PARBOABOA, Jakarta - Pertumbuhan bisnis usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia menunjukkan tren yang sangat positif selama satu tahun terakhir.
Berdasarkan survei tahunan bertajuk “Survei Usaha Kecil Asia-Pasifik 2024-2025” yang dirilis CPA Australia, tingkat pertumbuhan UMKM di Tanah Air diperkirakan akan mencapai 83 persen pada 2024 atau melonjak tajam 80 persen dari tahun sebelumnya.
Pada 2025, proyeksi pertumbuhan UMKM bahkan diprediksi naik menjadi 87 persen. Dengan angka tersebut, Indonesia berada di posisi ketiga sebagai negara dengan pertumbuhan bisnis UMKM tertinggi, setelah Vietnam dan Filipina.
Survei ini dilaksanakan secara daring pada November hingga Desember 2024 dengan melibatkan 4.236 pelaku usaha kecil dari 11 negara Asia-Pasifik, termasuk Indonesia. Fokus survei adalah pada pelaku UMKM yang memiliki kurang dari 20 karyawan.
“Usaha kecil Indonesia termasuk yang tumbuh paling cepat di kawasan ini,” ujar Hendro Lukman, Ketua Komite Penasihat CPA Australia di Indonesia, dalam keterangannya pada Senin (14/04/2025).
Tingginya keyakinan terhadap stabilitas ekonomi nasional turut mendorong pertumbuhan ini. Sebanyak 76 persen pelaku UMKM Indonesia memperkirakan perekonomian akan tumbuh.
Tak hanya itu, adopsi teknologi juga memainkan peran besar dalam mempercepat pertumbuhan. Survei mengungkap ada 68 persen pelaku UMKM Indonesia yang berinvestasi pada teknologi melaporkan peningkatan keuntungan.
Selain itu, 74 persen UMKM telah menyediakan opsi pembayaran digital seperti OVO, GoPay, ShopeePay, dan Dana.
“Sektor usaha kecil Indonesia didorong oleh para pengusaha muda dan dinamis, dengan 85 persen pemilik usaha berusia di bawah 50 tahun. Mereka mengadopsi teknologi, inovasi, dan ketangkasan dalam menghadapi perubahan," jelas Hendro.
Ia menyebutkan bahwa jika pola pikir visioner ini dikombinasikan dengan pendekatan yang berfokus pada pelanggan, maka akan meningkatkan kinerja dan daya saing mereka dalam jangka panjang.
Meski begitu, masalah pembiayaan masih menjadi hambatan besar. Sekitar 75 persen UMKM masih berusaha mendapatkan pendanaan eksternal, dan 59 persen di antaranya menggunakannya untuk mendukung pertumbuhan usaha. Hal ini mencerminkan rendahnya literasi keuangan di kalangan pelaku UMKM.
"Rancangan regulasi Otoritas Jasa Keuangan Indonesia yang bertujuan untuk mempermudah akses pembiayaan bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) adalah langkah positif bagi sektor usaha kecil," tambah Hendro.
Peluang dan Tantangan
Sekretaris Jenderal Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo), Edy Misero menyebut pertumbuhan UMKM juga dapat dilihat sebagai respons masyarakat terhadap tantangan ketenagakerjaan.
Ketersediaan lapangan kerja yang terbatas dan meningkatnya angka PHK mendorong banyak orang memulai usaha mikro dengan modal terbatas.
“Dengan modal yang terbatas, Rp500 ribu misalnya, sudah bisa jualan roti. Jadi, artinya ruang untuk menjadi pelaku bisnis UMKM lebih terbuka dibanding harus menjadi pegawai," ujarnya, Selasa (15/4/2025).
Oleh karena itu, "kalau dilihat kontribusi daripada UMKM, setiap 97 persen dari jumlah tenaga kerja Indonesia saat ini bergerak di bidang UMKM.”
Data Kementerian Koperasi dan UKM 2023 mencatat, UMKM menyumbang sekitar 61 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dan menyerap 97 persen tenaga kerja. Sementara jumlah UMKM pada 2024 tercatat sekitar 65 juta unit.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), hingga Agustus 2024 terdapat 83,8 juta pekerja di sektor informal, setara dengan 57,95 persen dari total penduduk bekerja.
“Jadi, harus ada pilihan untuk mempertahankan hidup. Di satu pihak misalnya (terdampak) PHK. Di satu sisi, putus sekolah. Anak-anak putus sekolah itu semakin banyak. Jadi, mereka mengambil sikap mempertahankan hidup, maka mereka harus berusaha,” jelas Edy.
Data dari Kementerian Ketenagakerjaan juga menunjukkan bahwa dalam dua bulan pertama tahun 2025, sudah ada 18 ribu pekerja yang terdampak PHK, sementara sepanjang 2024, jumlahnya mendekati 80 ribu orang.
Meski jumlah UMKM terus meningkat, namun pertumbuhan tersebut tidak diiringi oleh peningkatan omzet. Daya beli masyarakat yang melemah membuat penjualan UMKM, khususnya di sektor kecil dan mikro, menurun.
“Lebaran saja kayak (penjualan) hampers, kue kering, itu nggak segreget tahun-tahun sebelumnya. Ordernya nggak banyak. Yang ramai itu adalah produk-produk untuk toko retail besar, kayak grosir-grosir," ungkap Ketua Umum Asosiasi IUMKM Indonesia (Akumandiri), Hermawati Setyorinny.
Hermawati menerangkan bahwa masyarakat pada dasarnya lebih suka dengan produk retail besar, "atau mereka membuat sendiri karena keuangannya yang memang sedang buruk.”
Lebih lanjut, ia menyebut penjualan UMKM di masa Lebaran 2025 hanya naik dua kali lipat dari hari biasa, jauh dari tren tahun-tahun sebelumnya yang bisa meningkat hingga lima kali lipat.
Menurutnya, kondisi ini menunjukkan lemahnya daya saing UMKM Indonesia di tingkat global. Dibandingkan Vietnam atau Thailand, UMKM Indonesia dinilai masih tertinggal karena perlindungan dari pemerintah yang belum optimal.
Kebijakan pelonggaran impor dan revisi aturan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) dinilai dapat memperburuk situasi.
“Di negara lain, masing-masing pemerintah mendukung dengan kebijakan, misalnya pajak (bea masuk) nol. Karena dia tahu, nanti kalau pembayaran pasti masuk ke negaranya," kata Hermawati
Hal ini disebutnya berbeda dengan Indonesia di mana pemerintah mematok pajak bea cukai yang besar. Dengan begitu "pedagang mau jual (barang impor) di Indonesia bisa lebih murah. Sementara produk UMKM mahal-mahal. Kebalik-balik.”
Hermawati menekankan perlunya pembinaan yang serius kepada pelaku usaha di sektor informal, termasuk kemudahan dalam perizinan dan pemberantasan pungutan liar yang masih banyak terjadi di lapangan.
Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal. Ia menekankan pentingnya membedakan pertumbuhan UMKM berdasarkan klasifikasinya, yakni mikro, kecil, atau menengah untuk memahami akar pertumbuhan tersebut.
“Jadi, ada permasalahan perekonomian yang membuat masyarakat, terutama kalangan bawah yang punya keterbatasan modal yang terpaksa harus memenuhi kebutuhannya dengan membuka usaha di sektor informal,” ujarnya
Jika yang mengalami pertumbuhan signifikan adalah usaha kecil dan menengah, maka itu bisa dimaknai sebagai indikasi peningkatan profitabilitas dan peluang ekspor.
Hal yang lebih penting, menurut Faisal, adalah jumlah UMKM yang berhasil naik kelas dari mikro ke kecil, dan dari kecil ke menengah.
Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menilai rencana penghapusan kuota impor harus dikaji matang. Menurutnya, kebijakan itu rawan disalahgunakan dan lebih baik diganti dengan kebijakan tarif atau nontarif lainnya.
Sementara untuk aturan TKDN, pelonggaran hanya seharusnya diberikan pada barang-barang yang memang tidak bisa diproduksi di dalam negeri. Jika tidak, industri dalam negeri, termasuk UMKM, bisa terancam.
“Kecuali memang tidak dapat diproduksi dalam negeri mungkin bisa diberikan kelonggaran. Jika dibebaskan dari TKDN, bisa hancur industri TPT (Tekstil dan Produk Tekstil) kita itu akibat serbuan barang impor dari Cina,” jelasnya.