Membaca Oligarki, Merawat Demokrasi

Suasana Kelas Sekolah Jurnalisme Parboaboa di Pematangsiantar. (Foto: PARBOABOA/P. Hasudungan Sirait)

PARBOABOA, Pematangsiantar - Dengan gaya bicara yang tenang, Dimpos Manalu menggiring peserta Sekolah Jurnalisme Parboaboa masuk ke ruang berpikir mendalam. Dosen Universitas Nommensen Medan ini membentangkan peta kekuasaan agar dibaca dengan nalar tajam.

Pagi itu ia membawakan materi ‘Oligarki dan Wajah Demokrasi Kita'. Tak hanya mengurainya, ia turut menghadirkan filsafat sebagai jalan untuk memahami kenyataan. Ia menginginkan pendidikan jurnalisme ini bukan sekadar tempat belajar menulis, tetapi juga ruang menumbuhkan kesadaran kritis di benak generasi muda.

"Wartawan adalah salah satu intelektual publik. Tokoh-tokoh bangsa kita dulu para penulis dan suka membaca. Mereka juga pernah menjadi jurnalis," terangnya kepada para peserta di ruang kelas, Selasa (15/5/2025).

Bagi Dimpos, tema seperti oligarki dan demokrasi tak seharusnya dijauhkan dari ruang belajar anak muda. Justru karena topik itu menyentuh langsung persoalan hidup bersama—siapa yang berkuasa, siapa yang mengatur narasi, dan siapa yang menanggung akibatnya. Baginya penting membicarakan hal-hal mendasar semacam ini sejak dini.

Materi yang ia sampaikan tidak dimulai dari teori kaku, melainkan dari pengalaman sehari-hari. Kekuasaan tidak selalu berbentuk institusi besar, terkadang ia hadir dalam relasi yang tampak biasa namun menyimpan ketimpangan. Demokrasi bukan sekadar pemilu, tetapi juga soal apakah seseorang punya ruang bersuara dan didengar.

"Dengan cara itu, para peserta tidak hanya diajak memahami istilah-istilah, tetapi diajak mengenali gejala," jelasnya pada Parboaboa saat ditanya cara menyampaikan topik oligarki dan demokrasi kepada anak muda.

Dimpos membawa para peserta melihat ulang dunia di sekitar mereka. Dari perihal bagaimana keputusan dibuat, siapa yang diuntungkan, siapa yang disingkirkan. Baginya, itu jalan masuk membentuk kepekaan jurnalis yang tak hanya menulis fakta, tetapi juga berani membuka kenyataan yang sering disembunyikan.

Di tengah arus politik yang dikendalikan elite, Dimpos tetap memandang jurnalisme sebagai ruang yang belum tertutup sepenuhnya.

"Justru dalam situasi seperti inilah, saya melihat peluang bagi jurnalisme untuk berperan sebagai alat perlawanan yang bermakna," terangnya.

Kepada para peserta, ia menyampaikan bahwa media masih menyimpan potensi besar untuk membela kepentingan publik. Selama jurnalis berani berpihak pada mereka yang hidup di lapisan paling bawah, adalah kelompok yang kerap dilupakan arus dominasi kekuasaan.

dosen dimpos manalu

Dimpos Manalu, Dosen Universitas Nommensen Medan. (Foto: PARBOABOA/Rizal Tanjung)

"Fungsi media harusnya sekarang bukan semata soal menyampaikan berita, tapi juga mengadvokasi. Bukan hanya menyuarakan fakta," tambahnya.

Fakta yang dimaksud, menurutnya, adalah bagaimana demokrasi hari ini masih tersandera kekuasaan segelintir elite. Belum sungguh-sungguh hadir bagi kesejahteraan kelas menengah ke bawah.

Dalam kelas, ia memberi contoh-contoh tentang bagaimana kekuasaan tak selalu hadir dalam bentuk kasar atau terang-terangan. Ia bisa bekerja lewat bahasa yang dibingkai sedemikian rupa, lewat simbol-simbol, narasi, bahkan lewat diamnya media.

"Maka di sinilah peran jurnalis untuk menyingkap yang terselubung, memaknai yang tampak biasa, dan menjadikan liputan sebagai ruang untuk membangunkan kesadaran publik," tuturnya.

Di tengah dominasi kekuasaan yang semakin meresap ke berbagai lini kehidupan, Dimpos melihat ruang-ruang kecil seperti Sekolah Jurnalisme Parboaboa sebagai sesuatu yang strategis.

Meski belum besar secara institusi, ruang edukasi ini membuka keberanian berpikir kritis untuk tumbuh sejak dari usia muda, sebelum para peserta terjun ke lapangan dan bersentuhan langsung dengan tarik-ulur kepentingan.

"Inisiatif seperti ini bukan hanya patut diapresiasi, tetapi juga langka. Banyak media yang tampak kehilangan semangat membentuk jurnalis yang mampu membaca zaman secara kritis," ungkapnya.

Ia mengingatkan bagaimana nalar dan keberpihakan pada publik telah dikorbankan di tengah arus industri yang mengejar kecepatan dan klik. Sehingga ruang pembelajaran seperti ini menjadi semacam perlawanan kecil terhadap arus besar yang kerap melupakan makna jurnalisme itu sendiri.

Dimpos percaya, jika jurnalisme ingin tetap relevan di masa depan, maka keberpihakan adalah fondasinya. Bukan netral yang membeku, tetapi keberpihakan yang sadar kepada publik. Terutama pada kelompok marjinal, masyarakat kelas bawah, atau mereka yang tak pernah mendapat tempat dalam narasi besar kekuasaan.

Itulah sebabnya, pesan yang ia sampaikan kepada para peserta bukan sekadar teknis liputan atau teori politik. Ia mengingatkan pentingnya membentuk komitmen.

Komitmen yang dimaksud adalah untuk tidak tunduk pada kekuasaan yang disalahgunakan, tidak larut dalam permainan simbolik elite, dan tidak berhenti pada permukaan peristiwa.

Dimpos ingin para calon jurnalis muda ini memahami bahwa ketimpangan bukan sekadar data, tapi kenyataan hidup yang harus direspons dengan keberanian berpihak. Di mana keberanian itu tak bisa hadir tanpa nalar yang terlatih untuk bertanya, melihat, dan menggugat.

peserta kelas parboaboa

Peserta Serius Menyimak Paparan Narasumber. (Foto: PARBOABOA/Rizal Tanjung)

"Negara yang maju tanpa keadilan hanya akan membangun fondasi di atas ketimpangan yang terus diwariskan. Jurnalisme harus sebagai penyeimbang, pembela, sekaligus pengingat bahwa suara kecil pun bisa mengubah arah," tuturnya.

Bagi Michael Josua Robert Sijabat (22), mahasiswa Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar, pertemuan pagi itu menyisakan kesadaran baru: jurnalis jangan buta politik.

Ia menjadi paham bahwa peta kekuasaan bukan sekadar nilai tambah, tapi prasyarat bagi siapa pun yang ingin menyampaikan informasi secara jernih kepada publik.

"Materi yang disampaikan membuka mata saya tentang pentingnya menguasai konteks politik dalam kerja jurnalistik," ungkap Michael pada Parboaboa, Selasa (15/4/2025).

Sebab tanpa itu, tambahnya, seorang jurnalis rentan menjadi penyampai berita yang sekadar permukaan, tak menyentuh inti dari persoalan yang sedang berlangsung.

Ia juga mencatat satu hal yang harus ia ubah adalah gaya bahasa dalam penulisan berita. Menurutnya, penyampaian informasi harus mampu menjangkau pembaca tanpa kehilangan kekuatan isi.

"Namun satu hal yang ingin tetap saya jaga adalah minat untuk terus membaca. Terutama berita-berita yang berkaitan dengan dinamika sosial dan politik. Sebab dari situlah, daya kritis terus bertumbuh," tutupnya.

Ristaruli Aritonang (22), lulusan Administrasi Niaga dari Politeknik Negeri Medan, mengaku materi yang disampaikan membuka sudut pandang barunya tentang politik.

Sebagai peserta yang tidak berasal dari latar belakang ilmu politik maupun jurnalistik, ia merasa pemaparan tentang politik sebagai proses kekuasaan menjadi pintu masuk yang membekas.

“Saya jadi mengerti, jurnalis harus terbuka dengan keadaan politik di Indonesia. Politik bukan hanya sebatas urusan partai, pemilu, atau undang-undang," ungkapnya.

Ia mencatat bahwa terdapat dua lapisan besar dalam memahami politik, yaitu sebagai arena dan sebagai proses. Arena adalah ruang yang selama ini lazim dikenali seperti kebijakan, pemilu, atau partai politik.

"Tapi proses politik, ternyata justru lebih luas, tersembunyi, dan meresap dalam relasi sosial sehari-hari. Ia berfokus pada pertarungan dalam relasi kuasa yang tertanam seperti agama, budaya, ekonomi, gender, dan lain-lainnya," tambah Rista.

Pandangan itu mengubah cara pandangnya dalam melihat berita. Ia menyadari bahwa keberpihakan adalah hal yang tidak bisa dihindari dalam kerja jurnalistik.

Untuk isu-isu vertikal, jelasnya, seperti relasi antara masyarakat dan negara, ia memilih berpihak pada rakyat. Namun dalam isu horizontal yang menyangkut antarkelompok masyarakat, baginya netralitas tetap menjadi sikap yang bisa dijaga.

Tak hanya soal isi berita, ia juga mulai memikirkan bagaimana diksi dalam judul bisa memengaruhi pembaca dan menciptakan jarak antara masyarakat dan kekuasaan.

Pelatihan ini juga mengubah cara pandangnya terhadap peran jurnalis. Menurut Rista, menulis berita tidak cukup sekadar menjadi “penulis event” yang hanya menceritakan apa yang terjadi, seorang jurnalis perlu melampaui itu.

“Menulis berita harus mulai responsif melihat pola permasalahan yang terjadi, atau bahkan menjadi generatif, yang semakin mendalam dalam menulis berita,” pungkasnya.

Editor: Rin HIndryati

Editor: Rin Hindrayati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS