Identitas yang Terancam: Pergeseran Kesenian Tortor dan Budaya Simalungun di Era Modern

Sultan Saragih dan Raminah Garingging. (Foto: PARBOABOA/David Rumahorbo)

PARBOABOA, Pematangsiantar- Di bawah langit yang mendung, kami mendekati sebuah rumah dengan gerbang setengah terbuka di Kelurahan Siopat Suhu, Siantar Timur, Pematangsiantar, April 2024 lalu. 

Di teras rumah itu, berdiri seorang pria dengan senyuman hangat. Di sampingnya, ada seorang nenek berusia 88 tahun. Keduanya adalah budayawan lokal, Sultan Saragih dan sang Maestro seni, Raminah Garingging.  

Sejenak memandang, di setiap garis wajah nenek Raminah tampak seperti menyimpan kisah-kisah masa lalu yang menggambarkan panjangnya perjalanan hidup yang telah ia lalui. Pandangannya yang lembut memancarkan kebijaksanaan hidup.

Namun begitu, keramahtamahan mereka membuat kami semakin betah. Setelah dipersilahkan duduk, kami menginisiasi untuk memulai percakapan.

Seorang dari kami mengawalinya dengan bertanya tentang tarian khas Simalungun, ‘Tortor’ yang menjadi bagian penting dari kehidupan dan identitas budaya masyarakat setempat.

Sultan Saragih langsung merespons sang kawan. Ia menjawabnya dengan menarasikan antusiasme anak muda terhadap kesenian Trotor.

Menurutnya, kesenian Tortor Simalungun kini mulai kehilangan identitasnya. Kemajuan peradaban dan teknologi mengaburkan keaslian budaya, seiring dengan upaya untuk mengejar ketenaran dan keterviralan.

"Mereka (Generasi saat ini) tidak tau histori tentang tari. Hanya untuk menghiasi sebuah pertunjukan aja," ujarnya.

Bergesernya eksistensi kesenian Tortor tampak jelas dalam ketidakselarasan keinginan saat mengkombinasikan gerakan demi gerakan. 

Generasi muda, cetusnya, masih terjebak dalam keinginan untuk mendapatkan segalanya secara instan. Ia menggambarkan bagaimana generasi muda lebih tertarik untuk memodifikasi gerakan tradisional demi popularitas, tanpa memahami makna mendalam yang terkandung di dalamnya. 

Alhasil, Tortor yang dulunya merupakan simbol identitas dan kebanggaan budaya kini terancam kehilangan jiwanya. Padahal kata Sultan, penting sekali kembali ke akar budaya dan menghargai nilai-nilai yang telah diwariskan turun-temurun.

"Sekarang ini instan. Kapan mau tampil, ayok hajar terus" gelitiknya sambal tertawa.

Memahami dan menghargai akar budaya, lanjutnya, sangat penting sebelum menggabungkannya dengan elemen-elemen modern. Dengan cara ini, perpaduan antara kesenian tradisional dan arus perubahan seni dapat berkolaborasi dengan baik dan harmonis.

"Memodif pun ada susunannya supaya lebih terarah," kata dia.

Ia tak menampik bahwa perubahan zaman memang membawa budaya ke arah yang lebih komersil. Dengan demikian ia tidak menolak sepenuhnya evolusi budaya.

Hanya saja, hal-hal komersil itu harus juga disertai upaya melestarikan dan mempromosikan budaya tersebut ke khalayak yang lebih luas.

Sejurus, nenek Raminah tidak setuju dengan perkembangan Tortor Simalungun saat ini. Ia mengkritik pelaku seni yang seringkali menghilangkan bagian-bagian penting dari tari tradisional dengan dalih inovasi.

Inovasi tersebut, katanya, acapkali mereduksi nilai budaya yang seharusnya dipertahankan.

"Dalam Tortor itu ada runtut cerita. Ini yang tidak diadopsi oleh generasi-generasi muda sekarang ini," pungkasnya.

Pergeseran budaya Simalungun tidak hanya terlihat pada kesenian tari Tortor tetapi juga Ulos. Para petenun tradisional Ulos Simalungun di Pematangsiantar kini menghadapi masalah serius, yaitu kurangnya generasi penerus yang berminat melanjutkan tradisi itu.

Adapun sebagian besar persebaran ulos Simalungun kini telah diambil alih oleh petenun tradisional dari Samosir.

"Dulu petenun tradisional (petenun duduk) ada di lorong satu kiri dan lorong dua, namun petenunnya sudah lama meninggal dan tidak ada yang meneruskan," ungkapnya.

Selain karena tidak adanya regenerasi, proses tenun tradisional yang memakan waktu lama membuat harga jual ulos menjadi mahal. Akibatnya ini kehilangan eksistensinya di tengah tuntutan ekonomi masa kini.

"Di Tiga Runggu, tersisa satu petenun tradisional, sedangkan yang lain memilih bertani karena penghasilan dari tenun tradisional jauh lebih sedikit dibanding Bertani," cetusnya.

Desakan ekonomi ini diakui salah seorang petenun tradisional dari Desa Nagori Tongah, Kelurahan Tigarunggu, Kecamatan Purba, Simalungun, Tiobonar Sinaga.

Ia berhenti menjadi petenun Ulos sejak 4 tahun lalu dan memilih menjadi petani.

"Tidak sesuai gaji kita yang bertenun dari pada di ladang,” ceritanya kepada Parboaboa, Kamis (1/8/2024)

Apalagi, di usianya yang telah memasuki kepala enam, ia merasa tidak lagi mampu bertenun. Baginya, mengolah lahan pertanian lebih menguntungkan dibandingkan bertenun.

"Gak tahan lagi aku martonun (bertenun). Karena duduk itu terus, minum pun kurang. Sakit lah pinggang," ucapnya.

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS