Napak Tilas Jalan Braga: Saat Masa Lalu Disapa Generasi Baru

Jelajah gedung tua bersejarah sampai tempat makan tempo dulu di Jalan Braga, Kota Bandung. (Foto: PARBOABOA)

PARBOABOA, Jakarta - Angin sepoi dan rindangnya pepohonan menyambut langkahku saat tiba di Kota Kembang. Ketenangan itu seketika berubah saat dihadapkan dengan kenyataan: kemacetan di depan mata. Tak heran, Bandung kini menempati peringkat pertama sebagai kota dengan tingkat kemacetan tertinggi di Indonesia.

Tapi hari ini aku tidak ingin mengeluh. Aku ingin menelusuri sejarah dan mengawali petualangan dengan menyusuri Jalan Braga, jalan ikonik sepanjang ±850 meter yang pernah dijuluki Parijs van Java pada masa kolonial Belanda.

Pada masa kejayaannya, Braga menjadi jantung gaya hidup modern: kafe-kafe bergaya Eropa, butik elegan, hingga bioskop mungil yang menghadirkan nuansa ala Paris di tengah Hindia Belanda.

Dulu, jalan ini bernama Karreweg atau Pedatiweg, karena hanya cukup dilalui kereta kuda. Sejak tahun 1880-an, seiring kemunculan grup teater Toneel Braga, trotoar mulai diperbaiki, jalan dipaving, dan lampu minyak dipasang. 

Kemudian, pada awal abad ke-20, Braga benar-benar menjelma sebagai pusat gaya hidup modern, lengkap dengan gedung-gedung bergaya art deco yang masih berdiri hingga kini.

Sabtu Kelabu Bandung

de majestic

De Majestic, bioskop pertama di Bandung, lokasi di Jalan Braga No. 1. (Foto: PARBOABOA/David)

Langkahku terhenti di depan gedung De Majestic, bangunan berbentuk seperti kaleng biskuit yang mencuri perhatianku setiap kali melintas Braga. Bangunan ini dibangun pada 1925 oleh arsitek ternama C.P. Wolff Schoemaker, yang juga merancang Villa Isola dan beberapa bangunan ikonik lain di Bandung.

Selama ini aku hanya bisa melihatnya dari luar karena sering kali tertutup. Tapi kali ini, gerbangnya terbuka. Aku langsung meminta izin untuk masuk.

Suasana di dalamnya gelap dan sunyi, namun memancarkan aura magis. Di depan berdiri proyektor besar dan jejeran kursi tua, jejak kejayaan masa lalu yang masih terasa kuat.

Dulu, Majestic adalah bioskop film bisu pertama di Indonesia. Film lokal pertama, Loetoeng Kasaroeng, diputar perdana di sini. Saat itu, penonton menyaksikan gambar tanpa suara. Sebagai pengganti dialog, mereka diberikan selebaran berisi alur cerita.

Namun, di balik keanggunan arsitektur art deco De Majestic, tersimpan kisah kelam. Pada 9 Februari 2008, saat gedung ini dikenal sebagai Asia Africa Cultural Centre (AACC), sebuah konser musik metal band lokal, Beside, diadakan di sana. Dipadati lebih dari 800 orang, jauh melebihi kapasitas gedung, akhirnya acara itu berujung bencana.

Akibat sirkulasi udara yang buruk dan kepadatan berlebih, terjadi kepanikan. Sebelas remaja tewas karena sesak napas dan terinjak-injak. Peristiwa ini dikenal sebagai Tragedi AACC atau Sabtu Kelabu Bandung. 

Setelah kejadian itu, gedung ditutup, lalu direnovasi dan kini difungsikan kembali sebagai De Majestic, pusat pertunjukan seni dan budaya.

Toko Roti Sejak Zaman Kolonial

sumber hidangan

Toko Roti Sumber Hidangan yang sudah ada sejak tahun 1929, lokasinya di Jalan Braga No.20-22. (Foto: PARBOABOA/David)

Dari sana, aku beranjak ke Sumber Hidangan, toko roti legendaris yang sudah ada sejak 1929. Toko ini menyimpan nostalgia dalam tiap loyangnya. Agak sulit menemukannya, karena tidak ada plang nama besar, bahkan bagian depannya sempat tertutup oleh deretan pelukis jalanan.

Toko ini telah berdiri sejak zaman kolonial dan masih mempertahankan resep serta alat panggang klasik hingga hari ini. Interiornya pun tak berubah: etalase tua, ubin lawas, meja, kursi, dan suasana sepi yang khas.

Yang cukup menarik perhatianku, menu di sini masih menggunakan Bahasa Belanda. Ada Krentenbrood (roti kismis), Ontbijtkoek (roti rempah), Bokkepoot (kue stik cokelat), dan Klappertaart (kue kelapa muda), dan masih banyak lagi. 

Tak ada bahan pengawet, tak ada hiasan berlebihan, semuanya sederhana, jujur, dan otentik. Bahkan sistem pembayarannya pun masih tunai.

Toko Tahi Lalat

toko tahi lalat

Toko Tahi Lalat di Jalan Braga, Bandung yang ramai digandrungi anak muda. (Foto: PARBOABOA/Bede)

Setelah kenyang oleh sejarah dan karbohidrat, mataku menangkap satu toko yang tampak kontras tapi menarik perhatian, Toko Tahi Lalat. Namanya saja sudah bikin senyum-senyum sendiri. Isinya? Lebih unik lagi: pin, kaus, stiker, dan tote bag dengan desain nyeleneh khas anak muda Bandung.

Toko ini adalah representasi bagaimana Jalan Braga terus berevolusi. Dulu, etalase gaya hidup Eropa. Kini, deretan bangunannya diisi oleh kopi kekinian, toko suvenir kreatif, studio tato, galeri seni, hingga restoran estetik. 

Tapi yang menarik, toko-toko modern itu tidak menghapus warisan sejarah Braga, melainkan menyelip di antara batu bata tua dan jendela kayu dengan cerdas.

Toko Tahi Lalat menjadi simbol generasi baru yang mengambil tempat di ruang bersejarah, dengan nada lebih ringan, lebih lucu, tapi tetap “Bandung banget”.

Menapaki Jalan Braga bukan sekadar jalan-jalan sore. Ini adalah perjalanan lintas waktu, dari kolonialisme hingga kontemporer, dari film bisu hingga konser metal, dari roti klasik hingga suvenir satir.

Di balik bangunan megah seperti De Majestic, tersimpan sejarah kelam yang perlu dikenang. Di tengah aroma roti panggang dan geliat toko kreatif, Braga mengajarkan bahwa Bandung bukan hanya kota wisata, tapi kota cerita. Untuk cerita lengkap perjalananku, tonton video Wacana di Youtube Parboaboa ya!

Editor: Wanovy
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS