PARBOABOA, Pematangsiantar - Tingginya harga cabai merah di sejumlah wilayah di Indonesia dipicu oleh buruknya rantai distribusi pangan dari petani hingga ke tangan konsumen, disamping pasokan yang menipis akibat gagal panen karena cuaca ekstrim dan perang Rusia yang menyebabkan pupuk mahal.
Unit Statistik Ekonomi Keuangan Daerah (SEKDA) Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) Pematang Siantar, Raisa menjelaskan, kenaikan harga cabai tidak hanya terjadi di Pematang Siantar, tapi juga di daerah lainnya di Indonesia. Ada banyak faktor yang menyebabkan mahal, yaitu gagal panen di pertanian cabai Pulau Jawa karena curah hujan.
Lalu apa hubungannya jika gagal panen di Pulau Jawa? Raisa menjelaskan, kalau ketersediaan cabai saat ini kebanyakan masih dipasokan dari Jawa karena central pertanian lokal belum mampu memenuhi kebutuhan.
“Pasokan cabai kemudian diambil dari Simalungun untuk memenuhi kebutuhan, sementara pasokan cabai di Simalungun masih itu-itu aja, tidak mengalami kenaikan jumlah. Padahal harus dibagi ke beberapa daerah di Sumatera Utara hingga Jawa,” jelas Raisa.
Raisa juga mengatakan, pemicu kenaikan cabai lainnya adalah pupuk yang mahal akibat perang antara Rusia dengan Ukraina. “Dari dulu, pupuk memang sudah mahal, tapi karena adanya perang antara Rusia dan Ukraina, harganya menjadi semakin mahal. Kan Rusia salah satu negara pengekspor pupuk terbesar di dunia, sementara produksi pupuk Rusia berkurang,” jelas Raisa.
Hal lainnya yang menjadi penyumbang cabai mahal karena rantai distribusi pasok yang panjang. Dijelaskan Raisa, ada banyak tahapan yang harus dilewati, yaitu mulai dari petani, kemudian ke agen, distributor, pedagang kecil hingga akhirnya tiba ke tangan konsumen.
“Rantai yang panjang itu sulit untuk diputus karena sudah ngomongin soal bisnis. Tapi saat ini kami sedang mengupayakannya, dengan melakukan pendekatan kepada pengepul-pengepul itu (agen) untuk memastikan pasokan cabai tetap aman,” jelas Raisa.
Gudang Pendingin
Raisa juga mengatakan, Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) Pematang Siantar saat ini belum ada rencana untuk menyediakan gudang pendingin (cold storage) sebagai tempat penyimpanan bahan pangan saat pasokan melimpah, karena jarak antara Simalungun ke Pematang Siantar hanya satu jam.
“Kan jarak Simalungun ke kota hanya 1 jam. Jadi mending uangnya dipakai untuk kebutuhan lainnya, karena cold storage bukan hal yang penting untuk saat ini,” kata Raisa.
Untuk mengendalikan angka inflasi, Raisa menjelaskan, jika tim TPID Pematang Siantar selalu memonitori semua harga bahan pangan, yang sering mengalami gejolak setiap harinya.
Bank Indonesia saat ini juga sedang mengupayakan pendampingan petani di Kabupaten Batubara secara organik. Harapannya hasil panen yang dihasilkan, mampu menopang pasokan.
“Kami bantu mereka untuk melakukan penanaman namun berbasis organik dengan menggunakan pupuk organik, seperti kotoran sapi. Jadi nanti gak butuh lagi sama pupuk pestisida,” jelas Raisa.
Saat ini harga cabai merah di Pematang Siantar mencapai Rp100 ribu perkilogramnya. Masyarakat sangat khawatir dengan kenaikan tersebut, karena biaya pengeluaran menjadi besar. Untuk itu diharapkan kepada pemerintah untuk mengambil langkah cepat dalam menstabilkan harga kebutuhan pangan.
“Untuk mengendalikan angka inflasi, Tim TPID Pematang Siantar selalu memonitori semua harga bahan pangan, termasuk bahan pokok yang sering mengalami gejolak setiap harinya,” ujar Raisa, pihak Unit Statistik Ekonomi Keuangan Daerah (SEKDA) Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) Pematang Siantar.