Pertukaran Data Indonesia-AS, Menteri HAM: Tidak Langgar Prinsip HAM

Menteri Hak Asasi Manusia Natalius Pigai. (Foto: Dok. ANTARA)

PARBOABOA, Jakarta — Polemik pertukaran data pribadi lintas negara kian mengemuka seiring kesepakatan ekonomi terbaru antara Indonesia dan Amerika Serikat.

Namun, di tengah kekhawatiran publik terkait keamanan data pribadi, Menteri Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai, angkat bicara menegaskan bahwa mekanisme pertukaran data yang tercantum dalam kerangka kerja dagang kedua negara tidak akan menabrak prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).

Natalius menegaskan bahwa pemerintah Indonesia tetap mengacu pada Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) dalam setiap klausul kerja sama, termasuk dalam urusan lalu lintas data lintas negara.

Dengan demikian, kata Natalius, publik tidak perlu khawatir pertukaran data akan dilakukan secara serampangan atau tanpa dasar hukum yang jelas.

Dalam klausulnya sudah diatur tegas bahwa pertukaran data dilakukan berdasarkan hukum Indonesia. Rujukan utamanya tentu UU Pelindungan Data Pribadi. Jadi tidak ada pelanggaran HAM di sini,” ujar Natalius, seperti  dikutip dari rilis yang diterima Parboaboa, Sabtu (26/7/2025)

Dalam penjelasannya, Natalius menguraikan bahwa segala bentuk perpindahan data pribadi ke Amerika Serikat akan tetap berada di bawah pengawasan dan koridor hukum yang berlaku di tanah air.

Dengan demikian, proses ini tidak dilakukan secara bebas atau tanpa kontrol, melainkan diatur melalui tata kelola yang terukur, sah, dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Karena sesuai koridor hukum, maka data tidak bisa sembarangan dipertukarkan. Penyerahan data pribadi harus memenuhi syarat legalitas yang ketat,” lanjut Natalius.

Ia juga menegaskan bahwa dengan adanya payung hukum yang tegas, maka publik tak perlu cemas akan terjadinya penyalahgunaan data.

“Prinsip HAM justru dipegang teguh, sebab segala prosesnya dilakukan transparan, terukur, serta memiliki mekanisme perlindungan yang memadai,” terangnya.

Kesepakatan Dagang Digital

Diketahui, kesepakatan pertukaran data lintas negara ini merupakan bagian dari kerangka kerja Agreement on Reciprocal Trade antara Indonesia dan Amerika Serikat.

Melalui laman resmi Gedung Putih, Pemerintah Amerika Serikat mengumumkan bahwa kedua negara sepakat merundingkan perjanjian dagang timbal balik untuk memperkuat kerja sama ekonomi, salah satunya melalui pengurangan hambatan perdagangan digital.

Dalam dokumen berjudul Removing Barriers for Digital Trade, Indonesia berkomitmen untuk mengakui Amerika Serikat sebagai mitra dengan tingkat perlindungan data yang memadai.

Pengakuan ini diatur agar memungkinkan data pribadi dapat berpindah secara lintas batas dengan lebih leluasa, selama tetap mematuhi UU Pelindungan Data Pribadi yang berlaku di Indonesia.

Kesepakatan ini sejalan dengan tren global di mana lalu lintas data lintas negara menjadi elemen penting mendukung ekonomi digital.

Dalam catatan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pada 2023 lalu saja, penetrasi pengguna internet di Indonesia telah mencapai lebih dari 215 juta orang.

Artinya, isu perlindungan data bukan lagi persoalan kecil — ia menjadi tulang punggung kepercayaan publik terhadap ekosistem digital.

Dalam menghadapi era digital yang semakin terhubung, pemerintah Indonesia, melalui Kementerian HAM, menekankan pentingnya tata kelola data yang transparan dan dapat diawasi publik.

Dengan demikian, perjanjian lintas negara seperti ini tidak menimbulkan kekhawatiran baru terkait kebocoran atau penyalahgunaan data warga.

Sekali lagi, ini tidak melanggar HAM, karena dilakukan sesuai aturan. Jadi masyarakat harus tetap kritis, tetapi tidak perlu resah berlebihan,” tutup Natalius.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS