersih sebesar Rp51,45 triliun di pasar SBN, penjualan bersih sebesar Rp7,26 triliun di pasar saham, dan pembelian bersih sebesar Rp11,06 triliun di SRBI.

Di sisi lain, premi credit default swap (CDS) Indonesia dengan tenor 5 tahun pada hari sebelumnya mencapai 100,83 basis point (bps), mengalami kenaikan dibandingkan dengan angka sebelumnya yang mencapai 95,48 bps pada tanggal 13 Oktober 2023.

Selain itu, imbal hasil (yield) surat berharga negara (SBN) dengan tenor 10 tahun naik menjadi 7,07 persen. Kemudian, yield surat utang Amerika Serikat (US Treasury) dengan tenor 10 tahun naik ke level 4,990 persen pada hari ini.

Erwin mengatakan, BI terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah dan otoritas terkait serta mengoptimalkan strategi bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan guna mendukung pemulihan ekonomi lebih lanjut.

Pakar Ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng menilai, keluarnya dana asing dari dalam negeri dipegaruhi oleh banyak faktor, salah satunya konstelasi politik jelang Pilpres 2024.

"Pemilihan Presiden tentu juga berpengaruh, sehingga preferensi investor sebagian mengalihkan modalnya ke luar negeri," ungkap Salamuddin kepada PARBOABOA, Sabtu (21/10/2023).

Selain itu, kata dia, nilai tukar rupiah yang melemah terhadap dollar Amerika Serikat (AS), juga menjadi pemicu beralihnya aliran dana asing dari dalam negeri.

"Cara untuk membuktikannya sederhana, lihat aja nilai tukar rupiah terhadap dollar. Kalau tahun lalu kan kita kehilangan 10 miliar dollar, tapi nilai tukar kita kalau mau dibulatkan tanpa intervensi BI, siap-siap kehilangan 100 miliar Dollar," kata dia.

Kondisi ini, kata Salamuddin, akan memberikan efek jangka panjang terhadap Indonesia.

"Itu berbahaya sekali, terutama nanti itu akan terjadi adalah ketidakmampuan kita untuk membayar utang luar negeri akibat dari nilai tukar rupiah terhadap dollar yang makin merosot," katanya.

"Jika investasi rendah terus-menerus, penerimaan negara dari pajak juga rendah, kalau defisit perdagangan terus-menerus cadangan devisi kita juga merosot," lanjut Salamuddin.

Karena itu, Salamuddin menyarankan agar pemerintah segera mengambil langkah kongkrit, baik jangka pendek mapun jangka panjang, untuk mengatasi masalah ini.

"Ada calon presiden yang lebih menjanjikan pasar. Kemudian, perbaiki infrastruktur itu, baik ekonomi, kemudian surplus perdagangan internasional kita jangan lari ke luar negeri, harus diinvestasikan kembali di dalam ekonomi nasional. Sekarang kan uang-uang ini kabur ke luar negeri amankan uang-uang itu aja yang difokuskan," katanya.

Sementara itu, pengamat ekonomi Goenawan Benjamin mengatakan, kenaikan imbal hasil surat hutang atau US Treasury tenor 10 tahun yang sempat melompat melebih 5%, menjadi salah satu pemicu keluarnya modal asing dari pasar domestik.

Kenaikan tersebut, kata dia, sekaligus menjadi kenaikan tertinggi sejak tahun 2007 silam.

"Sehingga bukan tidak mungkin capital outflow yang melanda pasar keuangan belakangan ini salah saunya dipicu oleh imbal hasil obligasi AS tersebut," kata Benjamin kepada PARBOABOA, Sabtu (21/10/2023).

Selain itu, lanjut Benjamin, ada kenaikan harga emas dunia yang terjadi akibat eskalasi konflik Hamas vs Israel, juga mempengaruhi preferensi investor untuk mengalihkan dananya ke luar negeri.

"Bisa saja capital outflow tersebut masuk ke komoditas emas sebagai instrumen investasi. Karena masih menyandang instrumen save haven sampai saat ini," kata Benjamin. 

Selain itu, kalau dugaan capital outflow megalir ke pasar saham di negara lain, kata dia, kondisi pasar saham di banyak negara lain juga tidak berkinerja baik.

Di sisi lain, pasar saham di benua Asia, Eropa dan Amerika terpantau mengalami tekanan seiring dengan ekspektasi kenaikan bunga acuan Bank Sentral AS. 

"Sehingga bisa disimpulkan bahwa saat ini investor asing lebih memilih untuk memegang US Dollar ketimbang aset keuangan negara lainnya. Karena lebih menjanjikan imbal hasil atau keuntungan yang lebih besar," kata dia.

Menurut Benjamin, muara terjadinya capital outflow belakangan ini bisa disimpukan berasal dari ekspektasi kenaikan bunga acuan Bank Sentral AS. 

Sementara, konflik di Timur Tengah memang mendorong kenaikan harga emas belakangan ini. 

"Bisa jadi capital outflow di Tanah Air diperuntukkan untuk membeli emas," kata dia.

Akan tetapi, kata dia, bagi investor akan lebih mudah jika tetap masuk ke instrumen keuangan. Terlebih jika investor tersebut melakukan shifting transaksi ke instrumen lain.

Editor: Andy Tandang
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS