PARBOABOA, Jakarta - John Bala, seorang aktivis masyarakat adat dan Dewan Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), merespons tuduhan publik yang menyebut dirinya sebagai provokator. Menurutnya, tuduhan tersebut tidak berdasar karena dirinya menjalankan mandat sosial yang diamanatkan oleh masyarakat adat serta keyakinannya sebagai seorang Katolik.
“Saya memahami jika ada yang menyebut saya provokator, tetapi saya hanya menjalankan visi dan misi masyarakat adat, yaitu merevitalisasi dan mereaktualisasi kelembagaan adat di seluruh Nusa Tenggara Timur,” ujar John dalam diskusi publik yang digelar PolisLab bekerjasama dengan media nasional Indonews.id dan Bulir.id belum lama ini.
John sebelumnya dituding provokator saat membela masyarakat adat dalam konflik lahan di Nangahale, Kabupaten Sikka, NTT dengan PT Krisrama milik keuskupan Maumere. Namun, ia menepis sejumlah kecurigaan itu dengan menyebut dirinya bagian dari AMAN, organisasi masyarakat adat yang memiliki 2.700 anggota di seluruh Indonesia.
Organisasi ini, kata dia, didirikan pada 17 Maret 2009 oleh masyarakat Tanah Ai, yang terdiri dari Suku Soge, Natarmage, dan Goba. Dalam AMAN, terdapat struktur kepengurusan mulai dari Pengurus Besar hingga Pengurus Wilayah Nusa Tenggara yang berpusat di Manggarai Timur, Mborong. Organisasi ini aktif juga memperjuangkan hak-hak masyarakat adat, khususnya dalam menghadapi konflik sumber daya alam dan agraria yang kerap terjadi di berbagai daerah.
Perjuangan Panjang Masyarakat Adat dalam Konflik Agraria
Menurut John Bala, hampir seluruh masyarakat adat di Indonesia menghadapi konflik agraria akibat pengambilalihan tanah untuk investasi. Ia mencontohkan perjuangannya bersama masyarakat di Nagekeo dalam konflik Waduk Lambo serta di Pocoleok, Manggarai dalam isu geotermal. John juga terlibat dalam gerakan melawan perdagangan manusia, termasuk upaya membebaskan 13 tenaga kerja dari Jawa Barat yang menjadi korban human trafficking.
Perjuangannya di Nangahale, sebutnya dimulai sejak 1996, ketika ia menemukan 86 kepala keluarga yang terdampak bencana dan mengalami tekanan akibat perluasan kawasan hutan. Sejak itu, ia bersama koalisinya terus mengadvokasi hak-hak masyarakat yang terpinggirkan.
“Kami menemukan mereka dalam kondisi sangat terpuruk, dengan lahan yang terus berkurang akibat ekspansi kawasan hutan sejak 1912, dan semakin diperparah dengan kebijakan tahun 1984,” jelas John.
Upaya masyarakat dalam memperoleh hak atas tanahnya memang menghadapi berbagai tantangan. Misalnya, pada 31 Desember 2013, Hak Guna Usaha (HGU) yang selama ini dikuasai oleh PT Perkebunan Kelapa Diak berakhir. Namun, satu bulan sebelumnya, PT Krisrama mengajukan perpanjangan HGU tanpa memperhitungkan keberadaan masyarakat adat yang telah lama tinggal di wilayah tersebut.
Masyarakat kemudian meminta klarifikasi ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada 2015 dan mendapat tanggapan bahwa laporan mengenai keberadaan mereka tidak pernah diterima dari tingkat bawah.
Lalu, pada 6 Mei 2016, Uskup Kerubin mengundang berbagai pihak untuk berdialog guna mencari solusi. Dalam pertemuan tersebut, disepakati bahwa Bupati akan membentuk tim terpadu untuk menyelesaikan konflik agraria di Tanah Ai. Tim ini terbagi menjadi tiga pokja: pertama, untuk mengidentifikasi masyarakat adat; kedua, untuk meneliti keterkaitan antara masyarakat adat dan tanah yang diklaim; dan ketiga, untuk mendata populasi masyarakat adat yang terdampak.
Namun, hingga 2019, tim ini tidak berjalan dengan baik. Akibatnya, masyarakat tetap dalam ketidakpastian hukum, bahkan mendapat stigma sebagai perampas tanah. John Bala menegaskan bahwa masyarakat adat memiliki hak konstitusional sebagaimana dijamin dalam Pasal 18B UUD 1945 serta Permendagri No. 52 Tahun 2014 yang mengamanatkan pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat oleh pemerintah daerah.
“Sayangnya, hingga kini, pemerintah daerah tidak melaksanakan mandat pengakuan tersebut, yang membuat masyarakat adat terus menjadi korban ketidakadilan,” kata dia.
Ia menegaskan bahwa perjuangannya bukanlah tindakan provokasi, melainkan bagian dari gerakan advokasi hak-hak masyarakat adat yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Oleh karena itu, dirinya berharap ada langkah nyata dari pemerintah dan pihak terkait untuk menyelesaikan konflik yang masih berlarut-larut.
Ia juga menyampaikan, akan terus berjuang untuk masyarakat adat, baik dalam konflik agraria maupun dalam isu-isu kemanusiaan lainnya. Ia mengajak semua pihak untuk memahami perjuangan masyarakat adat sebagai bagian dari hak konstitusional yang harus diperjuangkan secara bersama-sama.
“Kami bukan organisasi yang bergerak tanpa arah. Kami memiliki program yang jelas dan terukur. Kami hanya ingin hak-hak masyarakat adat diakui dan dihormati,” tutupnya.
Diketahui, semula diskusi yang digelar di Kawasan Tebet Jakarta Selatan, Sabtu (22/2/2025) berusaha menghadirkan para pihak yang terlibat konflik, termasuk PT Krisrama. Namun belakangan, pihak Gereja mengaku berhalangan hadir.