PARBOABOA, Medan - AKBP Achiruddin Hasibuan kembali menjalani sidang dengan agenda mendengar keterangan saksi untuk kasus gudang solar ilegal, di Pengadilan Negeri Medan, Senin (24/7/2023).
Jaksa penuntut umum (JPU) Randi Tambunan menghadirkan dua orang saksi dari Kepolisian Daerah (Polda) Sumatra Utara yaitu Achmad dan Herman.
Dalam keterangan dua saksi dari Kepolisian ini mengaku menemukan sejumlah barang bukti yang mengerucut sebagai alat operasional untuk gudang solar tersebut sebelum melakukan penggerebekan dan penyelidikan di gudang yang berlokasi di Jalan Karya Dalam, Kelurahan Helvetia, Kecamatan Medan Helvetia, kota Medan.
Saksi menyebut, penyelidikan itu dilakukan bersama sejumlah perangkat desa.
"Kami temukan ada mobil, tangki duduk dan bahan bakar solar. Sementara izin penyimpanan tidak ada," kata saksi Herman.
Ia juga menyebutkan, terdakwa Achiruddin Hasibuan yang disebut sebagai pengawas dan tidak termasuk sebagai pemilik gudang solar tersebut.
"Terdakwa tidak ada dalam struktur organisasi, tapi terdakwa (AKBP Achiruddin Hasibuan) merupakan pengawas di PT Almira," ujarnya.
Berdasarkan aturan hukum yang berlaku, lanjut Herman, keberadaan gudang solar tersebut tidak diperbolehkan dalam hukum. Karena, kata dia, semestinya setelah diambil dari Pertamina, BBM harus didistribusikan langsung ke masyarakat dan tidak boleh ada penyimpanan atau penimbunan.
"Tidak boleh ada penyimpanan. Jadi, tidak ada izin penyimpanan," ungkap Herman.
Setelah mendengarkan keterangan dari saksi-saksi tersebut, majelis hakim yang diketuai Oloan Saragih kemudian menunda sidang tersebut hingga pekan depan.
Pada Selasa (18/7/2023) lalu, AKBP Achiruddin Hasibuan, Direktur PT Admira, Edy dan satu orang karyawan bernama Paralin menjalani sidang perdana kasus gudang solar ilegal di Pengadilan Negeri Medan, Sumatra Utara, .
Dalam sidang tersebut, Jaksa penuntut umum (JPU) Randi H. Tambunan mendakwa AKBP Achiruddin, Edy dan Paralin terlibat di kasus gudang solar ilegal.
AKBP Achiruddin disebut melanggar Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang diubah dengan Pasal 40 angka 9 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Adapun bunyi dari pasal itu "Setiap orang yang menyalahgunakan pengangkutan dan/atau niaga bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan/atau Liquefied Petroleum Gas yang disubsidi Pemerintah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling tinggi Rp60 miliar".
Editor: Kurniati