Jokowi Disebut Tidak Tegas Menolak Penundaan Pemilu 2024

Jokowi (foto:BPMI Setpres)

PARBOABOA, Jakarta - Wacana penundaan pemilu 2024 sampai minggu ini masih menjadi topik hangat dari dunia politik. Pasalnya, beberapa perdebatan dari berbagai kalangan elit politik dan juga partai politik masih terus bergulir.

Sebelumnya, wacana penundaan pemilu 2024 ini pertama kali di cetuskan oleh Wakil Ketua DPR RI daru fraksi PKB Muhaimin Iskandar atau lebih akrab di sapa Cak Imin dengan dalih pertumbuhan ekonomi membutuhkan kestabilan politik. 

Wacana ini juga di tanggapi oleh Wakil Ketua PBNU, Nusron Wahid yang mengatakan harus berpatokan pada konstitusional. Menurut beliau, munculnya wacana ini adalah hal yang lumrah dalam negara demokrasi.

“Semua usulan itu baik dan pasti ada alasan yang baik juga, ya boleh saja, inikan demokrasi,” ucap Nusron.

Akan tetapi, penolakan juga banyak datang dari berbagai pihak terhadap wacana tersebut. Salah satunya dari Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid yang mempertanyakan komitmen Presiden Jokowi terhadap konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan sumpah Presiden yang ada dalam pasal 9 UUD NRI 1945. Beliau juga mengatakan,Presiden harus bersikap tegas menolak usulan ini karena di nilai akan mencemari konstitusi yang berlaku.

Lantas bagaimana ketegasan dari Presiden Jokowi  mengenai wacana ini?

Presiden Jokowi akhirnya buka suara mengenai usulan tersebut. Namun, beliau tidak menolak usulan penundaan pemilu 2024 dengan dalih usulan itu juga bagian dari demokrasi.

“Siapapun bisa saja menusulkan wacana penundaan pemilu dan peepanjang (nas jabatan presiden), menteri atau partai politik karena ini bagian demokrasi, jadi bebas saja berpendapat,” ujarnya.

Kemudian dia juga mengatakan “Kita bukan hanya taat dan tunduk, tetapi juga patuh pada konstitusi”.

Pernyataan Jokowi tersebut pun mendapat kritik dari berbagai partai politik, salah satunya dari Partai Demokrat. Jokowi dinilai tidak tegas dalam menolak usulan tersebut.

Mereka menyebutkan jika Jokowi selalu mematuhi konstitusi, maka akan menerima apabila perpanjangan masa jabatan diubah oleh elit politik di MPR. Hal itulah yang dinilai tidak adanya ketegasan Jokowi dalam menolak usulan tersebut dan juga pernyataannya dianggap mengambang.

Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti berpendapat bahwa tidak sulit untuk mengubah jadwal pemilu dalam UUD 1945 karena hanya membutuhkan kesepakatan partai politik untuk menggelar sidang istimewa MPR, lalu mengamandemen pasal dalam UUD 1945.

Akan tetapi, pembatasan kekuasaan melalui pemilu yang terjadwal setiap 5 tahun menjadi landasan moral yang dipahami oleh elite politik, sehingga hal ini menjadi hambatan dan tidak mudah untuk mengubah UUD 1945.

“Konstitusi adalah gagasan tentang pematasan kekuasaan. Apabila dilanggar, makan demokrasi kita akan hancur,” ucap Bivitri.

 

 

Editor: -
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS