PARBOABOA, Jakarta - Di tengah dinamika reformasi pendidikan Indonesia, Pramuka berdiri di persimpangan antara mempertahankan esensi pendidikan karakter dan penyesuaian diri dengan arus perubahan kebijakan pendidikan nasional.
Sejak dulu, Pramuka dikenal sebagai kegiatan yang menyediakan berbagai pelajaran, termasuk pendidikan karakter untuk peserta didik.
Kegiatan ekstrakurikuler Pramuka sangat populer dikalangan para pelajar di Indonesia karena memiliki peran besar dalam pengembangan karakter, kepribadian, dan keterampilan mereka.
Dalam Pramuka, pelajar mendapatkan pelajaran tentang aktivitas alam terbuka, kemandirian, kerja sama tim, serta pentingnya kejujuran dan kedisiplinan.
Sebelumnya, keikutsertaan dalam Pramuka sebagai aktivitas ekstrakurikuler telah dijadikan kewajiban bagi siswa di jenjang pendidikan dasar dan menengah, sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 63 Tahun 2014.
Akan tetapi, berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 12 Tahun 2024 tentang kurikulum untuk Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah, terdapat salah satu poin yang menyatakan penghapusan Pramuka sebagai kegiatan ekstrakurikuler wajib.
Menurut pemerhati Pendidikan dari Vox Populi Institute Indonesia, Indra Charismiadji, masalah terbesar yang dihadapi pemerintah saat ini adalah kebijakan yang diambil tanpa didasari oleh kajian ilmiah.
Terutama yang berkaitan dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (kemendikbudristek), setiap kebijakan seharusnya dirancang berdasarkan riset yang mendalam dan komprehensif.
Riset tersebut idealnya diwujudkan dalam bentuk naskah akademik yang kemudian dibahas dalam diskusi publik sebelum pengambilan kebijakan baru.
Namun, situasi saat ini berbeda, di mana kebijakan seringkali diumumkan tanpa proses dan tanpa penjelasan yang jelas kepada masyarakat.
“Sulit untuk menganallisa secara ilmiah, karena dari kemendikbud sendiri tidak ada kajian ilmiahnya,” ujarnya kepada PARBOABOA, Selasa (01/04/2024).
Kegiatan Ekstrakurikuler Pramuka dalam Peraturan Terbaru
Menurut informasi yang terdapat pada situs resmi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), tidak ada rencana untuk menghapus Pramuka.
Sebaliknya, Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 malah memperkuat kerangka hukum dalam menegaskan pentingnya aktivitas ekstrakurikuler di lembaga pendidikan.
Dalam penerapannya, dijelaskan bahwa telah terjadi revisi pada ketentuan sebelumnya dalam Model Blok yang mewajibkan perkemahan dalam Pendidikan Kepramukaan dari wajib menjadi tidak wajib.
Meskipun demikian, lembaga pendidikan tetap diberi kebebasan untuk menyelenggarakan kegiatan perkemahan.
Selanjutnya, Permendikbudristek menegaskan bahwa partisipasi siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler, termasuk Pramuka, adalah berdasarkan keinginan mereka sendiri.
Dalam Undang-Undang (UU) No. 12/2010, gerakan Pramuka diakui sebagai sebuah gerakan yang mandiri, sukarela, dan tidak terlibat dalam politik.
Lebih lanjut, Pendidikan Kepramukaan merupakan bagian dari Kerangka Pendidikan Nasional yang bertujuan untuk memperkaya pembentukan karakter siswa dengan mengajarkan nilai-nilai kepramukaan seperti moralitas, patriotisme, kepatuhan hukum, disiplin, penghormatan terhadap nilai kebangsaan, dan keterampilan hidup.
Dengan mempertimbangkan semua aspek ini, setiap pelajar memiliki hak untuk berpartisipasi dalam Pendidikan Kepramukaan.
Problematika Kebijakan Tanpa Kajiaan
Problematika yang sering terjadi akibat kebijakan tanpa dukungan studi yang memadai adalah keputusan yang diambil tanpa landasan ilmiah yang kuat, sehingga efektivitas dan relevansi dari kebijakan tersebut menjadi diragukan.
Situasi inilah yang menimbulkan tantangan signifikan, khususnya dalam implementasi kebijakan yang seharusnya didasarkan pada bukti dan analisis mendalam untuk memastikan hasil yang optimal.
“Dampak atas perubahan kebijakan Pramuka pasti ada, namun dalam hal ini tidak jelas kenapa terjadi perubahannya, mana kajiannya?”, ujar Indra kepada PARBOABOA Senin (01/04/2024).
Menurutnya, meskipun ada banyak aspek positif, situasi ini mungkin terjadi karena banyak sekolah melaksanakan kegiatan tanpa adanya panduan yang jelas.
“Solusi cepat adalah membuat Pramuka tidak wajib, namun seharusnya jika cocok untuk kondisi indonesia kegiatan tersebut bisa dilanjutkan tetapi harus terkontrol”, katanya.
Indra menambahkan, ini semua merupakan bagian dari evaluasi untuk memperbaiki sistem Pendidikan Nasional, agar dapat mewujudkan tujuan konstitusi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Setiap kebijakan pendidikan harus memberikan manfaat untuk meningkatkan kecerdasan bangsa dan harus dijelaskan secara jelas kepada masyarakat.
Pendidikan yang ideal memerlukan keseimbangan pada tiga sentral utama untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang harmonis dengan keseimbangan di ketiga sentral tersebut.
Pertama, rumah dianggap sebagai pusat pendidikan, di mana keluarga, orang tua, dan tetangga berperan sebagai pendidik.
Kedua, pergerakan pemuda dan pramuka, dan yang ketiga adalah sentra perguruan atau sekolah.
Fokus masyarakat yang berlebihan pada nilai akademis telah mengurangi apresiasi terhadap pentingnya Pramuka, menciptakan ketidakseimbangan dalam sistem pendidikan.
Indra menjelaskan, yang menjadi PR terbesar Indonesia saat ini justru karena tidak adanya keseimbangan dari ketiga sentra pendidikan tersebut.
Oleh karena itu, ia berpendapat, untuk memenuhi amanat konstitusi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, perlu ada revisi pada sistem pendidikan nasional kita agar mencapai keseimbangan yang ideal.