Hukum Suami Tidak Memberi Nafkah dalam Islam, Berapa Lama Batas Toleransinya?

Hukum Suami Tidak Memberi Nafkah (Foto: Parboaboa/Ratni)

PARBOABOA – Islam mengajarkan tentang hak dan kewajiban dalam membangun rumah tangga, salah satunya adalah kewajiban suami untuk memberikan nafkah. Lalu, seperti apa hukum suami tidak memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya?

Syekh Wahbah al-Zuhaily dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu j.IX,h. 6832, menyebutkan tentang kewajiban suami memberikan nafkah berupa materi, dan juga non materi atau nafkah batin, berikut bunyinya:

للزوجة حقوق مالية وهي المهر والنفقة، وحقوق غير مالية: وهي إحسان العشرة والمعاملة الطيبة، والعدل.

Artinya: “Bagi istri terdapat beberapa hak yang bersifat materi berupa mahar dan nafkah dan hak-hak yang bersifat non materi seperti memperbagus dalam menggauli dan hubungan yang baik serta berlaku adil.”

Permasalahan suami tidak memberi nafkah sering sekali ditemukan, dan akibatnya rumah tangga tersebut berujung pada kasus talak dan perceraian.

Bagaimana Islam memandang hukum suami tidak memberi nafkah? Dan berapa lama batas toleransi yang diperbolehkan? Apakah boleh istri menggantikan kewajiban suami? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Parboaboa akan mengulasnya lewat tulisan di bawah ini.

Perintah Suami Wajib Menafkahi Istri

Perintah suami wajib menafkahi istri (Foto: Parboaboa/Ratni)

Seorang laki-laki atau suami memiliki tanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya dalam hal memberikan nafkah.

Seorang ulama yang akrab disapa Buya Yahya mengatakan bahwa, nafkah adalah kewajiban yang dibebankan Allah SWT kepada suami.

Dalam hal ini suami bertugas sebagai kepala rumah tangga, dengan demikian setiap tanggung jawab diberikan padanya.

Tanggung jawab disini berupa pembayaran sejumlah biaya guna memenuhi kebutuhan orang yang berada dalam tanggungannya, yaitu anak dan istrinya.

Namun kadangkala tanggung jawab tersebut tidak bisa terpenuhi karena satu dan hal lain. Kewajiban suami yang harus dikerjakan ini berupa nafkah lahir dan batin. Kewajiban ini telah dijelaskan dalam Al-Quran:

وَعَلَى ٱلْمَوْلُودِ لَهُۥ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ

Bacaan latin: Wa 'alal-maulụdi lahụ rizquhunna wa kiswatuhunna bil-ma'rụf, lā tukallafu nafsun illā wus'ahā

Artinya: "Dan kewajiban ayah (suami) memberi makan dan pakaian kepada para ibu (istri) dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya," (QS Al-Baqarah 233).

Selain itu, dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda:

“Dan mereka (para istri) mempunyai hak diberi rezeki dan pakaian (nafkah) yang diwajibkan atas kamu sekalian (wahai para suami),’’ (HR Muslim 2137).

Berdasarkan ayat dan hadits di atas telah menerangkan dengan tegas bahwa seseorang suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya.

Walaupun istri telah bekerja dan mempunyai penghasilan sendiri, namun suami tetap memiliki kewajiban untuk menafkahi istrinya. Hukum suami tidak memberi nafkah selama 3 bulan pada istri adalah haram dan berdosa.

Hukum Suami Tidak Memberi Nafkah

Hukum suami tidak memberi nafkah (Foto: Parboaboa/Ratni)

Dalam kanal YouTube Salam TV, Ustadz Ali Masnur, Lc., mengatakan bahwa hukum suami tidak memberi nafkah lahir dan batin  pada istrinya adalah haram.  Dan ia (suami) telah melanggar aturan Allah SWT. Hal ini termasuk dosa besar.

Terlebih lagi jika suami tidak mau bekerja dengan alasan malas dan segala tanggung jawab dibebankan ke istri, hal ini juga termasuk dzalim pada istri.

Allah SWT berfirman dalam surat An Nisa ayat 34, yang artinya:

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka," (QS An Nisa: 34).

Sebelum menikah, segala kebutuhan perempuan menjadi tanggung jawab orang tuanya. Namun, setelah ijab kabul setelai diucapkan, mulai dari uang belanja, uang makan, pakaian, serta kebutuhan lainnya menjadi tanggungg jawab suaminya. 

Apabila suami tidak memenuhi kewajiban tersebut, maka ia pun berdosa. Rasulullah SAW bersabda, "Cukuplah seseorang dikatakan berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya,” (HR. Abu Daud-Ibnu Hibban).

Namun, jika keadaannya benar-benar mendesak, misalnya suami di-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), perempuan boleh bekerja untuk membantu keuangan keluarga dengan syarat mampu menjaga kehormatannya dan tidak mengabaikan tanggung jawab terhadap keluarganya.

Seorang perempuan dapat menggunakan harta pribadinya untuk membantu suami, namun hal ini tidak menghilangkan tanggung jawab suami sebagai pencari nafkah.

Menurut para ulama, harta atau penghasilan istri adalah hak miliknya. Suami tidak boleh menggunakannya tanpa izin dan persetujuan dari istri.

Selain nafkah lahir, suami juga memiliki tanggung jawab untuk memberikan nafkah batin pada istrinya. Bagi suami yang tidak melaksanakan tanggung jawab ini, maka hukum suami tidak memberi nafkah batin pada istri adalah berdosa.

Sikap Istri Jika Suami Tidak Memberikan Nafkah

Sikap istri yang tidak diberi nafkah (Foto: Parboaboa/Ratni)

Setelah mengetahui hukum suami tidak memberi nafkah adalah haram, terdapat beberapa penjelasan mengenai nafkah yang perlu diketahui oleh istri.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan:

“Dan kewajiban ayah si anak memberi nafkah (makan) dan pakaian kepada para ibu (si anak) dengan ma’ruf (baik), yaitu dengan kebiasaan yang telah berlaku pada semisal para ibu, dengan tanpa israf (berlebihan) dan tanpa bakhil (menyempitkan), sesuai dengan kemampuannya di dalam kemudahannya, pertengahannya, dan kesempitannya.”

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.

Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya.”

Berikut ini sikap yang boleh dilakukan istri saat tidak memperoleh nafkah dari suaminya:

1. Mengambil Harta Suami, Walaupun Tapa Izin

Jika suami berkecukupan, namun enggan untuk membagi hartanya kepada istri, maka istri diperbolehkan untuk mengambil harta suaminya dengan secukupnya walau tanpa izin dari suaminya. 

Dari Aisyah RA bahwasanya Hindun bintu ‘Itbah berkata:

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang kikir, dia tidak memberi nafkah yang cukup buat aku dan anak- anakku, kecuali aku harus mengambilnya sedangkan dia tidak tahu.'

Maka Rasulullah berkata: “Ambillah apa yang cukup buatmu dan anak- anakmu dengan cara yang patut,” (HR Bukhori 4945).

2. Memberikan Kesempatan

Istri dituntut untuk bersabar dan memberikan kesempatan kepada suami untuk berubah. Barang kali suami masih berusaha untuk mencari pekerjaan atau mungkin suami mencari pinjaman/hutang demi memenuhi tanggung jawab kepada istrinya. 

Allah berfirman:

وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَن تَصَدَّقُوا۟ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

Bacaan latin: Wa ing kāna żụ 'usratin fa naẓiratun ilā maisarah, wa an taṣaddaqụ khairul lakum ing kuntum ta'lamụn

Artinya: "Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan," (QS Al-Baqarah: 280).

3. Mengajukan Cerai

Apabila suami tidak ada keinginan untuk berubah, maka istri boleh mengajukan perceraian. Jika suami masih berkeinginan menahan istrinya, maka wajib diberikan nafkah. Namun, jika tidak janganlah menyusahkan istri. Hukum suami tidak memberi nafkah lahir kepada istri adalah haram.

Allah berfirman:

ٱلطَّلَٰقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌۢ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌۢ بِإِحْسَٰنٍ ۗ

Bacaan latin: Aṭ-ṭalāqu marratāni fa imsākum bima'rụfin au tasrīḥum bi`iḥsān.

Artinya: "(Seorang Suami) boleh menahan atau rujuk dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan (istrinya) dengan cara yang baik," (QS Al-Baqarah 229).

Namun, ketika hukum suami tidak memberi nafkah pada istri, dan selama istrinya rela dan lapang dada untuk saling berbagi, maka ikatan pernikahan tetap bisa dipertahakan. Kebijakan ini tercermin dalam Al Quran Surat al-Talaq ayat 7, yang berbunyi:

ِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِۦ ۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُۥ فَلْيُنفِقْ مِمَّآ ءَاتَىٰهُ ٱللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَآ ءَاتَىٰهَا ۚ سَيَجْعَلُ ٱللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا

Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”.

Berapa Lama Batas Suami Tidak Memberi Nafkah kepada Istri?

Hukum suami tidak memberikan nafkah dalam Islam adalah haram. Namun, meskipun suami tidak memenuhi kewajiban tersebut, Islam juga menekankan pentingnya kesabaran istri dalam menghadapi situasi tersebut.

Dalam Islam, kesabaran dan ketenangan merupakan sifat yang sangat dianjurkan dan dihargai. Istilah "bersabar" dalam konteks ini mencakup kemampuan istri untuk menjaga ketenangan hati, menghindari sikap permusuhan, dan berusaha menjaga hubungan harmonis meskipun dalam kesulitan.

Lalu, persoalan berikutnya ialah soal durasi. Berapa lama suami diperbolehkan tidak memberikan nafkah materi dan batin bagi istrinya?

Beberapa ulama memberikan pendapatan yang berbeda terkait menyikapi hal tersebut. Menurut Imam Ibnu Hazm, batasan suami tidak memberi nafkah batin kepada istrinya sekurang-kurangnya satu kali satu bulan.

Pendapat tersebut berdasarkan ayat:

فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُ Ûš إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلْمُتَطَهِّرِينَ 

Artinya: “Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”

Hukum suami tidak memberi nafkah selama durasi satu bulan tersebut berdasarkan siklus haid perempuan, yakni sebulan sekali.

Sementara pendapat lain dari Imam Syafi’I mengatakan setidaknya istri harus bersabar selama 4 bulan jika tidak diberikan nafkah materi dan nafkah batin.

Hal ini termuat dalam kitab Al-Umm, juz VII, hal. 121:

كَتَبَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى أُمَرَاءِ الْأَجْنَادِ فِي رِجَالٍ غَابُوا عَنْ نِسَائِهِمْ يَأْمُرُهُمْ أَنْ يَأْخُذُوهُمْ بِأَنْ يُنْفِقُوا أَوْ يُطَلِّقُوا ØŒ فَإِنْ طَلَّقُوا بَعَثُوا بِنَفَقَةِ مَا حَبَسُوا. وَهَذَا يُشْبِهُ مَا وَصَفْتُ 

Artinya: “Umar bin Khaththab RA pernah menulis surat kepada para panglima perang mengenai para suami yang jauh istrinya, (dalam surat tersebut, pent) beliau menginstruksikan kepada mereka agar mengultimatum para suami dengan dua opsi; antara memberikan nafkah kepada para istri atau menceraikannya. Kemudian apabila para suami itu memilih menceraikan para istri, mereka harus mengirimkan nafkah yang belum mereka berikan selama meninggalkannya. Hal ini mirip dengan apa yang telah saya (Imam Syafi’i) kemukakan.”

Demikianlah ulasan tentang hukum suami tidak memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Semoga pembahasan ini bermanfaat dalam membangun kehidupan rumah tangga Anda.

Editor: Lamsari Gulo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS