INDEF: Hanya 40 Persen Rumah Tangga Miskin Nikmati Subsidi BBM

Lembaga riset ekonomi, Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) menilai, subsidi bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite tidak tepat sasaran. (Foto: PARBOABOA/Patrick Damanik)

PARBOABOA, Simalungun - Lembaga riset ekonomi, Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) menilai, subsidi bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite tidak tepat sasaran.

Oleh karenanya, kata Kepala Pusat Ekonomi Makro dan Keuangan INDEF, M. Rizal Taufikurahman, rencana pemerintah mengalihkan subsidi BBM Pertalite menjadi Pertamax Green 92  memerlukan kebijakan lanjutan.

"Tidak tepat sasaran karena sebelumnya hanya sekitar 40 persen rumah tangga dengan kondisi ekonomi terendah yang menikmati subsidi BBM. Sementara sisanya dinikmati oleh keluarga yang lebih mampu," jelas Rizal saat Diskusi Publik "Subsidi Go Green Tepatkah?" yang berlangsung secara daring, Rabu (06/09/2023).
 
Rizal menjelaskan, berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2022, dari sekira 5,13 juta rumah tangga miskin dan 6,26 juta rumah tangga hampir miskin, tidak semuanya menggunakan BBM subsidi.

Bahkan, lanjut dia, 463 ribu rumah tangga miskin ekstrem tidak menikmati subsidi BBM.

"Subsidi BBM (Pertalite) yang besar-besaran itu tidak menyentuh kemiskinan (ekstrem), dimana program pemerintah selama ini masih banyak yang harus diperbaiki efektifitasnya dalam distribusi subsidi yang tepat sasaran terutama untuk mencapai zero emission pada 2024," imbuhnya.

Sebelumnya, PT. Pertamina akan mengganti BBM kendaraan jenis Pertalite menjadi Pertamax Green 92 yang merupakan produk campuran etanol 7 persen mulai 2024.

Hal tersebut seiring komitmen Pertamina mengembangkan bioenergi sebagai upaya mencapai net zero emission (NZE) pada 2060.

Peneliti Center of Food, Energy and Sustainable Development INDEF, Dhenny Yuartha Junifta, mengatakan kebijakan Biofuel dimulai sejak 2015, hingga saat ini.

Sejak 2015, penambahan etanol sebesar 2 persen, 2016 5 persen, 2020 10 persen.

"Ditargetkan pada 2025 penambahan etanol di BBM mencapai 20 persen," jelas Denny di diskusi yang sama.

Dhenny menilai, penggunaan biofuel yang dilakukan Pertamina ini untuk memperluas program Pertamax Green 95 ke Pertamax Green 92.

Tujuan kebijakan tersebut salah satunya untuk pengurangan emisi, pengurangan impor dalam memaksimalkan kandungan lokal etanol, dan peningkatan tenaga kerja terutama sektor pertanian dan industri yang mengembangkan etanol.

"Akan tetapi mempertimbangkan kapasitas etanol fuel grade domestik sekitar 63 KL (kilo liter) per tahun. Implementasi Pertamax Green 92 skala nasional memerlukan impor etanol," jelas Dhenny.

Lanjutnya lagi, Dhenny mengatakan pengurangan emisi karbon relatif ke arah yang lebih baik namun memberatkan banyak aspek lainnya seperti porsi etanol.

Jika porsi etanol ditingkatkan, kata dia, maka faktor lahan juga akan berpengaruh dan membuat produksi bahan baku nabati akan pangan menjadi minim.

"Jika mempertimbangkan aspek aspek tersebut, biofuel malah akan memberikan dampak negatif seperti pengalihan bahan baku (pangan) untuk energi, risiko impor etanol dan terakhir akan diberlakukan subsidi," jelas Dhenny.

Selain itu, subsidi energi di APBN kerap dianggap sebagai beban tambahan negara, terlebih saat harga energi internasional mengalami kenaikan di atas harga asumsi APBN.

"Meskipun demikian, subsidi energi tersebut tetap menjadi prioritas negara untuk menjaga kualitas pertumbuhan masyarakat," imbuhnya.

Diketahui, pemerintah mengalokasikan belanja subsidi jenis BBM tertentu (JBT) sebesar Rp25,7 triliun di Rancangan APBN (RAPBN) 2024. Jumlah itu meningkat sekitar 10 persen atau bertambah Rp2,4 triliun dibanding 2023, yang outlook-nya mencapai Rp23,3 triliun.

Editor: Kurniati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS