Kasus Represifitas Mahasiswa UST Jogja, KIKA: Ini Pembungkaman Kebebasan Berekspresi!

Salah satu mahasiswa yang terluka saat aksi menuntut kebebasan berpendapat di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta. (Foto: Instagram/ @socialmovementinstitute)

PARBOABOA, Jakarta – Beberapa waktu lalu, pada Jumat (29/9/2023) terjadi aksi mahasiswa di Kampus Sarjanawiyata Taman Siswa (UST), Yogyakarta yang berbuntut represifitas dari pihak kampus.

Aksi itu bermula dari tuntutan mahasiswa akan kebebasan berekspresi di lingkungan kampus, setelah pelarangan untuk mengadakan diskusi bersama mantan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan.

Dalam aksi tersebut, mahasiswa yang semula ingin mengajukan pendapatnya mendapat kekerasan dari pihak kampus dan beberapa berakhir luka-luka. Sempat juga terjadi penyitaan HP dan KTP milik massa aksi.

Menanggapi hal itu, Satria, Koordinator Kaukus Indonesia Untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menyebut bahwa fenomena ini merupakan bukti bahwa represifitas di kampus angkanya cukup memprihatinkan.

“Kampus sebenarnya harus memberikan ruang yang aman dan bebas untuk mengekspresikan pendapat dalam hal pemikiran dan diskusi-diskusi lain,” tegas Satria ketika diwawancarai PARBOABOA, pada (3/10/2023).

Ia juga menyebut bahwa tindakan represif yang dilakukan pihak kampus tidak bisa ditolerir. Hal penggunaan kekerasan, ancaman, intimidasi seharusnya tidak boleh dilakukan di kampus.

Hal tersebut dikarenakan telah melanggar kebebasan berpendapat juga berekspresi di lingkungan kampus.

Bahkan, ranahnya bisa tidak lagi terhadap pelanggaran biasa, tetapi bisa masuk kategori pidana.

Kebebasan Berpendapat di Kampus yang Memprihatinkan

Sebenarnya, terkait pelarangan diskusi di UST bukanlah hal yang baru. Beberapa universitas seperti UNILA, UI, UGM juga pernah mendapat kekangan dari pihak kampus bahkan berakhir ancaman.

Beberapa waktu yang lalu Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Lampung (Unila) juga sempat mengundang pengamat politik Rocky Gerung untuk melakukan diskusi. Akan tetapi, pihak kampus secara sepihak melarangnya.

Pelarangan terhadap diskusi dengan isu-isu sensitif, menurut Satria merupakan peringatan bagi kampus bahwa institusi pendidikan seharusnya memberikan ruang yang aman dan bebas untuk mengekspresikan kebebasan pemikiran.

Pelarangan ini, menurutnya bisa melanggar kebebasan akademik yang telah diatur dalam norma Hak Asasi Manusia (HAM) yang dibuat oleh Komnas HAM.

Selain itu, juga melanggar Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi.

Terdapat dalam pasal 9 ayat 1 dan 8 ayat 1 yang menyatakan bahwa kebebasan civitas akademika dan Pendidikan Tinggi untuk mendalami dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi secara bertanggung jawab melalui pelaksanaan Tridharma.

Satria menegaskan bahwa aturan tersebut sudah dijamin secara normatik, namun dalam faktanya peristiwa kekerasan yang terjadi di UST menjadi kasus yang menciderai perasaan dan kebebasan berpendapat di lingkungan kampus.

Padahal, menurutnya peran dosen atau pimpiinan perguruan tinggi seharusnya bisa menghormati, melindungi kebebasan akademik di perguruan tinggi bagi semua sivitas akademika di lingkungan kampus.

Peristiwa ini juga mendapat kecaman dari Ikatan Pengabdi Bantuan Hukum (IKBH) Lampung, yang menuntut pihak kampus meminta maaf secara terbuka juga melakukan pengobatan serta pemuliihan psikis mahasiswa terdampak, mengevaluasi oknum pimpinan perguruan tinggi, dan menjalankan prnsip kebebasan akademik di kampus.  

Namun, saat PARBOABOA meminta keterangan mengenai peristiwa represifitas dan pelarangan diskusi yang terjadi, Pardimin, Rektor Universitas Sarjanawiyata Taman Siswa belum juga memberikan balasan hingga berita ini diterbitkan.

Editor: Atikah Nurul Ummah
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS