PARBOABOA, Jakarta – Keputusan Mahfud MD mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), rupanya sudah dipersiapkan.
Pasalnya, rencana ini sempat diisyaratkan saat menghadiri sebuah kampanye di Semarang, Jawa Tengah.
Langkah tersebut pun nyata ketika calon wakil presiden pendamping Ganjar Pranowo itu, secara resmi menyerahkan surat pengunduran diri kepada Presiden pada Kamis (1/2/2024) lalu.
Menjaga netralitas sebagai cawapres, menghindari konflik kepentingan dan intervensi politik, merupakan alasan utamanya.
Menurut Pengamat Politik, Ujang Komarudin, keputusan ini tidak jauh dari strategi menyongsong kontestasi Pilpres 2024.
Mahfud disebut ingin menciptakan momentum untuk mengejar ketertinggalan elektabilitas dari dua pasangan calon (Paslon) lainnya, yaitu Prabowo-Gibran dan Anies-Muhaimin (AMIN).
Dalam jajak pendapat beberapa lembaga survei, elektabilitas Ganjar-Mahfud memang tertinggal jauh dari Prabowo-Gibran, bahkan telah disalip oleh pasangan AMIN yang semula menempati posisi buntut.
Menyadari kondisi ini, Mahfud pun mengambil langkah mundur sebagai isu yang bisa ‘dijual’ ke rakyat, ditambah dengan narasi korban politik untuk mendulang antipati publik.
Selain itu, tujuan lainnya adalah untuk menghindari kesan jeruk makan jeruk di dalam pemerintahan. Sehingga dirinya bisa leluasa mengkritik pemerintah tanpa dibebani embel-embel jabatan Menko Polhukam.
Sementara Direktur Eksekutif Institute for Democracy & Strategic Affairs (Indostrategic), Ahmad Khoirul Umam, membaca pengunduran diri Mahfud MD sebagai bentuk mosi tidak percaya terhadap kredibilitas Presiden Jokowi.
Jika Mahfud benar-benar memegang informasi akurat soal ketidakberesan praktek bernegara sebagaimana yang diserukan selama ini, maka dapat menjadi momentum menaikan elektabilitas.
Sekurang-kurangnya, kata Umam, ia punya legitimasi dan lebih leluasa membongkar kebobrokan itu dari luar pemerintahan karena tidak lagi terikat dengan jabatannya.
Namun sebaliknya, jika informasi-informasi tersebut tidak akurat, impilikasinya juga akan berpengaruh terhadap merosotnya elektabilitas.
Umam menilai, keputusan Mahfud juga sebenarnya mewakili sikap PDIP yang jauh-jauh hari telah menyerukan perang terbuka terhadap presiden.
Sekarang giliran PDIP untuk menunjukkan konsistensi, terutama apakah keputusan Mahfud akan diikuti oleh menteri dari kader-kader PDIP. Jika tidak, maka komitmen dan konsistensi partai tersebut akan dipertanyakan.
Patuh etika
Pakar Politik Prof. TB Massa Djafar justru menilai pengunduran diri Mahfud MD dari Menko Polhukam sebagai bentuk pertanggungjawaban moral dan sikap patuh etika yang perlu diapresiasi.
Menurutnya, tindakan ini seharusnya diikuti oleh pejabat publik yang lain termasuk Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto yang juga merupakan calon presiden sehinga netralitas benar-benar terjamin.
"Mereka menteri, pejabat publik, harus netral atau tidak menggunakan atribut dan fasilitas negara dalam kegiatan kampanye," terang Djafar kepada PARBOABOA, Jumat (2/2/2024).
Djafar menerangkan, pejabat publik peserta pemilu yang tidak mengundurkan diri dari jabatannya merupakan bentuk penyimpangan kekuasaan, melanggar aturan main serta etika politik pemilu.
Termasuk pejabat publik sekelas presiden kata Djafar, ia harus bisa menempatkan dirinya sebagai penengah dengan tidak memihak pada salah satu pasangan calon.
Djafar mengatakan, kekuasaan pejabat publik rentan disalahgunakan sehingga dapat memengaruhi proses demokrasi dengan memberikan fasilitas dan dukungan politik pada calon yang ia usung.
Karena itu, pengunduran diri Mahfud menurut Djafar merupakan suatu hal yang sangat wajar, berterima secara akal sehat, sesuai dengan etika dan norma hukum.
"Jika itu terkesan sebagai suatu strategi, bergantung sudut pandang yang melihat dan kepentingan melatari sikap atau tindakan politik seseorang. Yang penting apapun tindakan seseorang tidak boleh keluar dari hukum, aturan main," tegasnya.