Nasib Gedung Juang 1945: Tidak Digubris Pemko Pematang Siantar, Tidak Dirawat Pemkab Simalungun

Kondisi Gedung Juang 45 sebagai bangunan bersejarah yang terletak di pusat kota Pematang Siantar, tepatnya di Jalan Merdeka, Kelurahan Proklamasi, Kecamatan Siantar Barat. (Foto: PARBOABOA/Putra Purba)

PARBOABOA, Pematang Siantar - Siang itu cuaca sedikit mendung. Suasana sepanjang jalan di depan Balai Kota Pematang Siantar terlihat ramai. Empat mobil pribadi terlihat memasuki halaman sebuah bangunan tua berstruktur kolonial Belanda. Bangunan tua itu bernama Gedung Juang 1945.

Gedung Juang 1945 atau yang lebih dikenal Gedung Juang 45 adalah salah satu bangunan bersejarah yang terletak di pusat kota Pematang Siantar, tepatnya di Jalan Merdeka, Kelurahan Proklamasi, Kecamatan Siantar Barat. 

Tampilannya kini tampak begitu menyedihkan untuk sebuah peninggalan dan saksi sejarah di kota Pematang Siantar.

Penelusuran PARBOABOA, mulai depan hingga dalam bangunan terlihat terbengkalai. cat-cat gedung sudah mengelupas, sisi bangunan juga tampak ditumbuhi lumut-lumut hijau. Bagian atas dari bangunan yang awalnya berwarna putih, kini menghitam akibat jamur. Teras depannya pun kini digunakan pengemudi ojek daring beristirahat atau menunggu orderan.

Di dalam bangunan, dinding gedung tampak tidak terawat dan rusak. Belum lagi bau tidak pesing menyeruak kala memasuki bagian dalam Gedung Juang. Sampah pun terlihat berserakan.

Bahkan di lantai dua Gedung Juang seperti menjadi sarang makhluk tak kasat mata, apalagi sempat terbakar pada Mei 2022 silam. Benar-benar tidak adanya perhatian berupa perbaikan dan perawatan dari Pemerintah Kota Pematang Siantar.

Padahal dalam perjalanannya, gedung ini merupakan saksi perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, sekaligus perkembangan Kota Pematang Siantar dari waktu ke waktu.

Di era kolonial Belanda, Gedung Juang 45 ini dahulunya menjadi poros pemerintahan. Penelitian Pusat Studi Sosial Budaya dan Sejarah LPPM Universitas Simalungun Tahun 2009 menyebut, gedung ini sempat menjadi persinggahan pejabat perkebunan dan orang-orang Eropa.

Bahkan, di sebelah Gedung Juang 45 yang juga markas Barisan Pemuda Indonesia (BPI) menjadi tempat pertama bendera Merah Putih dikibarkan di Kota Pematang Siantar, atau tepatnya pada 27 September 1945.  

Seiring berjalannya waktu, Gedung Juang 45 sempat dikelola sebagian oleh manajemen Siantar Hotel sebagai bar, pub dan restoran.

Sebagian lagi digunakan oleh Dewan Harian Angkatan 45 sebagai kantor sekretariat Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Kota Pematang Siantar dan Perusahaan Daerah Pembangunan Aneka Usaha (PD PAUS).

Tidak hanya itu, sebagian lokasi gedung juga pernah digunakan sebagai Gereja Bethel Indonesia, yang kini beralih ke Gedung Siantar Plaza yang berada tepat di depannya.

Veteran Prihatin Gedung Juang 45 Terbengkalai

M. Dahlan sambil duduk di kursi plastik dan berpangku ke kursi reot di ruang tamu sekretariat LVRI Pematang Siantar, ia ditemani beberapa veteran lain bercerita kepada Parboaboa. (Foto: PARBOABOA/Putra Purba)

Terbengkalainya Gedung Juang 45 dikeluhkan salah seorang veteran 45, M Dahlan (83). Apalagi gedung itu dianggap sebagai simbol perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

“Pemerintah seharusnya berbuat, jadi apalah gunanya kami berteriak-teriak tapi tidak dihargai, apalagi untuk merawat gedung tersebut, memang miris,” tegasnya kepada PARBOABOA, Rabu (12/7/2023).

Dahlan mengungkapkan, gedung ini pernah menjadi markas tentara Kerajaan Belanda, yakni Koninklijke Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) dan juga pernah sebagai markas Tentara Republik Indonesia (TRI) khususnya Divisi IV, Divisi Gajah dan Divisi X yang berjuang mempertahankan kemerdekaan melawan pasukan tentara Sekutu.

Oleh karena itu dibangun sebuah tugu peringatan untuk mengenang peristiwa revolusi fisik tersebut di depan Gedung Juang 45.

Sembari duduk di kursi plastik dan berpangku ke kursi reot di ruang tamu Sekretariat LVRI Pematang Siantar, Dahlan ditemani beberapa veteran lain menceritakan, pembangunan tugu yang berada di depan gedung juang ini diprakarsai oleh Komandan Korem 021/Pantai Timur, Kolonel Inf. L. Silangit dan tokoh masyarakat Kota Siantar, Kurnia Ginting.

“Sebab tugu ini dibangun untuk mengenang perjuangan 1945-1949 sebagai kedudukan markas divisi empat, divisi gajah ketiga, divisi kelima, kini tugu tersebut aja jadi lapuk dimakan usia,” katanya lirih.

Veteran ini berulang kali mengingatkan pemerintah setempat dan pemuda penerus bangsa untuk menjaga sejarah, serta jasa pahlawan, termasuk melestarikan bangunan bersejarah.

Salah satunya, kata Dahlan, dengan merenovasi Gedung Juang 45 sebagai ikon perjuangan kemerdekaan rakyat Siantar maupun Simalungun saat melawan pasukan pemerintahan Hindia Belanda, dikenal dengan nama Nederlandsch-Indische Civiele Administratie (NICA) yang ingin kembali menguasai Republik Indonesia.

“Kalau memang pemerintah tidak dapat merawatnya, istilahnya serahkan ke pihak ketiga untuk merawat, jangan hanya rencana-rencana renovasi, tapi tidak ada dilaksanakan,” kesalnya.

Cagar Budaya Tak Hanya Tentang Sejarah

Kondisi dalam bangunan yang banyak ditumbuhi rumput-rumput dan pohon yang sudah setinggi pinggul orang dewasa. (Foto: PARBOABOA/Putra Purba)

Menanggapi terbengkalainya Gedung Juang 45, Sejarawan dari Universitas Simalungun (USI), Jalatua Habungaran Hasugian, menjelaskan
bangunan tersebut merupakan warisan yang menjadi ikon Pemerintah Kota (Pemko) Pematang Siantar, tapi pengelolaannya dilakukan dan menjadi aset milik Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Simalungun.

Ia menambahkan, Gedung Juang 45 merupakan bekas peninggalan dari tuan-tuan perkebunan kolonial Belanda yang didesain sebagai tempat hiburan, makan minum, beristirahat, bersantai, bermusik, berdansa, sekaligus pertemuan-pertemuan khusus para pejabat-pejabat kolonial serta pengusaha-pengusaha perkebunan yang ada di Pematang Siantar, Simalungun bahkan dari daerah Sumatra Timur lainnya.

"Gedung itu dulunya kantor perkumpulan organisasi Internasional Simeloengoen klub, yang dibentuk tahun 1913. Secara khusus gedung ini juga merupakan tempat berinteraksi (markas) sebuah perkumpulan para kaum elite kolonial serta tuan-tuan kebun yang menjadikan gedung itu sebagai tempat rapat, diskusi, pagelaran musik, jamuan makan, dan dansa. Diperkirakan bangunan itu selesai dibangun tahun 1915, bersamaan dengan Siantar Hotel. Sederhananya, tidak ada dokumen menyebutkan persisnya, tapi kita bisa menganalisisnya berdasarkan sejarah Siantar Hotel," jelasnya saat ditemui PARBOABOA di FKIP USI, Rabu (12/7/2023).

Jalatua mengatakan gedung ini pernah direnovasi dinas Pekerjaan Umum (PU) Kabupaten Simalungun pada tahun 1971 semasa posisi Bupati dijabat Radjamin Purba.

“Sekitar tahun 1971 itu perbaikan akhir, jamannya Bupati Radjamin Purba. Hingga kini belum ada pembenahan yang berarti. Memang beberapa kali ada janji-janji direnovasi pada tahun 2019 dan 2022 oleh Bupati Simalungun sendiri, tapi saat ini tidak ada renovasi, penggunaan fungsi tidak juga.
Apalagi alasannya tidak ada anggaran atau dana,” katanya.

Jalatua mengungkapkan, Pemkab Simalungun seharusnya segera merealisasikan Gedung Juang 45 menjadi salah satu Cagar Budaya sesuai tertuang pada pasal 9 Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Namun sayangnya, Pemkab Simalungun justru tidak bisa memanfaatkan, meski mereka pernah menggunakan pihak ketiga dalam pengelolaannya.

“Ada komitmen bahwa itu sebagai cagar budaya, fungsinya untuk destinasi wisata historis, sebagai ciri kota Pematang Siantar di zaman Belanda, bukan malah ketika sudah direnovasi nantinya sebagai kantor instansi Simalungun bahkan dikomersialkan tidak sesuai nilai historisnya,” ungkap Jalatua.

Ia juga menyayangkan Pemko Pematang Siantar seolah tak bisa berbuat banyak mengingat bangunan ini bukan aset yang bisa mereka kelola. Di sisi lain, Pemkab Simalungun selaku pemilik juga tidak peduli.

“Kita sayangkan memang tidak ada perhatian bukan hanya Pemkab Simalungun, sikap Pemko Pematang Siantar juga, wilayah itu tidak bisa dipisahkan dengan kantor wali kota. Harusnya ada desakan dari mereka (Pemko), tidak membiarkan. Kalau (Pemkab Simalungun, red) tidak bisa
kelola, ya kami (Pemko Pematang Siantar, red) yang kelola, tapi ini tidak ada,” katanya.

Pemerintah daerah, lanjut Jalatua, harus mampu melaksanakan sistem pengelolaan yang bagus serta menjadikan bangunan tersebut sebagai salah satu gedung bersejarah Kota Pematang Siantar dengan historikal dan terdaftar di tingkat nasional.

“Siapapun pengelolanya gedung itu difungsikan dan tidak lari dari konteks dan konstruksi bangunannya, perawatan paling utama. Desain bernuansa klasik, menarik pengunjung dan punya nilai. Namun ini renovasi tidak ada sama sekali,” ketusnya.

Sementara Ketua Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Pemkab Simalungun, Hisarma Saragih membenarkan Gedung Juang 45 masih belum masuk dalam daftar pengkajian untuk direkomendasikan sebagai cagar budaya tahun ini.

“Masih banyak yang belum diidentifikasi, terkhusus juga Gedung Juang 45. Sebab untuk tahun 2023, tim ahli cagar budaya Simalungun hanya melaksanakan pengkajian terhadap 7 harajaon (kerajaan) yang ada di Simalungun, dan difokuskan selesai tahun ini," jelasnya.

Tim Ahli Cagar Budaya Simalungun juga sudah menampung permohonan masyarakat yang menginginkan gedung juang sebagai cagar budaya yang teregistrasi sesuai pasal 29 Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

"Secara usia, bangunan tersebut sudah layak, untuk saat ini beberapa kalangan masyarakat dan LVRI Pemkab Simalungun juga sudah mengirimkan permohonan resmi sebagai cagar budaya, nanti kita kaji dan proses penetapan yang panjang," pungkas Hisarma Saragih.

Editor: Kurnia
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS