Lapangan Merdeka Jadi Saksi Bisu Perlawanan Pemuda Pematang Siantar Kepada Belanda

Bentuk Pagoda sebelum diubah menjadi Monumen Perjuangan pada tahun 1977. Foto Pagoda dapat dilihat di Museum Nasional di Jakarta dan di Perpustakaan dan Arsip Kota Pematang Siantar. (Dokumentasi Perpustakaan dan Arsip Kota Pematang Siantar)

PARBOABOA, Pematang Siantar - Berjalan santai bersama keluarga atau pasangan di pagi hari terutama di akhir pekan menjadi pemandangan yang lumrah dijumpai di Lapangan Merdeka, Kota Pematang Siantar, Sumatra Utara.

Suasana yang asri dan udara yang segar membuat pengunjung betah mengitari ruang terbuka hijau tersebut.

Lapangan Merdeka saat ini menjadi ruang publik yang paling dinikmati masyarakat Pematang Siantar, baik untuk berolahraga, atau sekedar bersantai.

Lapangan yang juga memiliki taman bunga ini diapit berbagai jalan protokol di sepanjang sisinya.

Di sisi timur, lapangan tersebut diapit Jalan Merdeka, sisi barat ada Jalan WR Supratman dan di Selatan, diapit Jalan Sudirman.

Lapangan Merdeka juga memiliki trotoar lebar yang memudahkan pejalan kaki berjalan di atasnya.

Bangku-bangku taman dengan desain antik juga terpasang di beberapa sisinya. Bangku taman yang dibangun sekitar 2018 ini menjadi pilihan warga untuk bersantai menikmati suasana kota Pematang Siantar, pagi, sore atau malam hari.

Di siang hari sering terlihat pelajar memenuhi bangku taman tersebut, menunggu angkutan umum untuk mengangkut mereka pulang ke rumah masing-masing.

Di depan Lapangan Merdeka, berdiri megah Balai Kota Pematang Siantar.

Keistimewaan lainnya yang dimiliki Lapangan Merdeka adalah monumen dengan ciri khas ornamen Batak Toba yang di atasnya terdapat patung Tiga Pejuang.

Sejarawan dari Universitas Simalungun, Jalatua Habungaran Hasugian mengungkapkan sejarah dari Lapangan Merdeka yang bisa disebut sebagai salah satu peninggalan Pemerintah Belanda di Pematang Siantar.

Pada 1907, wilayah di sekitar lapangan dijadikan kota administratif (gemeente) Kota Pematang Siantar dan komplek perkantoran (controleur) Belanda seiring masuknya perkebunan ke Simalungun.

"Lapangan tersebut dijadikan esplanade (alun-alun kota) setelah kantor kota administratif selesai dibangun tepat di depan lapangan pada tahun 1920, yang sekarang sebagai Balai Kota Pematang Siantar dan fungsi lapangan sebagai tempat upacara dan kegiatan hari besar pemerintah Belanda, semua pembangunan untuk tuan-tuan perkebunan beraktivitas," katanya.

Pada 1945, Pemerintah Belanda berusaha merebut kembali kekuasaan dari Jepang di Pematang Siantar dan menjadikan Siantar Hotel yang berada di belakang lapangan sebagai markas.

"Lapangan ini dijadikan Belanda sebagai salah satu basis pertahanan dengan membangun bunker di bawahnya dan menghubungkan Siantar Hotel dengan Pabrik Es," katanya.

Di sisi lain dari lapangan, pemuda Pematang Siantar mendirikan sebuah pagoda, yang dijadikan sebagai pos pemantau Pemuda Pematang Siantar-Simalungun melihat tentara KNIL (Koninklijke Nederlands (ch)-Indische Leger (KNIL)) yang berada di Siantar Hotel.

"Itulah kenapa dulunya lapangan ini juga disebut sebagai Lapangan Pagoda," kata Jalatua.

Lapangan Pagoda juga menjadi wilayah demarkasi pejuang Indonesia dengan tentara Belanda pada 1945. Pada 27 September 1945, terjadi peristiwa Polinesial, yaitu peristiwa pertempuran antara tentara Belanda dan Pemuda Pematang Siantar saat pengibaran Bendera Merah Putih, setelah mendengar Indonesia merdeka.

"Pergantian nama menjadi Lapangan Merdeka pada tanggal 27 September 1945, sejalan dengan berkibarnya Merah Putih di Kota Pematang Siantar,” ujarnya.

Selain Peristiwa Polinesial di 1945, Lapangan Merdeka juga menjadi saksi sejarah pemuda Pematang Siantar melawan Agresi Militer II pada 1948.

"Dan pada 1977, nama pagoda diganti menjadi Monumen Perjuangan," jelasnya.

Jalatua menjelaskan, pergantian Pagoda menjadi Monumen Perjuangan 1945, diprakarsai dan dibangun oleh Wali Kota Sanggup Kataren bersama Pemkab Simalungun pada 1977, serta diresmikan Gubernur Sumatera Utara (Gubsu), Marah Halim pada tanggal 1 Februari 1978.

"Alasan perubahan Pagoda ke monumen perjuangan hingga kini kita belum bisa menemukan alasan atau dokumen otentik yang menyatakan pergantian ini dikarenakan apa, itu kelemahan kita, ini masih kita cari," ungkapnya.

Jalatua mengungkapkan, untuk melihat jejak dan bentuk Pagoda di Lapangan Merdeka dapat dilihat di Museum Nasional di Jakarta dan Perpustakaan dan Arsip Kota Pematang Siantar.

"Sekarang kita hanya bisa melihat fotonya (Pagoda) di Museum Nasional di Jakarta dan di Perpustakaan dan Arsip Kota Pematang Siantar, sebab hanya itu yang kita punya peninggalan untuk mengenang Jejak keberadaan Pagoda tersebut, namun di perpustakaan seperti dibatasi untuk melihatnya," ungkap dia.

Kondisi Lapangan Merdeka menjadi salah satu ruang publik paling diminati masyarakat Pematang Siantar, baik untuk olahraga maupun bersantai. (Foto: PARBOABOA/Putra) 

Lapangan Merdeka juga mengalami perubahan fungsi pascaotonomi daerah, sekitar 1957-1960.

"Setelah pemerintahan daerah kembali berjalan, Lapangan Merdeka tetap difungsikan sebagai tempat upacara dan kegiatan lainnya," katanya.

Pada 1991, Lapangan Merdeka lantas dikomersilkan dan dilelang perawatannya kepada pihak ketiga dan membuat peruntukannya tidak sesuai dengan semangat memperjuangkan kemerdekaan dan peristiwa yang terjadi di lapangan tersebut.

"Sehingga sejak tahun 2018, pengelolaannya langsung di bawah dinas permukiman dan taman (PRKP) sebagai taman terbuka hijau (THR) dan penambahan fasilitas publik secara berkala," jelas Jalatua.

Lapangan Merdeka juga dulunya dikelilingi tembok besar. Namun di era Wali Kota Hefriansyah Noor, tembok tersebut dirobohkan menjadi ruangan terbuka. Sejumlah fasilitas seperti ayunan anak-anak, perosotan, trek olahraga, bangku antik dan lampu taman juga dibangun pemerintah saat itu.

"Pejabat yang menginisiasi adalah Kepala Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Reinward Simanjuntak, tujuannya agar ada kepedulian dari masyarakat untuk menjaga keamanan fasilitas di situ," jelasnya.

Jalatua mengaku kecewa terhadap ketidakpedulian Pemko Pematang Siantar untuk meningkatkan gairah historis keberadaan Pagoda yang menjadi saksi bisu perjuangan kemerdekaan Indonesia bagi generasi muda.

"Meski punya nilai historis, ironis tidak ada upaya Pemko Pematang Siantar untuk membangkitkan gairah atas keberadaan Pagoda tersebut, belum lagi dengan bangunan yang lain yang terbengkalai dan sudah hilang jejaknya, menjadi potensi kawasan cagar budaya, kita (masyarakat) tidak ada melihat upaya tersebut," kesalnya.

Kekecewaan LVRI Akan Pembongkaran Pagoda

 Bentuk Monumen Perjuangan 1945. Pergantian Pagoda menjadi Monumen Perjuangan 1945, diprakarsai dan dibangun oleh Wali Kota Sanggup Kataren bersama-sama dengan Pemkab Simalungun pada tahun 1977, serta diresmikan Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) Marah Halim pada tanggal 1 Februari 1978.| Putra (Foto: PARBOABOA/Putra) 

Selain Ahli Sejarah, Ketua Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Kota Pematang Siantar, Kapten Purnawirawan Kartiman Marbun, juga mengaku kecewa kepada Pemerintah Kota Pematang Siantar yang terkesan menghapus catatan sejarah dibongkarnya Pagoda tersebut.

"Tidak ada (catatan sejarah) alasan yang disampaikan sehingga pergantian tersebut hingga saat ini menjadi bias di kalangan masyarakat. Namun itu sebagai saksi bisu perjuangan kami, walaupun pada akhirnya diganti dengan Monumen Perjuangan 1945, hanya saja jangan dibongkar Tugu Pagoda, karena itu salah satu ikon kota (Pematang) Siantar," katanya.

Ia mengimbau Pemko Pematang Siantar menghidupkan kembali keberadaan Tugu Pagoda sebagai saksi sejarah penumpasan tentara Belanda di Siantar yang perlu dijaga dan dilestarikan.

"Sekarang kita tidak bisa paksakan bangunan itu dibuat kembali, tapi kita ingin dihidupkan ke generasi muda bahwa di tengah Lapangan Merdeka ada Tugu Pagoda yang menjadi saksi pertumpahan darah pejuang kemerdekaan, baik melalui Peristiwa Polinesial dan Siantar Hotel Berdarah pada 27 September hingga 15 Oktober 1945, tapi saat ini tidak ada sama sekali," kesalnya.

Editor: Kurniati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS