PARBOABOA, Jakarta - Konflik antara Dahlan Iskan dengan Jawa Pos memunculkan perhatian luas, bukan semata karena gugatan aset, tetapi sejarah panjang hubungan personal dan institusional di baliknya.
Dahlan dikenal sebagai figur sentral dalam pertumbuhan Jawa Pos sejak era 1980-an, ketika media ini tumbuh dari koran daerah menjadi konglomerasi media nasional.
Namun, seiring berjalannya waktu, kepemilikan aset yang dahulu dikelola secara informal kini memasuki ranah hukum, sehingga memunculkan sejumlah gugatan dan proses penertiban administratif.
Pihak manajemen Jawa Pos menyatakan bahwa langkah hukum yang ditempuh bukan ditujukan untuk meniadakan kontribusi Dahlan, melainkan sebagai konsekuensi dari keharusan merapikan kepemilikan perusahaan.
Direktur Jawa Pos Holding, Hidayat Jati pada Minggu (14/7/2025) menyebut “sebagian besar persoalan hukum yang muncul merupakan upaya pemulihan dan penertiban aset yang sebelumnya dikelola tidak formal.”
Anak dari sastrawan Goenawan Mohamad itu menambahkan bahwa seperti umumnya tanggung jawab korporasi, direksi memiliki kewajiban untuk memastikan pembukuan bersih dan kepemilikan aset jelas.
Momen penting untuk menata ulang kepemilikan muncul saat pemerintah mengadakan program pengampunan pajak (tax amnesty) pada 2016.
Jati menjelaskan hasil dari program tersebut telah dimasukkan dalam laporan keuangan yang diaudit dan disahkan secara resmi melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Jawa Pos, dengan dukungan suara bulat dari para pemegang saham.
Sebagai contoh penyelesaian damai, ia menyebut soal investasi pribadi Dahlan dalam proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Kalimantan Timur yang diselesaikan melalui skema kompensasi saham.
Hal serupa juga terjadi dalam penertiban aset proyek pengolahan nanas milik pribadi Dahlan. Baginya, "ini bukan hanya soal PT Dharma Nyata, tetapi mencakup sejumlah aset dan transaksi lama.”
Namun demikian, Jati mengakui keputusan membawa persoalan ini ke ranah hukum bukanlah hal ringan. Pihaknya disebut telah mempertimbangkan berbagai hal demi menyelamatkan aset perusahaan dan menegakkan hukum.
Ia menyebut, akar persoalan banyak bermula dari praktik pada masa lalu ketika kepemilikan aset perusahaan ditempatkan atas nama pribadi para direksi.
Hal ini, menurut Jati, merupakan konsekuensi dari aturan Orde Baru yang mewajibkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) atas nama individu. Sayangnya, pola penempatan aset tersebut terus berlanjut meskipun kewajiban SIUPP sudah dihapus.
Setelah wafatnya pendiri Jawa Pos, Eric Samola, pada akhir 2000, upaya untuk menata ulang aset mulai dijalankan.
“Pada awal 2001, pemegang saham mayoritas sudah mendorong proses balik nama. Tapi karena jumlah dan sebaran asetnya sangat besar, prosesnya pun panjang. Sebagian berhasil diselesaikan secara damai, namun ada juga yang kemudian menjadi sengketa,” kata Jati.
Khusus mengenai posisi Dahlan Iskan, Jati mengakui bahwa kontribusinya terhadap perusahaan tidak kecil.
Setelah dilakukan pendekatan, semua pihak disebut Jati sepakat untuk menyelesaikannya melalui pemberian saham. Karena itulah, "saat ini saham atas nama Pak Dahlan di Jawa Pos sebesar 3,8 persen.”
Terkait kepemilikan atas PT Dharma Nyata, Jati menegaskan seluruh mantan direksi mengetahui aset tersebut bukanlah milik pribadi. Bukti-bukti atas hal itu, menurutnya, telah dikumpulkan sejak 2001.
“Selama bertahun-tahun, PT Dharma Nyata rutin menyetor dividen ke Jawa Pos. Tapi sejak 2017, pembayaran dividen itu berhenti setelah Nany Wijaya tidak lagi menjabat di holding. Maka, kami berkewajiban menyelamatkan aset ini,” tegasnya.
Meski demikian, Jati menekankan bahwa pihaknya tetap membuka ruang dialog, asalkan dilandasi itikad baik dan fakta hukum. Tanpa keduanya, maka "mudah muncul salah persepsi.”
