Kabar dari Sekolah Jurnalisme Parboaboa: Mempelajari Fotografi di Era Multimedia

Fotografer terkemuka Edward Tigor Siahaan. (Foto: PARBOABOA/Rizal Tanjung)

PARBOABOA, Pematangsiantar - Dengan suara jelas dan semangat yang hangat, fotografer kondang Edward Tigor Siahaan membawakan materi “Fotografi di Era Multimedia” di kelas Sekolah Jurnalisme Parboaboa, Senin (26/5/2025) pagi. Sebelum masuk ke inti pembahasan, ia memperkenalkan diri sembari menunjukkan beberapa buku karyanya—salah satunya berjudul Batak Inspigraph.

"Fotografi sudah menjadi bagian dari hidup kita yang tak terpisahkan. Begitu pentingnya foto sebagai dokumentasi," ujar pria kelahiran kota Tarutung ini, yang telah menekuni dunia fotografi sejak 1985.

Materi dimulai dengan menelusuri sejarah visualisasi realitas. Dari masa manusia masih merekam kehidupan lewat lukisan, hingga upaya menghasilkan gambar menggunakan cahaya. Tigor, demikian ia akrab disapa, menjelaskan bagaimana fotografi lahir dan terus berkembang seiring kemajuan teknologi, hingga menjadi bagian penting di era multimedia saat ini.

Kepada para peserta, ia menjelaskan bahwa saat ini siapa pun bisa mengambil foto, tetapi tidak semua bisa disebut fotografer. Seorang fotografer harus mampu memberikan makna dalam setiap gambar yang diambil—bukan sekadar asal menekan tombol kamera.

Ia membagikan dasar-dasar teknis fotografi, mulai dari cara mengenali cahaya, sudut pengambilan gambar, hingga menyusun komposisi visual yang kuat. Pemahaman teknis inilah yang menjadi bekal penting bagi jurnalis untuk menghasilkan foto yang bukan hanya informatif, tetapi juga memiliki kekuatan bercerita.

"Memahami dasar-dasar fotografi merupakan hal penting bagi jurnalis di era multimedia. Kemampuan memotret dengan baik menjadi nilai tambah, tidak hanya untuk memperkuat narasi berita, tetapi juga untuk menarik perhatian pembaca," jelasnya.

Selain menguasai teknik dasar, jurnalis juga menurutnya perlu memperkaya referensi visual. Tak cukup hanya terpaku pada satu genre foto jurnalistik semata, tetapi juga perlu terbuka pada berbagai jenis foto lain. Seperti foto alam, pariwisata, kuliner, atau budaya. Ragam referensi ini akan memperluas wawasan visual sekaligus melatih kepekaan terhadap komposisi dan konteks.

suasana kelas anget

Suasana kelas yang hangat. (Foto: PARBOABOA/Rizal Tanjung)

Dengan bekal tersebut, saat meliput berbagai peristiwa atau fenomena, seorang jurnalis tidak lagi kebingungan menentukan pendekatan visual yang tepat. Mereka sudah memiliki referensi dan imajinasi yang cukup untuk mengemas gambar secara informatif dan estetik.

Dalam menghadapi tuntutan kecepatan berita digital, menjaga kualitas visual dan akurasi informasi tetap menjadi prioritas. Di sinilah menurut Tigor pentingnya penguasaan teknik fotografi. Kemampuan teknis yang baik memungkinkan jurnalis merespons situasi secara cepat tanpa mengorbankan hasil akhir.

Dengan keterampilan yang terasah, jurnalis dapat mengantisipasi perubahan peristiwa secara sigap, bahkan memprediksi momen penting sebelum terjadi. Teknik yang kuat menjadi bekal untuk menangkap gambar yang bermakna di tengah kondisi lapangan yang dinamis dan tidak selalu ideal.

"Sebaliknya, tanpa bekal teknis yang memadai, jurnalis cenderung terjebak pada berbagai kendala dan menyalahkan faktor eksternal," jelasnya.

Padahal, tambahnya, kunci utamanya ada pada kesiapan dan keterampilan diri sendiri dalam membaca situasi dan mengambil keputusan visual secara tepat.

AI Tak Bisa Gantikan Profesi Fotografer

Tigor juga menjelaskan, profesi fotografer jurnalistik tidak akan tergeser kemajuan teknologi. Justru teknologi hadir untuk mempermudah pekerjaan, bukan menggantikannya. Termasuk kecerdasan buatan (AI), penggunaannya harus disesuaikan dengan konteks dan kebutuhan.

"Dalam dunia jurnalistik, keaslian foto sangat penting. Jika foto digunakan untuk pemberitaan, maka gambar harus diambil langsung oleh jurnalis di lapangan," ujarnya.

Hal itu menjadi dasar kepercayaan pembaca terhadap informasi yang disajikan. Sementara foto yang dihasilkan kecerdasan buatan tidak bisa memuat keotentikan peristiwa. Ia tidak hadir di lokasi, tidak menyaksikan kejadian, dan tidak mengalami suasana.

"Dan satu hal yang hendaknya perlu diingat para peserta dari materi yang saya sampaikan pagi ini adalah pentingnya terus belajar dan mengasah kemampuan," ucapnya.

Sekalipun tidak ada peristiwa besar yang terjadi, seorang jurnalis menurut Tigor harus tetap melatih diri melalui self-assessment (penugasan pribadi). Penugasan ini bukan berasal dari orang lain, melainkan muncul dari inisiatif diri sendiri.

Latihan semacam ini berguna untuk mempertajam kepekaan terhadap momen, pencahayaan, dan posisi pengambilan gambar. Misalnya, memotret perilaku pengendara di jalan, suasana pasar, atau dinamika ruang publik lainnya. Dari situ, kita bisa belajar membaca situasi dan membangun narasi visual secara mandiri.

Dengan membiasakan diri pada latihan-latihan seperti ini, seorang jurnalis akan lebih siap ketika harus meliput peristiwa nyata. Ia sudah memiliki insting visual dan pemahaman teknis yang cukup untuk menghasilkan foto jurnalistik yang kuat.

"Lima tahun lagi, saya ingin mendengar kabar bahwa kalian (para peserta) telah bergerak untuk negara ini. Saya menantikan saat itu. Mulai pagi ini, kita adalah teman," ucapnya penuh harap kepada para peserta.

Memahami Fotografi Jurnalistik

Salah satu peserta, Ristaruli Aritonang (22), lulusan Administrasi Niaga dari Politeknik Negeri Medan, mengaku yang paling membuka wawasannya dalam materi pagi itu adalah pemahaman mengenai photo storytelling serta teknik dasar fotografi jurnalistik, seperti komposisi, pencahayaan, dan timing.

foto brg klas

Foto bersama sebelum kelas berakhir. (Foto: PARBOABOA/Rizal Tanjung)

"Saya sebelumnya mengira kalau mengambil foto untuk kebutuhan jurnalistik hanya sebatas dokumentasi. Tapi melalui materi ini saya menyadari seorang jurnalis juga dituntut memahami bagaimana menyusun komposisi efektif, menggunakan pencahayaan alami, serta menangkap momen agar pesan tersampaikan dengan kuat," ujarnya pada Parboaboa, Senin (26/5/2025).

Hal itu, membuka wawasan baru baginya bahwa fotografi jurnalistik bukan hanya soal estetika, tetapi juga tentang bagaimana visual dapat memperkuat nilai berita dan empati khalayak.

Setelah mengikuti kelas ini, Rista ingin mengubah cara pandangnya dalam meliput sebuah peristiwa dengan lebih memperhatikan potensi visual yang mendukung narasi berita. Lalu mulai menerapkan prinsip fotografi jurnalistik, seperti penggunaan rule of thirds untuk keseimbangan frame, pemanfaatan depth of field untuk menyorot subjek utama, serta mengutamakan momen yang memiliki makna emosional atau informatif.

"Di samping itu, saya tetap akan mempertahankan prinsip verifikasi dan objektivitas dalam menulis, agar baik teks maupun visual yang saya hasilkan dapat saling mendukung dalam menyampaikan informasi akurat dan berimbang kepada publik," tutupnya.

Peserta lainnya, Triveni Gita Lestari Waloni (26), mengaku bahwa yang paling membuka wawasannya adalah mengenai etika profesi sebagai fotografer. Ini sangat berkaitan dengan dunia jurnalistik, karena banyak foto yang diambil dalam konteks jurnalistik menyangkut manusia dan kehidupan mereka.

"Sehingga ternyata penting untuk memahami dan menerapkan etika saat memotret, terutama dalam momen-momen yang sensitif," ujarnya pada Parboaboa, Senin (26/5/2025).

Triveni menjadi paham bahwa salah satu bentuk etika dalam memotret adalah menghargai objek yang akan difoto. Tidak sembarangan mengangkat kamera. Akan lebih baik membangun interaksi terlebih dahulu agar tumbuh rasa percaya orang yang akan difoto. Dengan begitu, objek akan merasa lebih nyaman.

"Seorang fotografer ternyata juga dituntut tidak mencolok saat bekerja. Itulah rupanya kenapa banyak fotografer memilih mengenakan pakaian gelap seperti hitam, sebagai bentuk kesadaran bahwa yang menjadi pusat perhatian bukan dirinya, melainkan objek yang difoto," ujar Triveni.

Setelah mengikuti kelas ini, satu hal yang pasti akan ia ubah adalah cara saya berinteraksi dengan manusia atau objek yang akan dipotretnya. Sebab hal itu juga berpengaruh pada tulisannya. Jika tulisan ingin lebih kuat, harus menyertakan foto-foto yang mendukungnya dengan etis dan bermakna.

Editor: Rin Hindrayati

Editor: Rin Hindrayati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS