PARBOABOA, Pematang Siantar - Era akhir 1990-an merupakan masa keemasan musik metal di Pematang Siantar, Sumatra Utara (Sumut).
Thongat (43), pentolan personil grup band metal Archa Demit, menyaksikan respons positif musisi lokal Pematang Siantar menyambut budaya musik baru 'metal' saat itu.
Lebih dari sekedar mengagumi, para musisi bahkan menginisiasi lahirnya musik metal di daerah dengan genre yang berbeda-beda.
"Band saya dulu bernama Archa Demit, dan band metal terkemuka di Pematang Siantar pada masa itu adalah Tarantula," kata Thongat, kepada PARBOABOA, Senin (4/12/2023).
Thongat mengenang masa-masa ketika metalheald dan budaya metal digandrungi masyarakat, sehingga, hampir pasti setiap akhir pekan selalu diadakan konser bernuansa musik energik.
Ia mengatakan, semua orang tertarik pada apa yang sedang pupuler, dan di waktu itu musik metal sedang banyak digemari, terutama oleh anak-anak muda.
Musik metal di Pematang Siantar menunjukkan kelasnya dengan mengalahkan performa musik bergenre Pop dan Rock, meskipun dalam beberapa konser mereka berkolaborasi.
"Band genre Pop dan Rock seperti Risol dan Kaki Langit di acara-acara metal enggak tampil sebelum band metal tampil. Mereka tampil secara selingan. Jadi, beberapa sudah band metal main, barulah mereka main sebagai pendingin, dan kemudian band-band metal lainnya main lagi," pungkasnya.
Namun, sekalipun pengaruh mereka besar, kata Thongat, kolaborasi tetap penting untuk menciptakan keragaman musikal dan mengakomodasi selera beragam para penggemar musik.
"Kami ingin memberikan pengalaman yang lengkap kepada penonton. Dengan menggabungkan berbagai genre, konser tidak hanya menjadi perayaan bagi para metalhead tetapi juga menjadi tempat berkumpul bagi semua pecinta musik," jelasnya.
Death metal, Black metal, Thrash metal, Heavy metal, Metalcore, dan Hardcore adalah genre metal yang lahir dari kreativitas-kreativitas musisi lokal Pematang Siantar.
Dengan beragamnya aliran musik metal waktu itu, terbentuklah Siantar Corpse Grinder (SCG), komunitas metal pertama yang mewadahi para penggemar musik metal dari berbagai aliran.
Thongat mengatakan, komunitas ini bukan hanya menjadi tempat untuk bersosialisasi, tetapi juga menjadi panggung bagi ekspresi kreatif para musisi metal yang berasal dari berbagai lapisan masyarakat.
Namun delapan tahun berselang, tepatnya di tahun 2016, semua musik bergenre metal mengalami masa sulit, karena banyak personil termasuk Thongat sendiri merantau ke luar kota.
Kondisi ini dampaknya terasa signifikan, performa mereka berkurang dan SCG, komunitas yang mewadahi mereka tidak lagi seaktif tahun-tahun sebelumnya.
"Anak-anak muda pada saat itu mulai beralih hobi, beberapa menjadi penggemar skateboard, memilih olahraga gravity, atau bahkan hanya mengikuti tren anak gaul," ungkap Thongat, mengenang masa sulit tersebut.
Babak Baru
Situasi keterpurukan berlangsung selama dua tahun. Usai Thongat memutuskan kembali ke Pematang Siantar tahun 2008, babak baru musik metal kembali memikat perhatian para pengemar.
Diawali dengan membentuk komunitas baru, yaitu Siantar Undergrouund Community (SUC), lahirlah grup band metal baru, seperti Ultumatum, Utusan Terakhir, Paku Mati, Kramotak, Cried Angel, Paracriva, Sekarat Berkarat, Black Blood, Metalitikum dan Armenia.
Thongat, sebagai salah satu pionir, menjadi mentor bagi anak-anak muda Pematang Siantar, bahkan hingga ke wilayah Simalungun.
"Di Serbelawan, saya yang mendoktrin anak-anak mudanya untuk menyukai metal. Muncullah Komponen Neraka, salah satu band bergenre death metal dari Serbelawan, yang sudah pernah manggung sampai Bandung," ujarnya.
Konser lokal musik metal juga kembali dihelat setiap bulan di depan Q-Radio dan Rhystem Studio dengan penonton yang membeludak sepanjang jalan di sekitar lokasi konser.
Thongat mengambil inisiatif agar setiap band bergantian menjadi panitia penyelenggara acara. Ini dilakukan supaya para musisi terlatih mengadakan konser metal dan membantu mengembangkan keterampilan organisasional.
Daya tarik SUC tidak hanya terletak pada aspek musikal, melainkan juga pada atmosfer keramahan dan dukungan yang mereka tawarkan kepada para pendatang baru di dunia musik metal.
"Di masa itu, peminat komunitas ini cukup besar, bahkan banyak cewek-cewek yang menggunakan nama SUC di akun Facebook mereka," ungkapnya dengan bangga.
SUC menunjukkan idealisme tinggi dengan menolak segala bentuk sponsor dari luar. Setiap acara dijalankan dengan biaya yang berasal dari kolaborasi anggotanya sendiri, tanpa campur tangan pihak ketiga.
Namun pada tahun 2011, idealisme itu mencatat momen berkesan sekaligus mengecewakan ketika pergelaran Siantar Metal Fest di Lapangan Pariwisata Pematang Siantar.
Konser besar ini mengundang sejumlah band metal dari luar kota, yaitu Bintang di Neraka, Bledding Of Gore, Blood Ritual, Eternal Opprossor, Full Moon, Hell Stayer, Overdosis, Komponen Neraka, dan Terancam Mati.
Namun, meski sukses besar dan menjadi konser metal terbesar sepanjang sejarah kota Pematang Siantar, SUC menghadapi konflik internal. Terdapat perbedaan pendapat tentang penerimaan sponsor dari sebuah perusahaan rokok.
Sebagian anggota SUC tetap konsisten dengan prinsip bahwa dunia musik underground harus bisa berdiri sendiri tanpa sponsor. Sementara itu, beberapa anggota lain melihat bahwa bantuan dari sponsor dapat mendorong kesuksesan acara dan mengembangkan SUC.
Demi terselenggaranya acara, akhirnya sponsor dari perusahaan rokok diterima. Siantar Metal Fest 2011 berjalan sesuai harapan, namun konflik internal tersebut ternyata awal dari berakhirnya SUC.
Kini, Pematang Siantar kehilangan komunitas musik metalnya. Banyak musisi yang sudah tidak aktif, dan Thongat sendiri mengakui dunia musik metal Pematang Siantar mengalami keterpurukan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
"Regenerasi juga menjadi tantangan yang sulit dihadapi," katanya.
Ia menambahkan, "para musisi dan penikmat musik metal kini dapat mengakses informasi melalui internet, sehingga mereka merasa tidak lagi memerlukan komunitas untuk berbagi pikiran tentang musik metal."
"Akibatnya, hubungan emosional tidak lagi sekuat dulu," tambahnya.
Memperkenalkan Kebudayaan Simalungun
Bubarnya SUC bukan tantangan berarti bagi Thongat untuk terus memperjuangkan kelestarian musik metal di Pematang Siantar. Justru, ia menemukan formula baru, yakni memperkenalkan kebudayaan dan musik Simalungun melalui Paku Mati, satu-satunya band metal yang tetap eksis hingga saat ini.
Dengan genre death metal, Paku mati memperkenalkan elemen-elemen khas Simalungun dalam karya-karya mereka. Dua lagu unggulan Paku Mati yang menjadi representasi musik Simalungun adalah Rittick Matemahutur dan Gondang Hamatean.
Keduanya membawa nuansa khas kebudayaan Simalungun, menggabungkan elemen-etnik dengan dentuman musik metal yang kuat.
Thongat memiliki tekad kuat untuk menjaga agar kebudayaan musik Simalungun tidak hilang dalam arus dominasi aliran musik Barat di Nusantara saat ini.
"Sejauh ini, karya-karya kami mendapat respons positif, baik dari sesama musisi di Pematang Siantar maupun dari luar kota," ungkapnya dengan bangga.
Thongat menyadari, keberlanjutan Paku Mati memiliki dampak lebih luas. Jika band ini ikut bubar, persepsi orang luar kota terhadap dunia musik metal di Pematang Siantar mungkin akan pudar.
"Pertimbangannya simpel, jika Paku Mati juga bubar seperti band lainnya, masyarakat luar kota mungkin akan beranggapan bahwa dunia musik metal di Pematang Siantar sudah mati," jelasnya.
Apalagi, Paku Mati menjadi satu-satunya band asal Pematang Siantar yang pernah berbagi panggung dengan Sepultura, salah satu band terkemuka bergenre heavy metal dari Brazil.
Pengalaman ini menjadi suatu pencapaian yang membanggakan dan mengukuhkan posisi Paku Mati dalam kancah musik metal, tidak hanya di tingkat lokal, tetapi juga internasional.
Menyatukan Berbagai Jenis Seni
Pada tahun 2014, Thongat membuat keputusan bersejarah dengan menggelar konser lokal metal yang dikenal dengan sebutan Siantar Extreme Fest.
Acara ini tidak hanya dimaksudkan sebagai sarana hiburan semata, tetapi lebih dari itu, menjadi wahana untuk merangkul kembali musisi dan penggemar musik metal, serta membangkitkan semangat berkolaborasi.
Panggung ini tidak lagi terbatas pada band metal saja, tetapi menjadi wadah bagi beragam ekspresi seni, termasuk aliran musik pop, punk, rock, pop, seni tari, seni lukis, dan pembacaan puisi.
Setiap band yang diwajibkan tampil membawakan karya orisinal mereka, menjadikan Siantar Extreme Fest sebagai ajang yang mempromosikan kualitas dan keaslian.
Bagi Thongat, Siantar Extreme Fest adalah bukti bahwa dunia musik metal di Pematang Siantar mampu menyatukan dan merangkul berbagai bentuk seni.
Inisiatif yang awalnya ditujukan untuk mempertahankan semangat musik metal, kini telah berkembang menjadi perayaan inklusif seni dan budaya dan memperkaya keberagaman.
Menepis Stereotip Satanisme
Thongat membeberkan tantangan lain menjadi musisi dan penggemar musik metal yang selalu dikaitkan dengan stereotip satanisme atau kelompok musik yang berideologikan setan.
Thongat mengakui, sebagian band metal di Barat memang terlibat dalam tindakan kontroversial, seperti ritual satanisme dan bahkan membakar gereja sebagai bagian dari pertunjukan mereka.
Namun, ia menegaskan bahwa stereotip tersebut tidak dapat digeneralisasi untuk semua genre metal.
"Setiap genre metal di Barat memiliki ciri khasnya sendiri. Beberapa band black metal, seperti Dimmu Borgir, mungkin mengusung tema satanisme, tetapi tidak semua band metal melakukan hal tersebut," jelasnya dengan hati-hati.
Thongat menyoroti perbedaan konteks budaya antara Barat dan Indonesia, khususnya Pematang Siantar.
Ia menekankan, di Pematang Siantar, musisi metal memiliki pemikiran yang lebih berorientasi pada nilai-nilai ketimuran yang menghindarkan mereka dari melakukan tindakan yang menentang agama dan ilegal.
"Di sini, kita tidak memiliki band metal yang melakukan ritual satanisme atau tindakan kontroversial seperti itu. Setiap tempat memiliki karakteristiknya sendiri," tegasnya.
Meskipun Thongat mengakui bahwa beberapa band black metal di masa lalu mungkin pernah melakukan ritual aneh, namun ia menilai bahwa perilaku semacam itu tidak bertahan lama karena dianggap aneh oleh komunitas.
Untuk meneguhkan keyakinan musik metal jauh dari sanatisme, Thongat bercerita tentang dirinya yang sering sebagai seorang pendakwa, sesuatu yang bertolak belakang dengan sanatisme.
Apalagi, ia menerangkan, "saat ini, mayoritas musisi dan penggemar musik metal di Pematang Siantar adalah individu kreatif dan berpendidikan."
Thongat juga menyoroti sejarah musik metal di Pematang Siantar yang dimulai pada masa Orde Baru. Pada waktu itu, anak-anak muda sering dilarang berkumpul, tetapi musik metal menjadi penghubung yang menyatukan mereka.
"Para penggerak pertama yang mengenalkan musik metal di Pematang Siantar kebanyakan mahasiswa yang memiliki pemikiran kritis," ungkapnya.
Ia menjelaskan bahwa musisi metal di Pematang Siantar seringkali menciptakan lirik-lirik yang mencakup isu-isu politik, kemanusiaan, dan kontemplatif.
Dengan cara ini, mereka berusaha mengungkapkan emosi melalui musik, bukan melalui perilaku destruktif. Thongat menegaskan, musik metal dapat menjadi wadah untuk mengekspresikan pemikiran dan perasaan yang mendalam.
Wahyu Lubis (29) pendiri band metal Metalitikum yang saat ini sedang vakum juga mengunkapkan hal yang sama. Ditemui PARBOABOA, ia sedang memutar lagu To the Hellfire dari Lorna Shore, sebuah band metal asal Amerika yang tengah populer.
Ia mengatakan, lagu tersebut menggambarkan tentang kematian, sambil menegaskan tidak ada tendensi ke arah sanatisme.
"Lagu metal ini sedang populer, liriknya menggambarkan keyakinan bahwa kematian adalah akhir penderitaan," jelas Wahyu.
Wahyu melanjutkan dengan memutar lagu lain, Dark Era karya Revenge The Fate, sebuah band metal asal Indonesia. Lagu ini membahas isu humaniora dengan menyentuh sisi gelap dari kemajuan teknologi.
Ia juga menjelaskan pandangannya tentang musik metal. Awalnya, dia mengaku tidak tertarik pada aliran ini dan bahkan menganggapnya kurang memiliki nilai seni.
Namun, setelah mendengarkan berbagai lagu metal, dia merasakan energi yang berbeda dan menemukan kebebasan berekspresi dalam musik tersebut.
"Saya awalnya kurang tertarik dengan metal karena saya pikir tidak ada nilai seni di dalamnya. Tapi setelah saya mendengarkan lebih banyak lagi, saya merasakan sesuatu yang berbeda. Metal memberikan kebebasan berekspresi," ungkapnya.
Bagi Wahyu, musik metal bukan hanya sekadar aliran musik, tetapi juga merupakan medium untuk menyuarakan perasaan dan berbagi kisah hidu yang penuh misteri.
Kolaborasi
Sementara itu, musisi tradisional asli Pematang Siantar, Fhani Yosua Sitorus, atau yang akrab disapa Diknal, memberikan pandangan uniknya tentang daya tarik musik metal.
Meski memiliki latar belakang musik tradisional, Diknal mengakui bahwa musik metal memiliki kekuatan tersendiri untuk menyentuh emosi secara mendalam.
"Musik metal memiliki lirik-lirik yang sangat mendalam dan mampu menarik perhatian pendengar. Bagi saya, kualitas lirik sangat penting," ungkap Diknal.
Dengan pengalamannya, Diknal memberi saran kepada musisi metal di Pematang Siantar untuk menjaga kualitas lirik mereka.
Menurutnya, meskipun musik metal mungkin dianggap tidak masuk akal oleh beberapa orang, lirik yang berkualitas dapat membuat lagu-lagu tersebut layak didengar.
Ia melihat ada potensi besar dalam menggabungkan musik metal dengan elemen-elemen elektronik, yang bisa memberikan dimensi baru pada genre tersebut.
"Dengan semakin meluasnya platform digital, musik metal memiliki kesempatan untuk lebih terpublikasi dan memperluas jangkauan," tambahnya.
Ia menekankan bahwa para musisi senior harus memberikan dukungan dan ruang bagi generasi baru yang tertarik dengan musik metal, bukan hanya fokus pada musisi yang sudah berpengalaman.
"Kolaborasi antar-musisi, terutama yang melibatkan mereka yang baru mengenal musik metal, sangat penting untuk menjaga keberlanjutan dunia musik metal di Pematang Siantar," jelasnya.