PARBOABOA, Jakarta - Internet telah menjadi bagian penting dari kehidupan anak-anak di era digital.
Namun, ancaman seperti pornografi, kekerasan daring, hingga human trafficking, terus menghantui dunia maya.
Dalam upaya mengatasi persoalan ini, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) Republik Indonesia menetapkan langkah progresif untuk melindungi anak-anak melalui penerapan aturan internet ramah anak.
Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, memastikan draf aturan tersebut dalam tahap finalisasi dan ditargetkan selesai dalam waktu sebulan.
“Aturan mengenai perlindungan anak di internet atau ramah anak sedang dalam proses finalisasi. Saya telah memberikan tugas kepada Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital, Alexander Sabar, untuk menyelesaikan aturan ini dalam waktu satu bulan,” ujar Meutya di Kantor Komdigi, Jakarta, Senin (13/1/2025).
Aturan ini dirancang untuk dikeluarkan dalam bentuk Peraturan Menteri, memberikan kerangka hukum yang kuat untuk melindungi anak-anak di dunia maya.
Sejak dilantik sebagai Menkomdigi RI, Meutya Hafid telah menetapkan perlindungan anak sebagai salah satu prioritas utama.
Dalam pidatonya saat serah terima jabatan, Meutya menyatakan bahwa langkah ini bertujuan mengatasi berbagai risiko digitalisasi yang membahayakan anak, seperti pornografi anak, eksploitasi, dan kekerasan daring.
“Fokus kami adalah memastikan anak-anak Indonesia terlindungi dari ancaman digital seperti human trafficking dan pornografi anak. Ini menjadi bagian dari pembenahan ruang digital secara menyeluruh,” kata Meutya.
Selain itu, Meutya menegaskan pentingnya pemerataan akses internet hingga ke wilayah 3T (tertinggal, terluar, terdepan).
Hingga saat ini, Komdigi melaporkan bahwa 98 persen wilayah di Indonesia telah terhubung internet, meskipun kecepatan akses belum merata. Meutya berencana melakukan kunjungan langsung untuk memantau kondisi tersebut.
Belajar dari Negara Lain
Dalam membangun ekosistem internet sehat, Indonesia dapat belajar dari beberapa negara maju. Di Finlandia, misalnya, edukasi literasi digital telah diterapkan di sekolah sejak usia dini. Pemerintah Finlandia juga menyediakan filter internet yang secara otomatis memblokir konten berbahaya, termasuk situs berisi pornografi atau kekerasan.
Sementara itu, di Australia, pemerintah menerapkan eSafety Commissioner, sebuah lembaga independen yang mengawasi pelaporan kasus cyberbullying dan eksploitasi anak di dunia maya.
Kebijakan ini didukung oleh program edukasi yang melibatkan sekolah, orang tua, dan komunitas.
Di Indonesia, penerapan internet sehat membutuhkan kolaborasi serupa. Peran orang tua, guru, hingga penyedia layanan internet sangat penting untuk menciptakan lingkungan daring yang aman bagi anak-anak.
Regulasi yang tengah disusun oleh Komdigi akan menjadi langkah awal penting untuk mencapai hal ini.
Menurut laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), sekitar 60 persen anak-anak dan remaja di Indonesia telah terhubung ke internet.
Namun, survei UNICEF menunjukkan bahwa 50 persen dari mereka pernah terpapar konten berbahaya, termasuk pornografi dan kekerasan.
Selain itu, laporan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menyebutkan bahwa kasus eksploitasi seksual daring terhadap anak meningkat sebesar 25 persen selama tiga tahun terakhir.
Melihat data tersebut, regulasi yang dirancang oleh Komdigi harus mencakup mekanisme pengawasan yang efektif, seperti filter otomatis untuk memblokir konten negatif dan pelaporan kasus yang ramah anak.
Selain itu, edukasi literasi digital perlu diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan nasional agar anak-anak dapat lebih bijak dalam menggunakan internet.
Peraturan yang Mendukung
Langkah Komdigi ini sejalan dengan sejumlah regulasi yang telah ada, seperti Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Pasal-pasal dalam UU Perlindungan Anak mengatur kewajiban negara dalam melindungi anak dari eksploitasi seksual dan perdagangan manusia, sementara UU ITE memberikan dasar hukum untuk menindak penyebaran konten negatif di dunia maya.
Regulasi tambahan yang dirancang oleh Komdigi akan melengkapi peraturan yang ada dengan memberikan perhatian khusus pada ruang digital.
Sebagai contoh, aturan baru ini dapat mewajibkan platform digital untuk menerapkan teknologi pemantauan yang lebih canggih guna mendeteksi dan menghapus konten berbahaya secara real-time.
Meski demikian, penerapan aturan internet ramah anak tetap memiliki tantangan yang butuh penangan serius.
Salah satu hambatan terbesar adalah rendahnya literasi digital di kalangan orang tua dan guru, yang sering kali belum memahami cara melindungi anak di dunia maya.
Selain itu, kurangnya infrastruktur internet di daerah terpencil juga dapat menghambat akses ke edukasi digital.
Komdigi perlu menggandeng berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, sektor swasta, dan organisasi masyarakat sipil, untuk mengatasi tantangan ini.
Program edukasi literasi digital untuk orang tua dan guru dapat menjadi langkah awal yang efektif.
Di sisi lain, penyedia layanan internet harus turut berperan aktif dengan menyediakan fitur kontrol orang tua yang mudah digunakan.
Dengan target yang telah ditetapkan, aturan internet sehat bagi anak diharapkan dapat menjadi tonggak penting dalam menciptakan lingkungan daring yang aman dan ramah bagi anak-anak Indonesia.
Keberhasilan regulasi ini sangat bergantung pada kolaborasi semua pihak, mulai dari pemerintah, komunitas, hingga sektor swasta.