PARBOABOA, Jakarta - Fenomena sound horeg kian merebak di berbagai daerah di Jawa Timur, menimbulkan kegelisahan akibat kebisingan yang tak terkendali.
Merespons hal ini, Pemerintah Provinsi Jawa Timur menyiapkan regulasi khusus serta membentuk tim lintas sektor demi menjaga ketertiban dan kesehatan masyarakat, sekaligus melestarikan budaya dengan bijak.
Maraknya fenomena sound horeg di berbagai daerah Jawa Timur mendorong Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Pemprov Jatim) untuk segera bertindak.
Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, menegaskan komitmen pihaknya dengan menyiapkan regulasi dan membentuk tim khusus demi meredam potensi dampak negatif dari kebisingan tak terkendali.
Dalam keterangannya di Surabaya, Jumat lalu, Khofifah memaparkan bahwa pihaknya telah mengundang Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur, Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur, serta perangkat daerah terkait untuk bersama-sama membedah fenomena ini dari berbagai sudut pandang.
“Kami mendengarkan paparan tentang sound horeg dari banyak pihak agar solusi yang lahir dapat diterima semua kalangan,” ungkapnya.
Khofifah membeberkan bahwa penggunaan sound horeg paling banyak ditemukan di Tulungagung, Banyuwangi, Pasuruan, Jember, Malang, dan beberapa daerah lainnya.
Tidak hanya mengganggu ketertiban umum, sound horeg juga menimbulkan keresahan karena intensitas suara yang kerap melebihi 85 hingga 100 desibel dan berlangsung berjam-jam.
Bahkan menurut WHO, kebisingan dengan intensitas di atas 85 desibel yang berlangsung lama berpotensi memicu gangguan pendengaran, stres, hingga penyakit jantung.
“Inilah yang menjadi dasar kami mendesak lahirnya payung regulasi yang jelas,” tegas Khofifah.
Pemprov Jatim menargetkan agar regulasi bisa rampung sebelum 1 Agustus, bertepatan dengan momen perayaan HUT Kemerdekaan RI yang identik dengan berbagai perayaan rakyat.
“Kami ingin di Agustus nanti masyarakat sudah punya pegangan. Bentuknya bisa Peraturan Gubernur (Pergub), Surat Edaran, atau Surat Edaran Bersama. Yang terpenting konsiderannya komplit dan tepat sasaran,” tambahnya.
Sementara Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Elestianto Dardak, merinci bahwa tim khusus yang dibentuk melibatkan unsur Polda Jatim, MUI, Kanwil Hukum, tenaga medis, serta elemen masyarakat.
Emil memastikan bahwa tim ini akan bekerja intensif untuk merumuskan regulasi dan panduan teknis yang tidak hanya menindak, tetapi juga memberikan kepastian hukum bagi masyarakat.
“Sound system boleh, yang tidak boleh adalah penggunaannya yang melebihi ambang batas dan mengganggu ketertiban umum. Ini yang akan diatur secara rinci,” jelas Emil.
Asal-usul Sound Horeg
Secara linguistik, kata horeg diambil dari Bahasa Jawa Kuno yang berarti berguncang atau bergetar, sebagaimana dijelaskan dalam Kamus Bahasa Jawa-Indonesia terbitan Kemendikbud.
Dalam perkembangannya, istilah ini disematkan pada fenomena penggunaan sound system berdaya tinggi yang memicu getaran dan suara menggelegar, melebihi standar kebisingan normal.
Awalnya, sound horeg banyak digunakan untuk mendukung acara besar seperti takbiran, pengumuman warga, hingga kampanye.
Namun seiring waktu, tren ini bergeser menjadi ajang adu sound di beberapa daerah seperti Banyuwangi, Sidoarjo, Malang, hingga Surabaya.
Penelitian Allya Salsa Bilatul Kh, dkk. dalam jurnal ‘Perkembangan Sound System sebagai Budaya dan Kompetisi Sosial’ mencatat bahwa fenomena adu sound muncul beberapa tahun belakangan, sering kali menjadi magnet hiburan dalam karnaval di Malang, Blitar, Kediri, hingga Tulungagung.
Meski di satu sisi menjadi bentuk ekspresi budaya, sound horeg menimbulkan masalah nyata bagi warga sekitar.
Kebisingan di luar kendali memicu konflik antarwarga, mengganggu jam istirahat, hingga berdampak pada kesehatan.
Fenomena ini bahkan memaksa aparat setempat kerap turun tangan untuk meredakan potensi gesekan di masyarakat.
Sinta Della Lesgasevia, peneliti hukum, menyoroti perlunya regulasi tegas karena sound horeg sering melanggar batas kebisingan yang diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 48 Tahun 1996 tentang Baku Mutu Kebisingan.
“Fenomena ini tidak bisa lagi dianggap remeh,” tulisnya dalam jurnalnya.
Dengan pendekatan lintas sektor — agama, budaya, hukum, lingkungan, hingga kesehatan — diharapkan regulasi sound horeg dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak.
“Kami tidak anti hiburan rakyat. Namun masyarakat juga punya hak atas lingkungan yang nyaman dan sehat,” pungkas Khofifah.