Pemilu 2024 Dinilai Sangat Kental dengan Praktik Jual Beli Suara

Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY. (Foto: PARBOABOA/@pdemokrat)

PARBOABOA, Jakarta - Pilpres dan Pemilu 2024 telah selesai. Hal ini dinyatakan setelah KPU memutuskan dan menetapkan pemenang Pilpres dan Parpol yang berhasil ke Senayan pada Rabu, 20 Maret 2024.

Pada pelaksanaannya, kontestasi lima tahunan ini masih terjadi praktik jual beli suara atau politik uang. Kekuatan uang masih dominan mempengaruhi pemilih (voters) untuk memilih pasangan Calon Presiden maupun Legislatif.

Fenomena ini dikeluhkan oleh politisi Demokrat, Benny K. Harman. Hal itulah yang membuat dia mengakui sudah tidak semangat lagi mengikuti kontestasi pemilu, terutama Pemilukada.

Diketahui, Benny sendiri sempat beberapa kali mengikuti kontestasi pemilihan Gubernur NTT. Dari total tersebut, Benny belum sekalipun mendapat kepercayaan masyarakat NTT untuk menahkodai pemerintahan lokal tersebut.

"Sekarang ini, nggak ada duit, nggak ada suara. Di NTT, pencuri, setan bisa jadi pemimpin asal ada uang," ungkapnya di Labuan Bajo (18/03/2024).

Benny menjelaskan yang dibutuhkan saat pilkada atau pemilu bukan memilih orang baik, bukan mencegah orang jelek berkuasa, tetapi memilih orang yang selalu berbuat baik. "Orang yang berbuat baik untuk rakyat bisa juga pencuri, penjahat, tapi dia selalu berbuat baik," jelasnya.

Kondisi yang sama diutarakan oleh Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY. Ia menyebut praktik politik uang di Pemilu 2024 paling ugal-ugalan dibandingkan pemilu sebelumnya.

"Vote buying tahun 2024 ugal-ugalan, luar biasa buruknya. Dari mana kita harus mencari uang untuk mempertahankan kursi, mendapatkan kursi," kata AHY di Jakarta, Sabtu (23/03/2024).

AHY pun mendorong praktik politik uang harus segera dihapuskan. Jika politik uang masih ada, biaya yang dibutuhkan untuk seorang calon legislatif atau Caleg untuk mendapatkan atau mempertahankan kursi akan semakin banyak.

"Kita dorong semua kader partai yang ada di Senayan untuk memperjuangkan agar sistem Pemilu dapat disempurnakan menjadi lebih baik," katanya.

Berdasarkan hasil rekapitulasi nasional yang telah diumumkan Komisi Pemilihan Umum atau KPU, Partai Demokrat memperoleh 11.283.160 suara atau 7,43 persen dari total suara sah.

Jumlah perolehan suara tersebut membuat Partai Demokrat diprediksi bakal mengalami penurunan jumlah kursi. Diketahui pada Pemilu 2019, Demokrat mendapat 54 kursi, sementara pada Pemilu 2024 diperkirakan perolehan kursi Demokrat turun 10 kursi menjadi 44 kursi.

Menurut survei pasca-pencoblosan (exit poll) Indikator Politik Indonesia, mayoritas atau 49,6% responden pemilih Pemilu 2024 menilai politik uang bukan hal yang wajar dan tidak dapat diterima. Namun, persentase tersebut turun drastis dibanding pemilu sebelumnya.

"Mereka yang mengatakan politik uang bukan sesuatu yang bisa diterima, artinya tidak wajar dilakukan oleh capres-cawapres atau timsesnya itu, di Pemilu 2019 ada 67%, sekarang tinggal 49,6%," kata Direktur Eksekutif Indikator, Burhanuddin Muhtadi dalam paparan surveinya secara daring, Rabu (21-02-2024).

Mereka juga menemukan, pada Pemilu 2024 ada 46,9% responden yang menyatakan politik uang bisa diterima sebagai hal yang wajar. Proporsinya naik pesat dibanding Pemilu 2019 yang hanya 32%.

Politik Uang 2024

Menanggapi pernyataan petinggi partai yang didirikan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tersebut, Pengamat Politik Universitas Nasional, Selamat Ginting, justru meminta untuk berintropeksi diri dari pengalaman kekalahan tersebut.

Menurut Ginting, sejak awal partai pimpinan AHY itu sangat kental dengan warna oposisi. Namun, di detik-detik terakhir menjelang pemilu 2024, justru berubah haluan dengan bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM).

"Demokrat itu, partai yang ambigu setelah bergabung ke KIM. Partai ini sebenarnya tidak dianggap karena tanpa Demokrat pun KIM ini sudah cukup mendapatkan tiket pilpres. Ia kehilangan warnanya," jelas Ginting kepada PARBOABOA, Senin (25/03/2024).

Jadi, kehadiran partai Demokrat ini, antara ada dan tiada. "Walaupun posisinya naik sekitar 400.000 suara, tapi sekarang kehilangan 10 kursi di DPR dari total 54 kursi pada pemilu sebelumnya."

Lebih lanjut, Ginting menjelaskan, jika dilihat dari politik uang, Demokrat perlu berkaca pada pencapaian PKS di DKI Jakarta yang sangat tinggi.

"Apakah pencapaian PKS itu karena uang? Karena PKS itu partai kader dan iman politiknya sangat kuat untuk tidak melakukan politik uang seperti serangan fajar," jelasnya.

Maka, alasan Demokrat ini, dengan sendirinya terbantahkan. Partai Demokrat justru perlu berbenah diri.

Ginting mengakui, politik uang justru merajalela ketika pemilu di era reformasi. Hal ini disebabkan oleh tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia dan tingkat pendidikan yang masih berada di bawah angka 60%.

"Ada kebutuhan hidup yang mempengaruhi mereka, sehingga permisif untuk menerima politik uang."

Selain itu, rendahnya pengetahuan masyarakat untuk memahami bahwa politik uang sebenarnya haram.

Ginting pun menguraikan tiga faktor penyebab maraknya politik uang.

Pertama, aspek politik. Menurut Ginting, partai politik tidak memiliki cukup dana untuk membantu para calegnya. Sementara calegnya juga minim program sehingga berpikir instan untuk memberikan uang kepada pemilihnya.

Kedua, aspek hukum. Regulasi pemilu, kata Ginting, sangat lemah. Ginting menjelaskan, Bawaslu, KPU, dan juga KPK harus gencar mengurus hal tersebut.

"Harus ada pihak-pihak yang harus dihukum ketika terlibat politik uang supaya ada efek jera, sehingga tidak ada lagi oknum-oknum baik pemberi maupun penerima uang politik tersebut."

Ketiga, aspek budaya. Budaya Indonesia memberikan kesan bahwa tidak boleh menolak pemberian. "Rezeki tidak boleh ditolak, itu budaya," katanya. Sebagai imbalannya, jika seseorang sudah memberi, maka akan dibalas dengan cara memilihnya.

Sementara itu, Direktur Politik Vox Point Indonesia, Ervan Tou, membenarkan apa yang disampaikan oleh petinggi partai Demokrat tersebut. Menurutnya, praktik politik uang pada pemilu 2024 sangat jamak terjadi.

Ervan pun menyebutkan beberapa contoh bukti politik uang pada pemilu 2024. Seperti yang dialami oleh Welly Ismail, salah satu warga di Kelurahan Bulotadaa Timur, Kecamatan Sipatana, Kota Gorontalo.

Ia mengaku didatangi oleh oknum caleg dari salah satu partai politik peserta Pemilu 2024 untuk meminta sejumlah uang yang telah diserahkan sebelum pencoblosan dikembalikan.

Selain itu, ada seorang perempuan yang diduga tim sukses salah satu calon anggota legislatif (caleg) DPRD Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, mendatangi warga dan meminta uang yang telah diberikan sebelum hari pencoblosan dikembalikan.

Padahal, sejatinya pemilu merupakan pesta demokrasi yang dilaksanakan secara luber jurdil. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 2 UU No. 7 Tahun 2017 (UU Pemilu).

Di tengah menguatnya harapan publik terhadap terwujudnya pemilu yang luber jurdil, pelaksanaannya jauh dari asas tersebut.

"Politik uang sudah seperti tradisi lima tahunan. Pilpres, Pemilu, dan Pilkada semacam momentum transaksi jual beli suara," katanya kepada PARBOABOA, Senin (25/03/2024).

Menurut Ervan, apa yang disampaikan oleh partai Demokrat menjadi preseden buruk bagi demokrasi Indonesia. Karena itu, harus menjadi perhatian dan catatan bagi pemerintah dan seluruh masyarakat Indonesia.

"Catatan partai Demokrat ini harus menjadi alarm bagi penyelenggara pemilu agar menjalankan tugas dan fungsinya dalam mencegah politik uang sejak dini. Sebagaimana diatur dalam konstitusi dan aturan KPU dan Bawaslu," tegasnya.

Peran pemerintah, jelasnya, perlu diperkuat. Melalui berbagai lembaga dan kementerian, bisa bersinergi untuk menangkal praktik politik uang.

Lembaga pendidikan perlu diberi tugas dan berperan aktif dalam memberikan edukasi politik. Sejak dini, mungkin di tingkat pendidikan Sekolah Dasar, pendidikan anti korupsi perlu diajarkan. "Generasi penerus harus sudah memiliki pemahaman dasar mengenai politik," katanya.

Lantas, Ervan mengusulkan tiga hal penting yang harus dilakukan oleh parpol dalam upaya mencegah terjadinya politik uang yang akut.

Pertama, merestorasi sistem tata kelola perekrutan calon pemimpin, baik di eksekutif maupun legislatif. Pastikan para calon merupakan kader yang sudah dibekali dengan pendidikan politik yang sejalan dengan konstitusi dan aturan parpol.

Dalam proses pendidikan di parpol, memastikan mereka adalah orang-orang yang punya integritas. Setia, loyal terhadap parpol, serta siap untuk tidak melakukan transaksi politik uang." Jika kader melanggar, tegasnya, parpol harus berani memecat dan memproses secara hukum.

Kedua, memilih kader yang memiliki kompetensi atau keahlian dalam bidang pelayanan publik. Juga memiliki kapasitas; attitude yang baik.

Mendiskualifikasi kader yang terbukti melanggar aturan, bahkan memecat dari keanggotaan parpol," ungkapnya.

Ketiga, parpol wajib mengetahui dan mengecek kekayaan para kader yang bertarung pada Pilpres, Pemilu, dan Pilkada. Hal ini bisa dilakukan melalui Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).

“Parpol harus mengecek dari mana saja sumber keuangan dan ke mana jalur pengeluarannya,” katanya.

Parpol bekerja sama dengan pemerintah atau pihak bank agar tidak mengizinkan melakukan transaksi dari nama-nama para kandidat sejak ditetapkan oleh KPUD sampai pemungutan suara. 

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS