PARBOABOA, Simalungun – Pelaksanaan pemilihan legislatif DPRD Kabupaten Simalungun usai sudah. Hasilnya, dari 50 orang yang akan duduk menjadi anggota dewan, hanya 4 orang yang berasal dari kalangan perempuan.
Keempat orang yang lolos menjadi DPRD Kabupaten Simalungun ini sebanyak 2 orang dari partai Gerindra, PDIP 1 orang dan Golkar 1 orang.
Diketahui, terdapat pasal dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pada pasal 245 dan 246 terdapat aturan mengenai keterwakilan perempuan dalam Pemilihan Umum yaitu sebesar 30% di setiap daerah pemilihan.
Dari data Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) pencalonan perempuan sebagai anggota legislatif dari Pemilu 2014 sampai 2019 lalu terus meningkat.
Tahun 2014, pencalonan perempuan mencapai 37 persen. Pada tahun 2019, pencalonan perempuan menjadi anggota legislatif semakin naik menjadi 40 persen.
Minimnya perempuan yang terpilih pada Pemilu 2024 ditanggapi oleh Anggota DPRD Kabupaten Simalungun periode 2019-2024, Junita Veronika Munthe. Ia mengakui adanya anggapan di kalangan perempuan bahwa politik adalah milik laki-laki. Sedangkan perempuan hanya sebagai pemenuhan syarat keterwakilan dengan kuota 30%.
Menurutnya, budaya patriarki yang menjadi acuan masyarakat di Indonesia berpengaruh terhadap terpilihnya perempuan menjadi wakil rakyat. Berdasarkan pengalamannya, perempuan membutuhkan pengorbanan yang lebih banyak untuk lebih fokus di politik.
“Perempuan itu harus mempertimbangkan posisinya di dalam keluarga juga anak-anak,” ucapnya pada PARBOABOA, Jumat (22/03/2024).
Baginya, seorang perempuan memiliki banyak pertimbangan untuk mengeluarkan ongkos politik yang lebih tinggi dengan risiko yang sangat besar.
Junita Veronika Munthe dalam Pemilu 2024 menjadi satu dari empat orang perempuan yang lolos menduduki kembali jabatan anggota DPRD Kabupaten Simalungun. Ia membagikan pengalamannya turun langsung ke pemilih.
Ia mengaku terus menjalankan programnya yaitu pembentukan, pembinaan dan pendampingan Kelompok Tani Perempuan di beberapa Nagori di 4 Kecamatan. Program ini diakuinya cukup memberikan kontribusi besar dalam pemilu 2024 di mana ia akhirnya terpilih kembali.
Sejak awal menjadi anggota dewan, ia berkomitmen untuk memajukan agenda pemberdayaan perempuan dan anak hingga ke tingkat desa. Peranan DPRD dalam mendorong pemerintah mengambil langkah konkret di bidang pemberdayaan perempuan dan anak sangatlah penting.
“DPRD harus menjadi fasilitator kebijakan pemerintah dan memprioritaskan pada hak perempuan dan anak,” katanya.
Sampai saat ini, ia terus memperjuangkan perlunya fasilitas yang mendukung ibu hamil, menyusui dan balita di tempat pelayanan masyarakat seperti rumah sakit dan kantor capil.
Menurut Junita, masih banyak persoalan aturan dan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada perempuan dan anak. Misalnya sosialisasi penerapan peraturan daerah terkait perlindungan anak seperti Perda Layak Anak Simalungun.
Ia juga menyoroti persoalan stunting di Simalungun yang anggarannya besar namun kurang efektif dalam pelaksanaannya. Di samping itu, persoalan lainnya adalah peranan perempuan dalam perangkat Desa, meningkatkan UMKM, kelompok tani dan koperasi perempuan.
Sementara itu, Peneliti Muda Direktorat Kebijakan Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan BRIN, Esty Ekawati menjelaskan kehadiran perempuan di ranah politik bukanlah hanya tentang representasi.
Namun, memperjuangkan agenda dan kepentingan politik perempuan secara keseluruhan perlu dilakukan. Dampak dari keterwakilan perempuan di parlemen daerah akan mendorong terciptanya peraturan daerah (perda) yang memprioritaskan isu gender, anak dan kelompok marjinal lainnya.
Tentunya, keterwakilan perempuan di DPRD Kabupaten juga dapat memperjuangkan suara masyarakat. Khususnya kepentingan perempuan yang sering terlupakan. Perjuangan ini bisa dilakukan melalui pembentukan koalisi dengan organisasi perempuan serta lobi politik.
Tantangan yang dihadapi oleh kaum perempuan dalam meraih dukungan mendapatkan kursi di DPRD masih cukup besar. Budaya patriarki yang masih kental di tengah masyarakat menjadi salah satu hambatan utama. Dalam politik, perempuan masih dipandang sebelah mata.
Hambatan lainnya adalah faktor finansial, di mana hal ini banyak dialami calon legislatif perempuan. Bahkan, ada istilah popularitas kalah dengan isi tas.
“Hambatan berikutnya adalah motivasi diri untuk terjun di dunia politik,” ucapnya.
Menurut Esty, kurangnya motivasi perempuan dalam politik karena ketidakpercayaan diri untuk berkontestasi. Hal ini berdampak pada strategi kampanye perempuan dalam meraih suara.
Bahkan, pada beberapa pemilu sebelumnya, pencalonan perempuan dari partai politik hanya untuk memenuhi persyaratan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017.
“Perlu peningkatan dalam proses kaderisasi dan pendidikan politik di partai agar memiliki pool of talent yang memadai. Hal ini untuk meningkatkan kemampuan perempuan bersaing dalam pemilu,” terangnya.
Walaupun untuk DPRD Kabupaten Simalungun hanya empat orang yang terpilih, Esty tetap menitipkan harapan untuk mewujudkan kesetaraan gender melalui kebijakan yang mengutamakan hak dan keadilan bagi semua individu.
Esty menegaskan bahwa perwakilan perempuan yang kuat di parlemen tidak secara langsung dapat menekan tindak kekerasan atau ketidaksetaraan gender di masyarakat. Diperlukan upaya bersama dari berbagai sektor termasuk penegakan hukum dan edukasi kepada masyarakat.
Hal senada diungkapkan Wakil Ketua Komnas Perempuan, Olivia Salampessy. Ia menambahkan pentingnya keterlibatan perempuan dalam parlemen sebagai upaya mempengaruhi kebijakan yang diambil di tingkat nasional maupun daerah.
Keterlibatan perempuan di parlemen sangat penting sebagai bentuk pemenuhan hak politik dalam rangka menghadirkan kebijakan berperspektif gender. Perempuan dipastikan akan memberikan perspektif yang berbeda dalam proses pembuatan kebijakan.
“Pengalaman dan kebutuhan perempuan dapat tercermin dalam keputusan yang dibuat,” tambahnya.
Olivia menyoroti harapan besar Komnas Perempuan terkait keterlibatan wanita dalam parlemen legislatif pemerintahan. Di samping itu juga perempuan yang duduk di parlemen harus lebih memainkan peranannya dalam pembuatan keputusan.
“Kami berharap terjadi peningkatan representasi perempuan di parlemen dengan angka afirmasi 30 persen,” tambahnya.
Terakhir, Olivia berharap keberadaan perempuan tidak hanya sebatas sebagai anggota parlemen. Akan tetapi, perempuan harus berada di posisi strategis pengambilan keputusan.
“Kehadiran perempuan dapat mendorong perubahan sistem politik ke arah yang inklusif, tanpa diskriminasi dan setara,” tandasnya.
Editor: Fika