Konflik Masa Lalu
Dalam sejarah panjang Jawa Pos, keberadaan Jati sendiri menyimpan prahara. Statusnya sebagai direktur perusahaan sering dikaitkan dengan manuver Goenawan Mohamad selaku ayah sekaligus pemilik saham.
Bersama Dahlan Iskan, Goenawan diketahui memiliki saham di perusahaan tersebut, meski jumlahnya tak sebesar yang dimiliki PT Grafiti Press sebagai pemegang saham utama.
Keduanya, meski sering disebut sebagai “matahari kembar” di Jawa Pos, sempat berbagi relasi yang saling menghormati satu sama lain.
Konflik perlahan muncul ketika suksesi kepemimpinan mulai menjadi isu strategis. Dahlan sejak awal sudah melibatkan anaknya, Azrul Ananda, dalam manajemen Jawa Pos dan bahkan mengangkatnya menjadi Direktur Utama pada 2011.
Di sisi lain, Goenawan juga mendorong keterlibatan putranya, Hidayat Jati, dalam struktur direksi perusahaan.
Usulan agar Jati masuk ke jajaran direksi muncul dalam RUPS-Luar Biasa pada pertengahan 2017. Wakil dari Goenawan, yang juga mewakili Grafiti Press, mengajukan nama Jati, namun mendapat tentangan dari perwakilan keluarga Dahlan dan Eric Samola.
Ketegangan sempat meningkat ketika ancaman voting dilontarkan. Namun karena komposisi saham yang lebih kuat berada di tangan kubu Grafiti dan Goenawan, posisi Dahlan dan pendukungnya menjadi rentan.
Tak lama setelah masuknya Jati ke manajemen, Azrul memilih mengundurkan diri. Meskipun tidak ada alasan spesifik, para pengamat internal meyakini langkah itu dipicu ketidakcocokan antara Azrul dan Jati.
Situasi ini membuat Dahlan kehilangan satu-satunya perwakilan keluarganya di lingkar dalam Jawa Pos.
Goenawan sendiri, menurut sejumlah sumber, sempat mencoba meredakan ketegangan dengan mengirimkan surat kepada Dahlan.
Dalam surat itu, ia menyatakan ketidakterlibatannya dalam keputusan rapat yang melibatkan anaknya. Ia bahkan mengusulkan agar Jati berkantor di Jakarta, dan bukan Surabaya.
Namun, keputusan Azrul yang sudah telanjur mundur membuat semua rencana itu tak lagi relevan.
Setelah keluarnya Azrul, posisi Dahlan semakin terisolasi. Ia dikabarkan sempat berniat menjual sahamnya kepada pihak luar, termasuk ke Ciputra dan Dato Sri Tahir.
Namun, kedua tokoh ini menolak, dengan alasan yang berbeda. Salah satunya karena informasi yang beredar menyebutkan adanya persoalan dalam struktur saham yang dikuasai Dahlan.
Isu tersebut kabarnya disampaikan oleh Ratna Dewi, mantan staf keuangan Jawa Pos yang menjadi orang kepercayaan Dahlan kepada calon pembeli.
Peran Ratna menjadi sorotan. Dahulu ia sangat dekat dengan Dahlan, meski belakangan disebut-sebut berpihak kepada kubu Goenawan.
Ratna diduga menyerahkan dokumen keuangan perusahaan yang menyoroti dugaan penggunaan dana oleh Dahlan untuk proyek-proyek di luar kepentingan korporasi, seperti pembelian klub sepak bola, pengembangan liga basket, dan proyek PLTU.
Total nilai dugaan penyimpangan itu disebut mencapai hampir Rp 1 triliun.
Langkah ini kemudian membuka jalan bagi direksi baru untuk menagih pengembalian dana dan mendesak agar Dahlan melepas posisinya sebagai Chairman Jawa Pos Holding.
Pada pertengahan 2018, posisi tersebut akhirnya diisi oleh Ratna sendiri. Perubahan ini menandai berakhirnya dominasi Dahlan di Jawa Pos.
Salah satu imbas dari konflik internal ini adalah penahanan pembagian dividen kepada Dahlan. Meski secara hukum, dividen merupakan hak pemegang saham, pihak perusahaan memilih menahannya dengan alasan persoalan keuangan yang masih belum terselesaikan.
Peristiwa ini memperjelas bahwa konflik di Jawa Pos bukan sekadar soal regenerasi, tetapi juga menyangkut pertarungan pengaruh dan akses terhadap kekuasaan bisnis.