PARBOABOA, Jakarta - Pengaruh Presiden Jokowi sempat menjadi rebutan diantara dua kubu calon presiden (capres), yakni Kubu Prabowo Subianto dan Kubu Ganjar Pranowo.
Upaya meraih dukungan orang nomor satu di Indonesia ini cukup beralasan, mengingat tingkat kepuasan terhadap kinerja pemerintah mencapai angka di atas 80 persen.
Di sisi lain, Presiden Jokowi sempat menginisiasi poros Prabowo-Ganjar sebagai pasangan capres-cawapres, tapi ditolak PDIP. Begitu pun ketika ia menginginkan poros Ganjar-Prabowo, Gerinda tegas menolak.
Kedua partai sama-sama ngotot pengen kursi capres, tapi tidak bersedia ketika dimintai jadi cawapres.
Gerinda, dengan argumentasi Prabowo lebih senior dianggap lebih layak capres. Sementara itu, PDIP juga kekeh dengan satu opsi saja, yakni Ganjar harus capres.
Sebagai partai pemenang pemilu dua kali berturut-turut, partai berlambang banteng tak rela jika tiket capres diserahkan ke kader partai lain.
Apalagi, bagi PDIP, ketua umum (Ketum) partai Gerindra, Prabowo Subianto merupakan rival politik masa lalu.
Jejak digital ketegangan dua partai nyata adanya, walaupun dalam beberapa tahun terakhir sedikit meredam, seiring masuknya Prabowo ke gerbong kekuasaan sebagai menteri pertahanan.
Sepanjang PDIP dan Gerindra tak menemui titik kesepakatan, sepanjang itu pula preferensi politik Jokowi berada di wilayah abu-abu.
Sejumlah pihak coba memaknai ini sebagai sikap netralitas kepala negara, tetapi saat bersamaan, di sejumlah kesempatan, sang presiden secara terang-terangan melakukan cawe-cawe politik yang menguntungkan kubu tertentu.
Peta Politik Berubah Total
Kini peta politik berubah total. Pilihan politik Jokowi dengan mudah bisa ditebak menyusul keputusan Prabowo Subianto menggandeng putra sulung sang presiden, Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres).
Gibran, yang juga Wali Kota Solo itu dipilih dengan menyisihkan beberapa nama potensial kandidat cawapres Prabowo sebelumnya, seperti Erik Thohir, Khofifa Indar Parawangsa dan nama-nama lainnya.
Lantas, apakah perubahan peta politik ini turut menyeret simpatisan Jokowi ke gerbong Prabowo-Gibran?
Pakar politik Universitas Nasional Jakarta, Prof. TB. Massa Djafar memberikan analisis yang menarik.
Dalam bacaannya, Djafar melihat, terlalu prematur menyimpulkan pemilihan Gibran sebagai cawapres Prabowo akan disusul dengan migrasinya simpatisan Jokowi ke kubu yang disokong oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) itu.
Ia mengatakan, simpatisan Jokowi tidak beridelogi tunggal. Selain itu, tidak boleh dilupakan pula kata Djafar, pendukung Jokowi juga punya afiliasi yang kuat dengan PDIP yang saat ini mengusung Ganjar-Mahfud.
" Jika pun ada pemilih atau fans Jokowi yang diharapkan bisa menyumbang elektabilitas, Prabowo-Gibran tidak signifikan. Ia terbelah dengan pemilih setia PDIP, yang kini mengusung Ganjar Pranowo- Mahfud," kata Djafar kepada PARBOABOA, Minggu (12/11/2023).
Alih-alih menarik dukungan presiden, dipilihnya Gibran yang disertai sejumlah kontroversi, justru semakin menciptakan jarak yang lebar dengan orang-orang yang selama ini mendukung Jokowi.
Salah satu yang paling melekat di memori publik, terang Djafar adalah putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
Putusan yang berujung pencopotan Anwar Usman dari ketua hakim Mahkamah Konstitusi (MK) itu menjadi semacam titik terang, pencalonan Gibran sebagai cawapres terlalu dipaksakan serta bertentangan dengan prinsip kelayakan dan kepatutan.
"Nah, ditambah dengan keputusan MKMK, menyadarkan para pemilih, pasangan Prabowo-Gibran melawan akal sehat, kepatutan atau kelayakan dan rasa keadilan, kontroversi Gibran itu, diduga semakin menurunkan elektabilitas," katanya.
Sebagaimana diketahui, Anwar Usman dicopot sebagai ketua hakim MK karena terbukti melakukan pelanggaran etik berat dalam mengadili perkara pengujian batas minimum usia capres-cawapres.
Namun demikian, putusan MKMK ini tidak berpengaruh terhadap putusan Nomor 90/PPU-XXI/2023 yang menambah norma baru dalam batas usia capres-cawapres.
Norma baru itu mengubah syarat menjadi calon presiden dan callon wakil presiden dari sebelumnya harus berusia 40 tahun, menjadi tidak harus 40 tahun asalkan pernah dan sedang menjabat sebagai kepala daerah.
Putusan inilah yang membuka jalan bagi Gibran melenggang ke pentas pilpres. Di sana, tercium aromo konflik kepentingan karena majelis hakim yang memutus perkara a quo diketuai Anwar Usman, paman Gibran sendiri.
Kental Politik Dinasti
Djafar menambahkan, pasangan Prabowo-Gibran kental dengan politik dinasti sehingga membuatnya berpotensi ditinggalkan pendukung.
Menurutnya, ini cukup beralasan mengingat mayoritas masyarakat Indonesia sangat antipati dengan politik dinasti.
"Kita bisa melihat dinasti politik ditolak keras oleh publik, dan kelak akan dikenang sebagai peristiwa atau praktek politik yang amat buruk sepanjang sejarah kontestasi pilpres di Indonesia," terang Djafar.
Tak hanya Gibran, jejak politik dinasti diakui Djafar, juga menyasar kelurga mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang memaksakan putra sulungnya, Agus Harimurti Yudhoyono (AYH) mengikuti kompetisi pemilu di tengah minimnya pengalaman politik.
"Sama halnya apa yang menimpa AHY, simpati publik sirna, karena terlalu ambisius, sementara pengalaman dan kemampuan belum teruji, dalam istilah lain, belum ada jejak rekamnya," tukas Djafar.
Dalam analisisnya, Djafar, menilai pilpres 2024 sepertinya tidak terlalu menguntungkan bagi kubu Prabowo-Gibran.
Selain karena sejumlah kontroversi di atas, di sisi Prabowo ia melihat, ada pergeseran pendukung militannya ke kubu pasangan Anies Baswedan dan Cak Imin.
"Pengalaman pilpres 2019, secara signifikan pemilih Prabowo adalah pemilih Islam, berkisar 70 %. Sekarang pemilih Islam ke Anis Baswedan," tutupnya.