Nasib Warga Rusunawa Marunda Jakut: Air Langka hingga Terpapar Debu Batu Bara

Ati Rumhati (39) salah satu warga penghuni rusunawa Marunda, Jakarta Utara. (Foto: PARBOABOA/Hasanah)

PARBOABOA, Jakarta - Kelangkaan air dan terpapar debu batu bara menjadi keseharian warga di rumah susun sewa (rusunawa) Marunda, Cilincing, Jakarta Utara.

Ribuan kepala keluarga yang tinggal di 29 gedung rumah susun dengan lima lantai ini seringkali tidak tidak mendapatkan air bersih dan menderita penyakit kulit imbas paparan debu batu bara..

Untuk kelangkaan air, masyarakat menyebut debit air dari PAM Jaya yang mengalir ke Rusun Marunda sangat kecil. Bahkan ada kalanya, air di Rusun Marunda mati total yang tentunya sangat menyulitkan warga melakukan aktivitas mereka sehari-hari.

"Iya memang pernah sempat mati itu karena debit air dari PAM Jaya kecil dan ada juga yang bilang masalahnya dari pipa, tapi alhamdulillah sekarang kalau untuk di klaster D sudah lancar," kata juru bicara Forum Masyarakat Rusun Marunda, Cecep Supriadi (49) kepada Parboaboa saat ditemui, Selasa (27/6/2023).

Cepi, begitu ia akrab disapa mengatakan, meski ada beberapa perbaikan, namun sebagian warga, terutama di klaster B Rusun Marunda mengaku masih sulit mendapatkan air bersih.

Bahkan ada kalanya, warga dibantu dengan mobil tangki air untuk memenuhi segala kebutuhan. Hanya saja, pasokan dari mobil tangki tersebut tetap tidak mencukupi kebutuhan warga.

"Karena itu kan ada 11 blok (gedung) di klaster B, jadi tangki yang didatangkan belum mencukupi kebutuhan warga," jelas Cepi yang telah menetap di Rusun Marunda hampir 6 tahun ini.

Keluhan kelangkaan air di Rusun Marunda juga disuarakan salah satu penghuni Rusunawa Marunda di Klaster B, Fitri Barokah (32) yang menyebut kelangkaan air terjadi sebelum Idulfitri.

"Iya, udah lama (kelangkaan air) sekalinya keluar, airnya kecil. Sekarang mending ya, dalam sehari itu keluar walau kecil. Dulu sampe beberapa hari baru keluar," ungkapnya.

Senada dengan Fitri, warga Rusun Marunda lainnya, Ati Rumhati (39) bahkan harus berebut dengan warga rusun lainnya untuk memenuhi kebutuhan air saat bantuan tangki air datang.

"Jadi kita rebutan air kadang-kadang, saya kan di lantai tiga mungkin karena lantai tiga tengah-tengah, jadi suka enggak kebagian," katanya.

Ati bahkan sering memanfaatkan air yang ada di WC umum dan masjid sekitar rusun untuk kebutuhannya sehari-hari.

Terpapar Debu Batu Bara

Warga Rusun Marunda sering mengeluhkan kelangkaan air bersih dan polusi debu batu bara. (Foto: Parboaboa/Hasanah) 

Selain kekurangan air, Warga Rusun Marunda, Ati Rumhati juga mengeluhkan paparan debu dari aktivitas bongkar muat batu bara di Pelabuhan Marunda, Jakarta Utara.

"Iya saya juga sempat ngerasain ada debu dari batu bara, tapi akhir-akhir ini enggak keliatan debunya. Udah lama lah enggak ngeliat debu lagi," katanya.

Meski begitu, Ati mengaku sempat merasakan dampak dari paparan debu batu bara, salah satunya gangguan pada kulit.

"Iya saya ngerasa gatal karena efek debu itu," ungkapnya.

Paparan debu batu bara tersebut dirasakan berkurang beberapa waktu belakangan.

Menurut juru bicara Forum Masyarakat Rusun Marunda, Cepi, salah satu faktor berkurangnya paparan debu batu bara karena angin dan musim.

"Jadi saat ini lagi musim angin yang berhembus dari darat ke laut. Jadi ketika angin itu berubah menjadi angin dari laut ke darat, nah dari situlah muncul debu-debu akibat aktivitas perusahaan bongkar muat yang menggunakan batu bara untuk produksi," jelas dia.

Cepi menerangkan, ada beberapa dampak yang muncul akibat paparan batu bara, salah satunya kesehatan. Beberapa warga di pemukiman rusun mengalami gangguan pernapasan serta kulit mengalami gatal-gatal.

"Itulah dampak yang paling banyak dirasakan warga di rusun," kata Cepi.

Selain kesehatan, kata Cepi, ada pula dampak lain yaitu ekonomi, karena ketika polusi itu banyak memasuki lingkungan rusun, beberapa warga rusun yang berjualan mengalami kerugian.

"Artinya, seperti mereka yang berjualan makanan ya. Bagaimana mereka bisa menjual makanannya sedangkan lingkungannya benar-benar penuh dengan debu, secara fisik pun terlihat," ungkapnya.

Sehingga, kata Cepi, beberapa warga terpaksa harus sementara berhenti berjualan karena paparan debu batu bara tak memungkinkan.

"Kondisi tersebut sudah terjadi hampir satu tahun lebih," ucapnya.

Upaya Warga Rusun Marunda

Cecep Supriadi alias Cepi, juru bicara Forum Masyarakat Rusun Marunda (Foto: Parboaboa/Hasanah) 


Hingga kini, Cepi mengatakan warga Rusun Marunda telah melakukan berbagai upaya salah satunya melakukan audiensi dengan pemangku kepentingan, seperti Suku Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Utara untuk segera melakukan tata kelola ulang di lingkungan KBN dan Pelabuhan Marunda.

"Kami meminta pemerintah melakukan evaluasi per tiga bulan atau 6 bulan. Setahun sekali dengan waktu yang berjalan untuk menindak atau mengetahui perusahaan yang sekiranya melanggar," ujar Cepi.

Cepi juga berharap pemerintah segera melakukan pembinaan terhadap perusahaan yang melanggar di audiensi tersebut.

"Jangan sampai pencemaran lingkungan yang mereka lakukan dari aktivitas perusahaannya sampai di lingkungan masyarakat, itu aja sebenarnya," katanya.

Hasil dari audiensi, adanya pemasangan dua Stasiun Pemantauan Kualitas Udara yang akan mengambil sampel debu yang ada di sekitar Rusun Marunda. Setelah sample debu itu diambil maka akan dilakukan penelitian selama tiga bulan.

"Tetapi setelah audiensi terakhir, mereka belum bisa memastikan kapan hasil penelitian tersebut selesai," ungkap dia.

Saat ini, Forum Masyarakat Rusun Marunda berharap pemerintah segera melakukan tata kelola ulang di wilayah KBN dan Pelabuhan Marunda. Apalagi rusun tersebut dikelilingi industri dan dua pelabuhan.

"Nah, itu tidak menutup kemungkinan bahwa akibat dari aktivitas perusahaan akan menyebabkan pencemaran ke pemukiman. Jadi segera lakukan pembinaan, serta bagaimana cara meminimalisir pencemaran itu atau minimal bisa menjadi sedikit sampai ke zero. Karena masyarakat di sini juga butuh serta memiliki hak untuk hidup sehat," pinta Cepi.

Editor: Kurnia
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS