Teror Media Jubi dan Intimidasi terhadap Jurnalis yang Tak Pernah Usai

Intimidasi terhadap jurnalis di Indonesia tak pernah usai. (Foto: Instagram/@aji.indonesia)

PARBABOA, Jakarta - Teror dan aksi kekerasan terhadap dunia jurnalisme di Indonesia seakan tak pernah berhenti.

Sasaran perilaku anti kebebasan pers ini menyasar media massa yang kritis, baik yang berskala nasional maupun media-media lokal.

Selama 2024 saja, upaya menakut-nakuti pekerja media terjadi di sejumlah daerah. Bahkan, di sana, beberapa wartawan dikriminalisasi saat sedang meliput.   

Di Depok, Jawa Barat misalnya, kaca mobil milik wartawan Tempo, Hussein Abri Dongoran dipecah oleh dua orang tak dikenal (OTK) sewaktu ia mengurus perpanjangan Surat Izin Mengemudi (SIM).

Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Setri Yasra menduga insiden yang terjadi pada 3 September 2024 itu, punya kaitannya dengan kerja-kerja jurnalistik Husein.

Apalagi, Husein kata dia, merupakan salah satu host di acara Bocor Alus, podcast politik milik Tempo yang dianggap terlalu keras terhadap berbagai pihak.

"Pada akhirnya kami (Tempo) dipaksa berkesimpulan seperti itu," kata Setri.

Teror yang dialami Husein bukan yang pertama. Sebelumnya, pada 5 Oktober 2024 ia mendapat teror serupa dari dua OTK.

Sementara itu, di Poco Leok, Manggarai, Flores Barat, NTT pemimpin redaksi media lokal Floresa, Herry Kabut mendapat kekerasan fisik dari aparat saat meliput aksi penolakan warga atas pembangunan geothermal di daerah itu.

Herry telah menyampaikan secara detail ihwal kekerasan yang ia alami. Ia bahkan sempat mengalami trauma seusai ditangkap lalu dipukul oleh oknum aparat di dalam sebuah mobil.

Seorang wartawan yang berinisial TJ, disinyalir ikut memukul Herry. Tak hanya dipukul, barang pribadi Herry, termasuk handphone disita lalu dicek semua isi chattingan.

Insiden yang terjadi pada 2 Oktober 2024 ini telah dilaporkan ke Kapolda NTT oleh Floresa bersama warga Poco Leok. 

Pelaporan ini disertai aksi elemen masyarakat sipil dan mahasiswa untuk segera menangkap dan memproses pelaku, guna memastikan tak ada lagi kriminalisasi dan kekerasan terhadap jurnalis.

Berselang dua minggu dari kasus yang menimpa wartawan Floresa, Rabu (16/9/2024), intimidasi juga dialami oleh media lokal Jubi yang berbasis di Jayapura, Papua.

Pemimpin redaksi Jubi, Jean Bisay mengatakan aksi teror itu berupa pelemparan bom molotov ke kantor redaksi yang terletak di Jalan SPG Taruna Waena, Kota Jayapura.

Kejadian ini telah menyebabkan dua mobil operasional Jubi terbakar. Jean menyampaikan, bom molotov itu diduga dilempar oleh dua orang berboncengan menggunakan sepeda motor.

Pelaku melemparnya dari pinggir jalan, membuat api berkobar di antara dua mobil yang sedang parkir di halaman kantor redaksi.

Pihak kepolisian setempat telah memastikan bahwa benda yang dilempar di tempat kejadian adalah bom molotov. Saat ini, polisi masih menyelidiki kasus tersebut dan berusaha mengidentifikasi para pelaku.

Serangan ini bukan yang pertama kali dialami Jubi. Sebelumnya, pada akhir Januari 2023, jurnalis Victor Mambor juga menjadi korban aksi serupa ketika sebuah bom rakitan meledak di dekat kediamannya.

Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) Indonesia menilai, serangkaian serangan terhadap Jubi merupakan ancaman nyata terhadap kebebasan pers yang semakin meningkat.

Serangan itu, kata mereka, menargetkan media yang berani melaporkan pelanggaran hak asasi manusia dan kebijakan strategis nasional yang merugikan masyarakat adat.

Apalagi, Jubi dikenal sebagai media yang sering mengkritik berbagai kebijakan pemerintah, termasuk proyek strategis nasional di bidang ketahanan pangan yang dianggap mengancam kehidupan masyarakat adat.

Selain itu, media ini juga kerap membahas pelanggaran HAM yang melibatkan aparat keamanan.

Serangan bom molotov terbaru ini, kata KKJ, "terjadi tak lama setelah Jubi menerbitkan artikel-artikel yang mengkritik kebijakan tersebut."

Menyikapi intimidasi dan kekerasan terhadap Jubi, KKJ menekankan pentingnya langkah tegas dari pihak berwenang. Mereka mendesak aparat penegak hukum segera mengusut tuntas kasus ini dan memastikan para pelaku diadili. 

Negara tidak boleh membiarkan kekerasan, intimidasi, atau teror terhadap jurnalis dan media terjadi, karena jika dibiarkan, kebebasan pers di Indonesia, terutama di Tanah Papua, akan semakin terancam.

KKJ Indonesia juga mendesak Kapolri agar segera mencopot Kapolda Papua yang dinilai gagal menjaga keamanan dan keselamatan redaksi Jubi. Selain itu, Kapolri diharapkan dapat mendorong aparat di lapangan agar lebih serius menangani ancaman serupa di masa depan.

"Mengingat Papua adalah salah satu daerah yang paling rentan terhadap pelanggaran hak-hak dasar seperti kebebasan pers," kata KKJ.

Mereka juga meminta agar penyelidikan kasus teror bom terhadap jurnalis Victor Mambor, yang sebelumnya dihentikan oleh Polda Papua, segera dibuka kembali.

Selebihnya, KKJ Indonesia menilai Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) perlu turun tangan memberikan perlindungan kepada awak redaksi Jubi, mengingat sejumlah jurnalis mengalami trauma akibat serangan tersebut.

Dalam beberapa tahun terakhir, intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis memang menjadi masalah serius.

Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat adanya 84 kasus kekerasan terhadap jurnalis sepanjang 2020. 

Jumlah ini menunjukkan peningkatan tajam dibandingkan 2019, di mana terdapat 53 kasus serupa. Bahkan, data 2020 mencatatkan rekor tertinggi sejak AJI mulai memantau kekerasan terhadap jurnalis lebih dari satu dekade lalu.

Survei TIFA Foundation dan Populix yang melibatkan 536 responden memperkuat temuan ini, dengan 45% jurnalis menyatakan pernah mengalami kekerasan saat menjalankan tugas.

Dari berbagai bentuk kekerasan, pelarangan peliputan menjadi yang paling sering dialami, dilaporkan oleh 46% responden (112 jurnalis). 

Kekerasan kedua paling umum adalah pelarangan pemberitaan, yang dialami oleh 41% responden. Sementara, teror dan intimidasi berada di urutan ketiga dengan angka 39%.

Oslan Purba, Direktur Eksekutif Yayasan TIFA mengatakan angka-angka ini menunjukkan bahwa keselamatan jurnalis di Indonesia masih rentan. 

Hasil temuan mereka menunjukkan bahwa ancaman terhadap jurnalis paling banyak berasal dari organisasi masyarakat (ormas) dan aparat negara.

Secara spesifik, ormas diidentifikasi oleh 29% responden sebagai pelaku utama intimidasi. Diikuti oleh aparat kepolisian, yang disebut oleh 26% responden sebagai sumber ancaman. 

Selain itu, 22% responden melaporkan tekanan dari pejabat pemerintah, sedangkan 14% menyebut aktor politik sebagai pihak yang turut memberikan ancaman terhadap jurnalis.

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS