PARBOABOA, Pematang Siantar - Pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menilai, masih tingginya angka kecelakaan di setiap perlintasan sebidang kereta api menjadi pengingat masyarakat untuk memprioritaskan perjalanan kereta api.
“Karena laju ular besi ini tidak bisa diberhentikan mendadak, karena bisa berdampak fatal dan berpotensi mengalami gangguan perjalanan,” katanya kepada PARBOABOA Senin (24/7/2023).
Djoko meminta masyarakat memprioritaskan perjalanan kereta api sebelum memberikan prioritas lain, seperti kendaraan pemadam kebakaran yang sedang menjalankan tugas, ambulan mengangkut orang sakit, kendaraan untuk memberikan pertolongan kecelakaan lalu lintas, kendaraan kepala negara atau pemerintahan asing yang menjadi tamu negara, iring-iringan pengantar jenazah.
Termasuk konvoi pawai atau kendaraan orang cacat, dan kendaraan yang penggunaannya hanya untuk keperluan khusus atau mengangkut barang-barang khusus.
“Kendaraan presiden sekalipun harus berhenti bila melewati perlintasan sebidang dan ada kereta yang hendak lewat,” katanya.
Menurutnya, kereta yang sedang melaju tidak bisa seketika berhenti. Hal itu, berdasarkan uji coba kereta dengan bobot antara 280 ton hingga 350 ton yang melaju dengan kecepatan 45 kilometer per jam, memerlukan jarak berhenti setelah pengereman sepanjang 130 meter.
“Jarak berhenti tersebut akan semakin menjauh jika kecepatan kereta lebih tinggi. Misalnya, kereta dengan bobot yang sama akan melaju 120 kilometer per jam membutuhkan jarak berhenti sampai 860 meter,” ucapnya.
Djoko menjelaskan, kecelakaan kereta api tidak terlepas dari perilaku pengguna jalan. Terlebih pengguna jalan tidak mematuhi aturan yang berlaku.
“Itulah mengapa, pentingnya sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat dan harus terus dilakukan sebagai bentuk pencegahan,” ujarnya.
Ia berharap, adanya pertimbangan untuk pemasangan videotron di perlintasan padat lalu lintas. Nantinya, videotron tersebut menayangkan sosialisasi dan bahaya pelanggaran di perlintasan sebidang.
“Perlu pertimbangan memasang videotron yang menunjukkan kejadian dan bahaya akibat melanggar aturan di perlintasan sebidang supaya masyarakat yang melihat tahu risiko yang akan mereka tanggung kalau melanggar,” ungkapnya.
Di sisi lain, Djoko juga meminta pemerintah daerah agar menyusun rencana aksi keselamatan daerah.
Seperti, membuat jalan atau jalur layang supaya tidak ada lagi perlintasan kereta api sebidang, terutama di titik-titik yang rawan kecelakaan.
Regulasi Terkait Kereta Api
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, menyebutkan perlintasan harus dibuat tidak sebidang, kecuali dapat menjamin keselamatan dan kelancaran kereta api dan lalu lintas jalan, perlintasan harus berizin dari pemilik prasarana.
Sementara Pasal 114 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, menyebutkan pada perlintasan sebidang antara jalur kereta api dan Jalan, pengemudi kendaraan wajib berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kereta api sudah mulai ditutup, dan/atau ada isyarat lain.
Di pasal tersebut juga disebutkan jika pengemudi kendaraan wajib mendahulukan kereta api dan memberikan hak utama kepada kendaraan yang lebih dahulu melintasi rel.
Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api disebutkan bahwa pemakai jalan wajib mendahulukan kereta api.
“Regulasi ini menyebutkan, palang perlintasan pada perpotongan sebidang berfungsi untuk mengamankan perjalanan kereta api dan bukan mengamankan pengguna jalan. Jika terjadi kecelakaan pada perlintasan ini, hal itu bukan kecelakaan perkeretaapian, melainkan kecelakaan lalu lintas jalan. Maka dari itu, setiap pengguna jalan wajib mematuhi semua rambu-rambu di perpotongan sebidang untuk menjaga keamanan kereta api dan lalu lintas jalan,” jelas Djoko.
Kemudian di Pasal 110 ayat 4 di aturan yang sama, menyebutkan pintu perlintasan untuk mengamankan perjalanan kereta api, bukan sebagai pengaman pengguna jalan.
Sementara pada pasal 296 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, menyebutkan dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak Rp 750 ribu.
Djoko menambahkan Kondisi perlintasan sebidang sekarang ini berupa perlintasan berpintu yang dijaga oleh swadaya masyarakat, dinas perhubungan dan PT KAI.
Sedangkan di perlintasan liar, tidak dijaga di bawah flyover dan perlintasan tidak berpintu dijaga oleh masyarakat.
Menanggapi hal ini, Humas PT KAI Divisi Regional Sumatra Utara, Anwar Solikin mengatakan, kewenangan penanganan dan pengelolaan perlintasan antara jalur kereta api dan jalan dipegang pemilik jalan atau pemerintah setempat. Hal itu sesuai Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 94 Tahun 2018.
“Pengelolaan untuk perlintasan sebidang yang berada di jalan nasional dilakukan oleh menteri, gubernur untuk perlintasan sebidang yang berada di jalan provinsi dan bupati/wali kota untuk perlintasan sebidang yang berada di jalan kabupaten/kota dan desa,” ungkapnya.
Sementara Kepala Bidang Perhubungan Darat Dinas Perhubungan Pematang Siantar, Sarifuddin mengaku jika dalam rencana strategis (renstra) untuk lima tahun kedepan tidak ada rencana kerja maupun anggaran untuk penambahan palang untuk keamanan di perlintasan sebidang.
“Belum ada di renstra dan anggaran untuk menambah sarana dan prasarana di perlintasan sebidang,” katanya.
Sarifuddin meminta masyarakat lebih berhati-hati saat melewati jalan sebidang, karena saat ini Dishub belum bisa menambah palang di setiap perlintasan sebidang.
“Untuk saat ini, kita belum bisa menambah palang di setiap perlintasan sebidang kereta api. Jadi masyarakat yang melintasi perlintasan sebidang harap lebih berhati-hati dan lebih peka ketika kereta api akan lewat,” imbuhnya.