Deretan Mantan Terpidana Korupsi dalam DCS Caleg DPR dan DPD RI

ICW temukan sejumlah eks napi korupsi ikut nyaleg DPR dan DPD RI. (Foto: Pixabay)

PARBOABOA, Jakarta - Sebanyak 12 nama yang merupakan mantan terpidana kasus korupsi terdaftar sebagai calon sementara (DCS) untuk calon DPR RI dan DPD RI.

Hal tersebut terungkap dalam temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang dipublikasikan pada 19 Agustus 2023 lalu.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menilai, partai politik saat ini ternyata masih memberikan karpet mereh bagi mantan terpidana korupsi. Hal ini, demikian Kurnia, akan menjadi catatan buruk dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

"Temuan ICW menunjukan, setidaknya terdapat 12 nama mantan koruptor dalam DCS bakal caleg, baik tingkat DPR RI maupun DPD RI, yang dipublikasikan pada 19 Agustus 2023 lalu," terang Ramadhani dalam keterangannya, Jumat (25/8/2023).

Di sisi lain, Ramadhani juga menyoroti Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang terkesan menutupi status hukum para caleg dengan tidak mengumumkannya ke publik.

Menurut Ramadhani, hal tersebut kembali dipertegas dengan keterangan salah satu anggota KPU, Idham Holik, yang mengklaim tidak ada perintah dalam UU Pemilu untuk mengumumkan status mantan terpida para celeg.

Namun, menurut Ramdhani, penegasan Idham Holik justru paradoks dengan apa yang disampaikan  KPU RI Hasyim Asy’ari pada akhir Juli 2023 lalu, yang menyebut akan mengumumkan status hukum para caleg saat penetapan DCS.

Ramdhani mengatakan, ketiadaan informasi soal status hukum para caleg akan menyulitkan masyarakat yang ingin memberikan masukan terhadap DCS secara maksimal.

Hal ini, lanjutnya, akan berdampak pada probabilitas masyarakat untuk memilih calon legislatif yang bersih dan memiliki integritas akan semakin kecil.

"Jika pada akhirnya pada mantan terpidana korupsi tersebut lolos dan ditetapkan dalam Daftar Calon Tetap (DCT), tentu probabilitas masyarakat memilih calon yang bersih dan berintegritas akan semakin kecil," ungkap Ramdhani.

Jajak Pendapat

Dalam survei jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas pada Desember 2022 lalu, menunjukkan mayoritas responden yakni, 90,9% tidak menginginkan eks terpidana korupsi menjadi caleg di Pemilu atau mendapat kursi di pemerintahan.

Hal tersebut memang berbenturan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang justru memberikan ruang bagi eks narapidana koruptor dengan memberikan masa tunggu 5 tahun bagi eks napi koruptor yang mau nyaleg.

Para responden yang tak setuju beranggapan, potensi para eks napi koruptor akan kembali melakukan kejahatan yang sama jika diberikan lagi kesempatan.

Bahkan, responden juga menilai, sebaiknya para eks napi koruptor tidak boleh lagi terjun di dunia politik, karena menjadi contoh buruk bagi politisi lainnya.

"Sepertiga bagian dari kelompok responden yang menolak juga beralasan, semestinya mereka yang sudah pernah terlibat kasus korupsi tidak layak lagi dipercaya mengemban amanah rakyat yang direbut melalui Pemilu," ungkap peneliti Litbang Kompas, Rangga Eka Sakti, saat itu.

Jika melihat putusan Nomor 30 P/HUM/2018, MA mengabulkan gugatan Lucianty atas larangan mantan napi koruptor sebagaimana yang diatur dalam Pasal 60 ayat (1) PKPU Nomor 7 Tahun 2018.

Salah satu dasar gugatan tersebut dikabulkan, MA menyinggung soal Hak Asasi Manuais (HAM) yang melekat dengan mantan napi koruptor, terkhusus hak politik mereka sebagai warga negara untuk dipilih dan memilih, seperti yang diatur dalam Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Hak politik tersebut, demikian MA, juga telah diratifikasi dalam Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), dimana Indonesia juga telah meratifikasi melalui UU Nomor 12 Tahun 2005.

Di sisi lain, MA juga menerangkan, pembatasan hak asasi hanya dapat dilakukan melalui undang-undang. Sementara larangan KPU soal eks napi nyaleg hanya tertuang dalam peraturan KPU.

Selain itu, UU Pemilu juga tidak mengatur secara terperinci terkait larangan eks napi koruptor nyaleg. Karena itu, larangan tersebut hanya merupakan norma baru yang tidak diatur dalam UU.

Editor: Andy Tandang
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS