PARBOABOA, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mengkaji kemungkinan pemberlakuan aturan baru yang melarang para tahanan mengenakan masker atau penutup wajah saat tampil di hadapan publik.
Inisiatif ini muncul sebagai bagian dari upaya memperkuat transparansi dan menumbuhkan efek jera dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, mengungkapkan bahwa wacana ini sedang dibahas secara internal sehingga belum ada ketentuan resmi yang mengatur penampilan tahanan dalam konferensi pers atau proses hukum di ruang publik.
Karena itu, KPK berencana merancang mekanisme khusus sebagai pedoman bersama.
Langkah ini disebut Budi akan menghasilkan acuan yang berlaku bagi seluruh pihak yang terlibat, "khususnya dalam penanganan dan publikasi tahanan."
Wacana pelarangan masker juga mendapat dukungan dari kalangan pimpinan KPK.
Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak pada awal Juni 2025 lalu, menilai bahwa saat ini merupakan waktu yang tepat untuk mengangkat isu tersebut ke dalam pembahasan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang sedang berlangsung di DPR.
Menurut Tanak, kebijakan ini bukan hanya berkaitan dengan aspek visual atau identifikasi pelaku, tetapi juga menyentuh dimensi moral dan sosial.
Ia berpendapat bahwa publik berhak melihat langsung wajah para tersangka sebagai bentuk pertanggungjawaban atas tindakan mereka.
Lebih lanjut, ia mengajak media untuk turut mengangkat isu ini ke ruang publik agar mendapatkan dukungan luas dan dapat menjadi bahan pertimbangan Komisi III DPR dalam pembahasan legislasi.
Meskipun demikian, KPK menyadari bahwa usulan ini dapat memicu perdebatan, khususnya terkait dengan perlindungan hak asasi manusia dan prinsip praduga tak bersalah.
Lagi pula, ungkap Tanak, belum ada dasar hukum yang jelas untuk melarang tersangka kasus korupsi menggunakan penutup wajah saat diperiksa dalam proses penyidikan.
Oleh karena itu, KPK menegaskan bahwa kajian terhadap kebijakan ini akan dilakukan secara menyeluruh, dengan tetap menjunjung tinggi prinsip keadilan dan hukum yang berlaku.
Tanggapan dan Kritik
Sebelumnya, wacana untuk melarang para tersangka korupsi menggunakan penutup wajah pernah mendapat kritik dari sejumlah pihak.
Pada 2020 lalu, misalnya Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menyebut, ketentuan ini mengabaikan asas praduga tak bersalah (presumption on innocence).
Arsul lantas meminta KPK meninjau ulang praktik baru dalam pengumuman penetapan tersangka yang disertai dengan kehadiran langsung orang yang dituduh.
Ia menekankan bahwa dalam sistem hukum pidana, seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka belum tentu bersalah sebelum diputuskan oleh pengadilan.
Hal ini sejalan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 yang merupakan perubahan atas UU KPK, di mana lembaga antirasuah itu tetap memiliki kewenangan menghentikan penyidikan suatu perkara.
Hakim Konstitusi di MK itu pernah menyampaikan keberatannya kepada Kapolri dalam kasus pembunuhan terhadap seorang hakim. Saat itu, kepolisian memperlihatkan sang istri yang diduga sebagai pelaku, di hadapan publik.
Ia menilai tindakan tersebut telah mencederai prinsip praduga tak bersalah yang seharusnya dijunjung tinggi.
Menurutnya, pemberantasan korupsi memang memerlukan ketegasan. Namun, ketegasan tersebut tidak boleh melanggar prinsip-prinsip dasar hukum pidana internasional, termasuk hak untuk tidak dipermalukan sebelum terbukti bersalah.
Sejalan dengan pandangan tersebut, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, dalam sebuah publikasi di website hukumonline.com menyuarakan keprihatinan serupa.
Ia menyebutkan bahwa menghadirkan tersangka di depan publik saat pengumuman resmi berpotensi melanggar hak asasi manusia. Sebab, status tersangka belum menandakan bahwa orang tersebut benar-benar bersalah.
Fickar menegaskan bahwa proses penetapan tersangka hanyalah bagian awal dari rangkaian prosedur hukum.
Bahkan setelah seseorang dinyatakan bersalah di pengadilan tingkat pertama, ia masih memiliki hak untuk mengajukan banding, kasasi, bahkan peninjauan kembali.
Dengan kata lain, tidak ada dasar hukum yang memperbolehkan perlakuan seolah-olah seseorang telah divonis bersalah hanya karena statusnya sebagai tersangka.
Ia juga mengingatkan bahwa asas praduga tak bersalah tercantum jelas dalam KUHAP. Asas ini menuntut agar setiap individu yang belum dijatuhi hukuman tetap dianggap tidak bersalah.
Namun, memperlihatkan wajah tersangka di depan publik sama saja dengan memberikan hukuman secara sosial sebelum waktunya.
Dalam praktik jurnalistik, penggunaan inisial nama dan penutupan sebagian wajah tersangka dengan tanda hitam di media massa merupakan bentuk penghormatan terhadap hak asasi tersangka.
Namun hal ini berbeda apabila tersangka tertangkap tangan dengan barang bukti. Situasi tersebut dinilai sah untuk ditampilkan karena merupakan bagian dari proses pembuktian langsung.
Fickar menambahkan bahwa tindakan mempermalukan seseorang sejak awal tidak membawa dampak signifikan terhadap penurunan tingkat kejahatan, termasuk korupsi.
Sebaliknya, hal tersebut justru menjadi bentuk penghukuman yang belum melalui proses peradilan.
Ia merujuk pada Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang secara eksplisit menyebutkan pengumuman putusan hakim adalah bagian dari jenis hukuman, baik pokok maupun tambahan.
Oleh karena itu, menampilkan tersangka ke ruang publik sebelum ada putusan berkekuatan hukum tetap justru melanggar prinsip hukum tersebut.
Meskipun begitu, dalam kasus penangkapan langsung seperti OTT, memperlihatkan tersangka beserta barang bukti dapat dibenarkan sebagai bagian dari transparansi dan akuntabilitas dalam penegakan hukum.