Pro Kontra Masyarakat soal SE Etika Penggunaan Klakson Kendaraan di Pematang Siantar

Masyarakat yang juga pengguna jalan di Kota Pematang Siantar, menilai Surat Edaran tentang Etika Penggunaan Klakson Kendaraan tidak penting dan tidak berguna. (Foto: PARBOABOA/Patrick Damanik)

PARBOABOA, Simalungun - Masyarakat yang juga pengguna jalan di Kota Pematang Siantar, Sumatra Utara menilai, Surat Edaran tentang Etika Penggunaan Klakson Kendaraan tidak penting dan tidak berguna.

Menurut salah seorang pengendara, Febrian, salah satu penyebab kurangnya etika klakson kendaraan di kota Pematang Siantar karena angkot yang berhenti sembarangan sehingga menimbulkan kemacetan.

"Seharusnya yang diurus terlebih dahulu penyebab klakson berlebihan itu seperti apa. Contohnya kemacetan yang disebabkan oleh angkot-angkot di kota Pematang Siantar, mereka kadang suka-sukanya berhenti di tengah jalan, parkir tidak teratur sehingga menimbulkan kemacetan," katanya.

Sebelumnya, Wali Kota Pematang Siantar, Susanti Dewayani menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor: 500.II.I/5302/VII/2023 tentang himbauan Etika Penggunaan Klakson Kendaraan di Wilayah Kota Pematang Siantar Tanggal 26 Juli 2023 adapun tujuannya, untuk mencegah timbulnya pencemaran suara pada lingkungan sekitar dan mengganggu konsentrasi pengemudi atau pengguna jalan lainnya.

Lewat Surat Edaran tersebut, Pemko Pematang Siantar menghimbau seluruh pengemudi kendaraan untuk saling menghormati sesama pengguna jalan dengan mengurangi penggunaan klakson.

Surat tersebut berpedoman pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2012 Pasal 63 disebutkan, standar batasan ideal suara klakson paling rendah 83 Desibel dan paling tinggi 118 Desibel.

Dalam SE tersebut disebutkan konsekuensi dari pelanggaran penggunaan klakson diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 Pasal 285 ayat 1 dan 2 menegaskan setiap pengendara bermotor roda 2 (dua) yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan salah satunya meliputi penggunaan klakson maka akan dibebankan hukuman penjara paling lama 2 (dua) bulan dan denda sebesar Rp250.000 (dua ratus lima puluh ribu rupiah), dan untuk pengguna kendaraan roda 4 (empat) akan dibebankan hukuman penjara paling lama 2 (dua) bulan dan denda sebesar Rp500.000 (lima ratus ribu rupiah).

Pengemudi kendaraan lainnya, Albert mengaku etika klakson yang kurang di Kota Pematang Siantar karena adanya kemacetan di jam-jam tertentu.

"Menurut saya kurang etis isi surat edaran tersebut, dikarenakan setiap pengendara terkadang perlu cepat sehingga klakson itu diperlukan untuk menyadarkan pengendara lainnya," jelasnya.

"Yang perlu dibenahi sumbernya dulu, penyebab pengendara selalu klakson karena ada kemacetan. Jadi yang perlu dibenahi kemacetannya dulu, angkot dan sopirnya perlu di edukasi supaya tidak membuat macet," imbuh Albert.

Masyarakat lainnya dari Kecamatan Siantar Selatan, Lidya menilai setiap pengendara di Kota Pematang Siantar harus memiliki etika dalam penggunaan klakson kendaraan.

"Perlu dan sepakat, karena klakson yang berlebihan dapat memicu keributan dengan pengendara lain. Apalagi biasanya tingkat emosi pengendara lebih tinggi saat mengemudi jalanan," jelas Lidya.

Hal senada juga disampaikan Sari yang menyebut, penggunaan klakson yang berlebihan dapat memicu perselisihan antara pengendara satu dengan yang lainnya.

"Penting ya, karena orang Siantar kebanyakan menggunakan klakson secara berlebihan. Terlihat sederhana, tapi klakson bisa memicu emosi kalau terlalu kuat, apalagi penggunaan klakson di daerah pemukiman," tutur Sari.

Ia juga menyayangkan surat yang diterbitkan tersebut seharusnya dilakukan sosialisasi kepada masyarakat terlebih dahulu agar tidak terjadi kesalahpahaman di antara masyarakat.

"Sebelum surat edaran diterbitkan, seharusnya disosialisasikan terlebih dahulu dan masyarakat harus diedukasi bagaimana sebenarnya aturan tentang klakson yang sesuai dengan aturan yang berlaku agar tidak ada yang salah paham," imbuh Sari.

Editor: Kurniati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS